Ijtihad Muhammadiyah untuk Negara Modern
Judul : Ijtihad Kontemporer Muhammadiyah Dar al-‘Ahd wa al-Shahadah: Elaborasi Siyar dan Pancasila
Penulis : Hasnan Bachtiar
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, November 2020
Tebal, ukuran : xxxviii + 160 hlm, 14 x 21 cm
ISBN : 978-623-92592-4-2
Pasca-reformasi yang berhasil meruntuhkan rezim otoriter, permasalahan yang dihadapi Indonesia masih cukup kompleks. Di antaranya terkait dengan proses transisi, konsolidasi, integrasi, dan demokratisasi yang melibatkan masyarakat dari berbagai latar belakang agama, suku, ras, golongan. Dalam sistem demokrasi yang memberi ruang penyaluran aspirasi bagi berbagai kepentingan, kehidupan warga negara kerap saling bergesek.
Warga negara dalam sistem negara bangsa seharusnya mendapatkan jaminan menjalankan hak-haknya tanpa mengganggu hak warga negara lainnya. Kenyataannya, sekelompok orang yang mengatasnamakan identitas tertentu, baik agama maupun suku, kerap bertindak di luar kewenangannya dan melanggar hak orang lain.
Beberapa kalangan masih menuntut supaya umat Islam yang mayoritas untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta dan memberlakukan syariat Islam. Ada daerah yang merasa istimewa dibanding ras lainnya dan menginginkan negara merdeka. Ada kelompok yang menuntut keadilan dari pemerintah yang dianggap zalim. Ada yang mengorbankan demokrasi demi oligarki tertentu. Lahirlah berbagai organisasi yang ingin memperjuangkan aspirasinya seperti FPI, MMI, NII, JAD, JAT, GAM, OPM, RMS, dan seterusnya.
Berbagai tuntutan ini jika dipacu dengan sentimen keagamaan akan melahirkan tragedi kemanusiaan. Eskalasinya membesar ketika berkaitan dengan negara lain di era globalisasi yang nyaris tanpa batas. Interaksi umat Islam dengan komunitas agama lain menjadi ruang lingkup kajian siyar. Dalam konteks siyar, dibedakan antara komunitas Muslim dan komunitas non-Muslim. Komunitas non-Muslim terbagi menjadi muharibun, ahl al-‘ahd, dan ahl al-dhimmah.
Ketika Islam dipahami sebagai rahmat bagi semesta alam, diasumsikan bahwa Islam menyebarluaskan nilai-nilai luhurnya ke seluruh penjuru. Hal ini menuntut sikap kosmopolitan, yang menerima semua golongan. Dalam konteks politik, sistem pemerintahan dan hubungan internasional, karakter kosmopolitan Islam yang ideal ingin menaungi semua umat manusia di bawah payung keselamatan Islam.
Dari sini, ada yang memahami proyek pembangunan umat dalam konteks institusi negara, atau bahkan menginginkan pan-Islamisme yang menaungi semua negara. Bahkan ada yang menggunakan cara ekstrem dalam mendakwahkan narasi keselamatan Islam, termasuk misalnya jihad ekspansi militer (hlm 23-25). Pandangan para ulama mengenai siyar cukup beragam dan tawaran Muhammadiyah membuka ruang rekonsiliasi Islam dan modernisme-sekularisme.
Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015 berhasil melahirkan dokumen penting: Negara Pancasila sebagai Dar al-’Ahd wa al-Syahadah. Ijtihad ini menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai bagian dari negara dan bangsa Indonesia, yang mengintegrasikan nilai keislaman dan keindonesiaan untuk membangun peradaban. Rumusan yang lahir dari nilai-nilai fundamental Islam berkemajuan ini mendapat banyak apresiasi dan melahirkan berbagai perdebatan akademik.
Hasnan Bachtiar dalam buku ini mengkaji secara kritis dan melakukan elaborasi akademis dari hasil ijtihad Muhammadiyah tersebut dengan mengajukan dua pertanyaan utama: (1) bagaimana Muhammadiyah merekonsiliasikan ideologi negara, Pancasila, dengan siyar atau hukum perang dan hubungan internasional di dalam tradisi Islam?; (2) bagaimana konsep Muhammadiyah berupa Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahd wa al-Shahdah berkaitan dengan pandangannya mengenai demokrasi Indonesia? (ribas)