Angkringan Salim

Angkringan

Angkringan Salim Dok Ilustrasi

Angkringan Salim

Cerpen R. Toto Sugiharto

Datanglah ke kampung saya. Ada warung angkring baru. Pemiliknya Salim. Teh nasgithel-nya khas seduhan tangan dingin Sakinah, istri Salim. Sesuai namanya, nasgithel, akronim dari panas, legi (manis), dan kenthel (kental). Bikin segar dan kemepyar. Jika Anda berminat datang, kontak saya, Angon Raga, di nomor 085868037018. Saya antar Anda ke sana.

Angkringan Salim belum genap dua bulan buka. Memang banyak yang penasaran, bagaimana ceritanya Salim, yang tukang sampah, bisa membeli gerobak angkring dan mengisinya dengan aneka macam menu angkring, seperti yang menjadi favorit: nasi kucing, sambel wader, gorengan, serta menu lainnya. Nah, Anda penasaran ingin mengetahui ceritanya, kan? Begini…

Sudah lebih dari tiga tahun Salim punya impian usaha sambilan. Warung angkring. Buka khusus malam. Jadi, ia bisa menambah pendapatan dari warungnya. Setelah kerja seharian memunguti sampah di kompleks perumahan dan perkantoran, ia bisa rehat sambil menunggui warung angkringnya dan melayani para pembeli dari petang hingga dini hari menjelang subuh.

Setiap detik ia memohon kepada Allah SWT supaya dimudahkan mendapatkan rezeki. Sakinah, istrinya, juga tidak kurang-kurang mencerocos bibirnya mendoakan suaminya cepat dapat rezeki nomplok hingga cukup untuk membeli gerobak angkring.

“Cukup gerobaknya dulu saja juga ndak apa-apa, ya Allah. Kebutuhan kami makin membengkak. Tambahkan pula rezeki kami melalui usaha baru yang akan kami buka, warung angkring ya, Allah…,” seru Sakinah setiap selesai shalat.

Sementara itu, Salim juga tetap bekerja keras. Rajin dan disiplin. Salim menafkahi istri dan dua anaknya dari jasa memunguti sampah. Setiap rumah dipungut Rp 7.500 per bulan. Di perumahan itu sebenarnya ada 100 unit tapi yang sudah dihuni baru 75 unit. Total pendapatannya pada kisaran Rp 500 ribuan. Salim sendiri mengontrak rumah kecil di kampung luar komplek perumahan.

Mereka berdua, pasangan suami-istri itu, harus gesit lagi mencari tambahan. Kadang ada penghuni perumahan memberikan stok makanan atau sembako sehingga Sakinah tidak perlu belanja. Tapi, sudah dua tahun terakhir beberapa penghuni perumahan tidak lagi memakai jasa Salim lantaran mereka bisa menyuruh anak atau pembantunya membuang sendiri sampah rumah tangga mereka ke tempat pembuangan sampah di ujung jalan jalur dari perumahan ke kota. Alhasil, pendapatan Salim pun semakin merosot hingga hanya Rp 300 ribuan.

Sakinah dituntut lebih kreatif mencari tambahan agar mereka berempat—Salim, Sakinah, dan dua anaknya—tetap bisa makan. Salah satu cara yang dilakukan Sakinah adalah membantu memasak di keluarga Ujar. Keluarga ketua RT itu mengakui dan menyukai kelezatan masakan Sakinah. Sebagian besar tetangga juga bersaksi masakan Sakinah enak. Itulah kelebihan Sakinah: pintar memasak. Pintar menyeduh teh nasgithel. Kekurangannya: tidak ada yang bisa dimasak di rumahnya.

Salim, seperti biasa sebelum memunguti sampah, menunaikan tugas sebagai muazin di mushala. Hari itu ia lebih dini ke mushala supaya tidak kehujanan. Maklum, beberapa hari setiap subuh turun hujan cukup lebat. Setiba di mushala, suasana masih senyap. Belum ada seorang pun yang datang.

Tapi, hari itu ada yang berbeda di mushala. Mata Salim menangkap benda mencurigakan di lantai dekat pintu masuk. Tas plastik. Ada dua tas plastik. Hitam dan putih. Di dalamnya ada plastik lagi pembungkus barang. Gerangan apakah barang itu? Ooh, masing-masing tas berisi segepok uang. Masing-masing dibendel puluhan lembar pecahan Rp 100 ribuan. Tiap-tiap bendel disatukan dalam satu ikatan tali rafia hingga puluhan ikat. Total jadi… ooh, Rp 800-an juta? Uang siapakah itu? Salim berharap menemukan identitas di dalam tas plastik. Ternyata tidak ada.

Uang itu akhirnya diserahkan kepada Ujar selaku ketua RT. Selanjutnya, oleh Ujar, uang diserahkan ke polisi untuk pengusutan. Setiap kepala punya kecurigaan. Sebagian besar mungkin akan mengerucut pada anggapan uang untuk serangan fajar dari kubu calon bupati tertentu yang tengah berkompetisi di ajang pilkada. Si pembawa uang takut tertangkap dan dipidana penyuapan yang dilakukan kelompok tertentu. Alhasil, uang itu dibiarkan ditinggal di mushala. Jadi, belum tentu pula yang membawa uang itu warga kampung.

Sebaliknya, Sakinah uring-uringan. Ia menyesali Salim menyerahkan uang itu ke polisi. Katanya, mestinya uang itu dibawa pulang dulu lalu dirembug berempat bagaimana sebaiknya. Karena, menurut Sakinah, itu rezeki Salim dari Allah SWT. Kebetulan perantaranya orang yang entah kelupaan atau memang sengaja meletakkan uang itu di mushala.

Kedua anak Salim juga mendukung ibunya. Mereka menyesali cara ayahnya memutuskan permasalahan secara sepihak di saat subuh itu. Karena akibatnya, mereka kembali hidup apa adanya. Bahkan, kekurangan.

“Tapi, Tuhan tidak mungkin memberi rezeki kepada manusia di luar kemampuannya ia mengelola rezeki itu,” dalih Salim.

“Tapi, ayah juga mesti mikir, mengapa Pak Salim, yang cuma tukang sampah keliling, diganjar Tuhan rezeki sebesar itu? Itu pasti jalan dari Allah SWT yang diberikan kepada ayah buat mengubah kehidupan keluarga kita,” timpal anak sulungnya.

“Percaya ndak, Pak? Memang aku yang minta. Beberapa hari ini aku selalu tahajud, minta dikasih rezeki uang sak tas kresek. Lha kok sampean bener-bener dapat ya? Malah dua tas, kan? Tapi, malah dikembalikan entah ke mana. Sekarang mungkin sudah jadi bancakan orang banyak,” susul Sakinah dengan nada kesal.

Husss!” sergah Salim seraya geleng-geleng kepala. Pusing, “Kalau kamu, bagaimana, Le?” pancing Salim kepada anak bungsunya.

“Mungkin Allah memang akan memberi rezeki kepada Bapak. Cuma ndak sebesar itu. Uang itu cuma sebagai lantaran saja,” ucap si bungsu.

Salim melongo, tidak menyangka anak bungsunya berpikir jernih dan berucap bijak, “Insya Allah, Le,” sahutnya.

Informasi perihal penemuan uang tersebar luas di media cetak dan online. Salim berulang kali diwawancarai wartawan. Tampang Salim pun menjadi viral di medsos.  Para pengamat politik yang lama dan yang karbitan saling melontarkan opini spekulatif. Sebagian mengapresiasi dan memuji kejujuran Salim.

Namun, meski sudah diberitakan, tiada yang mengaku sebagai pemilik uang tersebut. Yang bersangkutan pasti takut bila justru diperiksa dan dikenai pidana penyuapan. Hingga lebih dari sepekan, tiada kabar berkembang terkait penemuan uang di mushala. Sampai tiba suatu hari Ujar memanggil Salim. Tukang sampah teladan itu diberi Rp 10 juta. Katanya, uang penghargaan dari bupati atas kejujuran Salim. Uang itu dipakai Salim untuk membeli gerobak angkring berikut perlengkapannya: bangku, terpal, anglo, arang, ceret, gelas, dan lainnya.

Jam buka angkringan Salim antara bakda maghrib hingga pukul 02.30. Seperti malam itu, Salim tengah sibuk melayani pelanggannya. Sebagian di antara pelanggan adalah pembeli baru yang menanyakan kisah di balik usaha angkringan Salim. Lalu, mereka ber-selfie bersama Salim dengan latar belakang menu angkringan. Kemudian mereka pergi.

Saya kebetulan menikmati kopi di angkringan Salim. Kami asyik mengobrol. Menginjak dini hari, datang dua orang lelaki berperut tambun berboncengan motor.

Setelah berbasa-basi, salah seorang yang bertopi menanyakan jumlah uang dan ciri-cirinya, apakah ada tanda di beberapa bendel?

“Jumlahnya sekitar delapan ratus juta. Kalau ciri-ciri, wah… saya lupa, Pak. Tapi, kok sampean tahu kalau ada tandanya?” sentil Salim.

“Wah, berarti sudah dipotong lima puluh, Bung,” bisik yang membonceng kepada temannya, tak menjawab sentilan Salim.

“Begini, Mas, itu milik botoh. Buat umpan. Mungkin nggak cuma milik satu orang, dia atau mereka, yang selama ini jadi botoh di ajang pilkada. Konon, juga membiayai partai dan memodali calon yang maju. Tapi, tentu nggak gratis, kan? Kalau jagonya menang, para botoh bisa berharap kembali modal,” Si Perut Tambun bertopi merespons Salim. []

Yogyakarta, Januari 2018/Jumadil Awwal 1439 H

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 7 Tahun 2018

Exit mobile version