Islam Wasathiyah di Indonesia Terlalu Besar untuk Gagal

Islam Wasathiyah di Indonesia Terlalu Besar untuk Gagal

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ahmad Najib Burhani menyebut bahwa kehadiran Islam wasathiyah di Indonesia terlalu besar untuk gagal. Kalimat ini dikutip dari pernyataan Azyumardi Azra, “Indonesian wasathiyah Islam is too big to fail.” Oleh karena itu, kita patut bersyukur dan terus mempertahankan karakter Islam wasathiyah ini.

Meskipun besar, Islam moderat di Indonesia mengalami beberapa tantangan dari dalam dan dari luar. Hal itu dikatakan Ahmad Najib Burhani dalam Webinar Refleksi Akhir Tahun dengan tema “Moderasi Keislaman dan Keindonesiaan” yang diselenggarakan oleh Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta bekerjasama dengan Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Pascasarjana UMY, 30 Desember 2020.

Tantangan dari dalam berupa fragmentasi otoritas keagamaan dan desentralisasi otoritas keagamaan, misalnya dengan kemunculan gerakan hijrah dan gerakan salafi. Wasathiyah Islam mendapat tantangan dari luar, seperti globalisasi dan menguatnya politik identitas. Di tengah berbagai arus ini, perlu ada pengarusutamaan moderasi Islam. “Pemerintah perlu berpihak pada penguatan moderasi Islam,” ujar Najib Burhani.

Menurutnya, ada beberapa pertanyaan yang belum selesai dan terus dipertentangkan di kalangan internal umat Islam. Seperti pertanyaan, apakah keislaman itu tidak kompatibel dengan keindonesiaan? Apakah kesalehan itu harus dengan sikap intoleransi? Apakah hukum agama harus diletakkan di atas hukum negara dalam masyarakat yang majemuk? Dialektika ini seharusnya sudah selesai.

Namun dalam kenyataanya, terdapat beberapa masalah di kalangan umat Islam yang menjadi tantangan Islam moderat. Seperti otoritarianisme yang mengarah pada konservatisme. Najib Burhani mengingatkan bahwa segregasi, intoleransi, kebencian, al-walla wa al-barra jika terus ditanamkan dan diindoktrinasi sejak anak-anak, maka mereka yakin bahwa itulah yang diajarkan oleh agama. “Sebagian orang masih terus menyebarkan dikotomi tersebut, termasuk melalui media sosial,” ungkap wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi ini.

Dosen Sosiologi UGM, Muhammad Najib Azca menyebut bahwa gerakan moderasi keagamaan menemukan urgensinya ketika menguatnya trend dualisme ekstremitas di panggung politik, yaitu ekstremisme keagamaan dan ekstremisme kebangsaan.

“Kekuatan moderasi Islam di Indonesia memiliki dua pilar kokoh yaitu Muhammadiyah dan  Nadhlatul Ulama. Meskipun dua pilar utama kekuatan civil Islam ini telah membuktikan kehandalannya dalam mengawal transisi menuju demokrasi di Indonesia, namun terdapat sejumlah trauma dalam relasi antara keduanya, baik di awal revolusi maupun di awal reformasi,” ulasnya.

Sementara itu, kata Najib Azca, kegagalan perjuangan Islam secara elektoral telah memunculkan gerakan massa yang mengusung populisme Islam yang menjadikan identitas dan sentimen keagamaan sebagai basis mobilisasi politik. “Karena itulah, maka perlu dilakukan reformulasi agenda kreatif gerakan moderasi keagamaan Islam yang bercorak visioner dan sadar geopolitik serta melampaui sekat-sekat politik identitas,” tuturnya. (ribas)

Exit mobile version