YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Deforestasi masih terus berlangsung di Indonesia. Padahal hal ini adalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca yang memicu terjadinya bencana alam dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Hal ini disampaikan Ketua Majleis Lingkungan Hidup (MLH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhjidin Mawardi pada acara refleksi akhir tahun MLH, Selasa (22/12).
Oleh karena itu, Muhjidin menegaskan, agar persoalan deforestasi ini menjadi perhatian bersama, terutama kaitannya dengan bencana yang sering melanda negara tercinta ini. “Akhir-akhir ini belum bisa kita rem, belum bisa kita tekan, walau upaya-upaya yang kita lakukan sudah cukup maksimal,” jelasnya.
Langkah untuk meminimalisir terjadinya deforestasi mesti dilakukan mengingat hutan memiliki banyak fungsi. Diantaranya Muhjidin menyebutkan, pertama, hutan sebagai fungsi hidrologis, karena hutan memiliki kemampuan alami untuk menyeram, menyimpan, dan melepas air. Kedua, hutan adalah penentu iklim wilayah, baik regional maupun global, termasuk penentu kualitas suhu, kelembaban, radiasi matahari, serta kapasitas curah hujan.
Ketiga, hutan berfungsi sebagai pemelihara keanekaragaman genetik melalui kekayaan flora dan faunanya. Karenanya, Muhjidin mengingatkan, bahwa kesalahan-kelasalan dalam mengelola hutan akan mengakibatkan terjadinya erosi genetik, karena berkurang atau karena rusaknya habitat hutan. Dalam istilah lain sering disebut dengan kepunahan.
Keempat, hutan sebagai sumber daya alam yang dapat melahirkan devisa bagi negara dan penghasilan yang tak terbatas bagi masyarakat. Sebab selain kayu hutan juga mampu menghasilkan air, rempah, gondorukem, kayu putih, rotan, madu, serta tanaman obat-obatan yang tak terkira jumlahnya.
Kelima, lanjut Muhjidin, hutan juga berfungsi sebagai wisata alam yang mempunyai nilai estetika, sumber inspirasi, etika dan penyejuk jiwa. Terakhir hutan merupakan pembentuk rumus utama dan penyimpan unsur-unsur mineral yang sangat dibutuhkan oleh tumbuhan dan hewan.
Nah, deforestasi itu, Muhjidin menerangkan, adalah proses penghilangan atau penebangan hutan dan mengalihgunakannya untuk kepentingan kawasan industri. Seperti perkebunan dan peternakan dalam jumlai besar. Maka kemudian, Ketua MLH tersebut melanjutkan, terjadilah degradasi lahan yaitu peruabahan fisik sutau lahan akibat kegiatan manusia yang dapat mendekatkan kepada terjadinya bencana.
“Banyak hal yang dapat menjadikan degradasi lahan, tapi paling menonjol adalah karena kesalahan dan penyelewengan tatakelola hutan di negara kita,” ucap Guru Besar Universitas Gajah Mada tersebut.
Ditambah lagi, ia menamhkan, terjadi ledakan jumlah pendudukung yang makin mendorong kuat akan terjadinya kesalahan dan penyelewengan tersebut. Terjadi lonjakan kebutuhan kayu, lonjakan tanaman pangan, lonjakan tanaman perkebunan, dan berujung pada eksploitasi sumberdaya hutan dan tambang.
Apa yang disampaikan Muhjidin mewakili suara MLH ini sebenarnya pernah dirangkum oleh presenter alam liar ternama David Attenborough (93) dalam film dokumentasi berjudul A Life On Our Planet yang rilis pada 16 April 2020.
Di mana pada film tersebut, David menawarkan dua pilihan. Pertama, membiarkan masa damai atau keseimbangan bumi sebagai mana yang sekarang masih berlangsung (masa Holosen) berjalan pendek dengan membiarkan kerusakan yang terus berlangsung. Atau kedua, memperpanjang masa Holosen dengan kemauan dan kesadaran untuk berbagi kehidupan dengan makhluk lain dengan menjaga alam sekitar.
Diantara masukkannya agar Holosen tetap panjang (bumi tetap lestari dan tidak cepat kiamat), David menyebutkan contoh sekaligus best practice penerapannya yang sudah dimulai oleh beberapa negara. Salah satunya adalah kehebatan Jepang dalam menurunkan angka kelahiran. Itu artinya Jepang sukses dengan program KB-nya. Kemudian Kostarika yang hanya dalam waktu 25 tahun mampu mengembalikan lahirnya hutan liar. Juga pemanfaatan tenaga matahari sebagai sumber listrik oleh beberapa negara. Atau pemanfataan lahan terbatas untuk sayur dan ternak yang dilakukan oleh Belanda. Dan masih banyak contoh lainnya.
Indonesia, khususnya kalimantan, David menyebutnya sebagai salah satu hutan lindung terbesar di dunia. Itu artinya kualitas hutan indonesia menentukan kualitas iklim global. Tapi apakah ndonesia sudah memulai melakukan apa yang sudah dilakukan oleh negara-negara di atas?
Di akhir film tersebut, David mengatakan, sejatinya upaya untuk menyelamatkan bumi, menyelamatkan hutan, bukan semata untuk menyelamatkan keanekargaman hayati, tapi sebenarnya untuk menyelamatkan kehidupan manusia itu sendiri. (gsh).