YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Moderasi Islam atau Islam Wasathiyyah telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad ketika di Madinah. Saat itu, umat Islam bersama umat dari berbagai agama dan suku berhasil membuat kesepakatan untuk saling hidup bersama di bawah naungan Piagam Madinah.
Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad menyampaikan hal itu dalam Webinar Refleksi Akhir Tahun dengan tema “Moderasi Keislaman dan Keindonesiaan” yang diselenggarakan oleh Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bekerjasama dengan Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pascasarjana UMY, pada Rabu, 30 Desember 2020, via Zoom Meeting dan Live YouTube.
Dadang menguraikan bahwa rujukan Islam Wasathiyyah merupakan hasil interpretasi konsep dalam Al-Qur’an dan Hadis. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat ummatan wasathan (Al-Baqarah: 143), ummat muslimat (Al-Baqarah: 128), dan ummat wahidah (Al-Baqarah: 213, Al-Anbiya: 92), khairu ummah (Ali Imran: 110), ummat qaimat (Ali Imran: 113), ummat muqtashidat (Al-Maidah: 66).
“Moderasi dalam Al-Qur’an disebut dengan wasathiyyah, diambil dari kata ummatan wasathan atau umat yang moderat sebagaimana bunyi Al-Baqarah ayat 143. Secara kebahasaan, wasath adalah posisi tengah di antara dua sisi yang bersebelahan. Bisa diartikan keseimbangan atau tawazun atau equilibrium,” ungkapnya.
Adapun terkait interpretasi sejarah hidup Nabi, dapat dirujuk langsung pada konsep Piagam Madinah dalam negara Madinah. “Beberapa pilar masyarakat Madinah adalah: tauhid, persatuan, persaudaraan, persamaan, pengakuan kebhinekaan, toleransi, demokrasi, negara bangsa, dan HAM,” ujar Guru Besar UIN Sunan Gunung Jati Bandung itu.
Dadang menyebut beberapa konsepsi tentang Islam wasathiyyah. Pertama, struktur dan susunan masyarakat Islam wasathiyah memiliki platform dan tujuan untuk membina perdamaian atau salam yang termaktub dalam Al Hujurat: 9-10 dan Al-Anfal: 61.
Kedua, sistem sosial yang berdiri di atas dasar persamaan dan menolak sistem piramida di mana di atas pundak yang miskin duduk yang kaya dan di atas pundak yang lemah duduk yang kuat sebagaimana dalam Al-Hujurat: 13 dan An-Nisa: 1.
Ketiga, mengembangkan sistem sosial yang tolong-menolong dan peduli dengan orang lain, seperti satu jasad. Jika satu bagian sakit, maka yang lain ikut merasakan dan menanggung. Seperti bangunan yang saling memperkuat yang didasari oleh prinsip cinta.
Keempat, sistem sosial yang terbebas dari keterbelakangan dan kemiskinan (An-Nisa:9, al-Alaq: 1).
Kelima, lembaga-lembaga publik yang berfungsi untuk membina kesejahteraan sosial harus dipimpin secara profesional oleh ahlinya (An-Nahl: 43)
Keenam, dalam urusan bersama atau publik, harus diputuskan secara musyawarah dan demokratis, tanpa diskriminasi (Al-Syura: 38, Ali Imran: 159, An-Nisa: 58, Al-Maidah: 8).
Wasathiyah Islam dalam Muhammadiyah, kata Dadang, dilakukan dengan penuh etika. “Ke dalam berusaha mencari dan menjadi yang benar, namun ke luar atau orang lain, tetap menampilkan jiwa kasih sayang, tidak dengan kebencian. Sikap merasa benar sendiri dan membenci yang lain itu bukan sikap Muhammadiyah. Muhammadiyah mengajak dialog dan bekerjasama dalam urusan duniawi.”
Moderasi Islam juga merupakan bagian dari perwujudan Islam sebagai agama rahmat. “Etika universal dari Islam rahmatan lil alamin antara lain berupa sikap menghadirkan kebahagiaan bagi orang lain, membebaskan penderitaan orang lain, bahagia dalam kebahagiaan orang lain, memperlakukan semuanya dalam kasih yang sama,” kata Dadang Kahmad. (ribas)