Sudan, Konteks dan Kompleksitasnya
Oleh: Hasnan Bachtiar
Benar-benar dapat dimaklumi ketika seorang ulama’ pembaharu asal Sudan, Mahmoud Mohamed Taha dan muridnya, Abdullahi Ahmed An-Na’im bersikeras meneriakkan pentingnya reformasi hukum Islam di Sudan. Saat itu, mereka memperjuangkan ratifikasi hukum hak asasi manusia (HAM) internasional di dalam hukum (Islam) nasional yang berlaku.
Mengapa dapat dimaklumi? Fakta sejarah mencatat bahwa masyarakat Sudan, berhadapan dengan krisis kemanusiaan yang luar biasa. Di sepanjang sejarah kepemimpinan Sudan, otoritarianisme telah menjelma gaya pemerintahan yang sangat arogan, sewenang-wenang, tiranik dan dehumanistik.
Dalam kondisi yang serba sulit di hadapan teror otoritarianisme tersebut, hukum dan doktrin keagamaan, bukan sekedar dijadikan alat legitimasi kekuasaan, namun juga pembenar untuk mengeksekusi mati bagi lawan-lawan politik penguasa.
Mohamed Taha sendiri sudah berulang kali dipenjara oleh karena dianggap berbahaya bagi status quo. Padahal, apa yang diupayakannya tak lebih dari perjuangan menuntut keadilan, kemerdekaan dan penghargaan terhadap martabat kemanusiaan. Sementara An-Na’im, melanjutkan perjuangan gurunya dengan gaung yang lebih keras. Bagi keduanya, praktik hukum Islam harus pro-HAM, keadilan dan kemanusiaan. Sederhana sebenarnya argumentasi mereka. Kendati demikian, konteks di mana mereka harus berjuang, sama sekali tidak sederhana.
Memahami Konteks
Memang sejak akhir abad ke 19, Sudan telah memiliki riwayat revolusi yang luar biasa. Pada 1881, Muhammad Ahmad bin Abdullah, tokoh spiritual yang mengangkat dirinya al-Mahdi (semacam ksatria piningit), memimpin perang (al-Tsaurah al-Mahdiyyah) melawan Inggris yang berkomplot dengan Mesir. Sayangnya Sudan jatuh ditangan koalisi Inggris-Mesir, terutama pada 1899 hingga 1955.
Di tahun yang sama, tepat pada 18 Agustus, perang sipil terjadi oleh karena adanya Pemberontakan Anyanya. Angkat senjata kali ini, dimulai oleh kelompok Sudan selatan, yang terdiri dari orang-orang Kristen dan penganut kepercayaan Nuer serta Dinka (agama Afrika asli). Mereka merasa terancam oleh Islamisasi kelompok Sudan utara. Perang ini berlangsung selama hampir 17 tahun, dengan hasil tiada kemenangan (stalemate) dari kedua belah pihak. Akan tetapi, setengah juta orang meninggal.
Selama periode perang sipil tersebut, pada 1954-1956, negeri ini dipimpin oleh Perdana Menteri Ismail al-Azhari, pemipin Partai Persatuan Nasional, alumnus Universitas Amerika di Beirut dan Presiden Abdullah Khalil, seorang petinggi Partai Ummah dengan latar belakang militer. Tepat pada 1 Januari 1956, Sudan benar-benar merdeka dari pendudukan Inggris.
Dua tahun kemudian, situasi politik semakin memanas yang diiringi dengan krisis ekonomi yang luar biasa. Tidak ada pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah. Dalam konteks ketiadaan solusi, seorang panglima militer, Ibrahim Abboud mengkudeta Abdullah Khalil pada 17 November 1958. Abboud berhasil menduduki kursi kepresidenan.
Sayangnya, gerilyawan Anyanya Sudan selatan semakin merajalela. Ketika perang antara utara melawan selatan terus berlangsung, instabilitas mengemuka dan kekacauan terjadi dengan intensitas yang tinggi. Pada 1964, “Revolusi Oktober” digulirkan, untuk menggulingkan regim Abboud yang dianggap tak mampu mengendalikan masalah dalam negeri. Sementara itu, korban jiwa terus berjatuhan. Sirr al-Khatim al-Khalifa al-Hassan, seorang politisi lulusan Universitas Oxford, mengambil alih pemerintahan.
Pada 1969 seorang kolonel militer Sudan yang juga alumni sekolah militer di Kansas, Amerika Serikat, Jaafar Numeiry, menggerakkan “Revolusi Mei” yang menuntut reformasi ekonomi, nasionalisasi perbankan dan industri, serta land reform. Gerak bidak catur yang pertama yang dilakukannya adalah menggulingkan kekuasaan PM Ismail al-Azhari.
Selama berkuasa, ia memainkan pentingnya isu reformasi kaum sosialis dan Pan-Arabisme. Sayangnya pada 1970, kudeta dilakukan oleh Sadiq al-Mahdi, seorang petinggi Partai Ummah Islamiyyah dan mantan PM 1966-1967. Upaya ini gagal. Akan tetapi, justru Partai Komunis, partai yang ada di lingkarannya sendiri, mengkudetanya pada 1971 dan membuat Numeiry cukup kerepotan. Sadar akan adanya pengaruh Uni Soviet, ia meminta dukungan militer dari Amerika Serikat.
Di akhir 1975an, Partai Komunis di bawah kepemimpinan Hassan Hussein Osman, gagal menyingkirkan Numeiry dari singgasananya. Utusan Numeiry, Jendral Elbagir justru membuat Osman bertekuk lutut dan pada akhirnya dieksekusi beberapa saat kemudian.
Di tahun-tahun yang kritis ini (1976), seribu pasukan khusus di bawah kendali al-Mahdi yang didukung militer Libya (utusan Muammar al-Kaddafi), melancarkan pemberontakan selama tiga hari tiga malam di Khartoum dan Ombdurman. Meskipun hal ini dapat diatasi, lebih dari 3000 orang menjadi korban. Alhasil, 98 orang yang terlibat dalam aksi pemberontakan ini dieksekusi.
Untuk mempertahankan status quo, Numeiry harus mendapatkan dukungan dari negara tetangganya: Mesir. Pasca Camp David Accords (perjanjian damai Israel-Arab) tahun 1978, ia berkawan akrab dengan Anwar Sadat, penguasa negeri para nabi tersebut. Namun karena terlampau sosialis dan terbelit oleh isu persatuan Arab (bukan persatuan Islam), maka pelbagai tekanan datang dari kelompok Islam oposisi pada 1981.
Membaca posisi yang tidak menguntungkan ini, ia berbalik mendukung Ikhwan al-Muslimin (Mesir). Dua tahun setelah manuver politiknya, ia menerapkan hukum syariat Islam, terutama untuk menekan pelbagai aksi politik kelompok Sudan selatan (kelompok Kristen dan penganut animisme).
Penerapan syariat Islam baginya adalah menghentikan penetrasi Soviet yang komunis, meredam tuntutan kelompok Islam dan menekan kelompok selatan sekaligus. Mengenai yang terakhir disebutkan, sebenarnya pada 1983 terjadi Perang Sipil Sudan yang kedua. Perang kali ini, penguasa Sudan ditantang oleh para gerilyawan dari Tentara Pembebasan Rakyat Sudan, yang dipimpin oleh John Garang. Alasannya jelas. Sebagai representasi kelompok selatan, mereka menentang syariat Islam dan mengajukan abolisi terhadap hal tersebut.
Karena konflik tak kunjung reda, agenda reformasi politik dan ekonomi terbengkalai, dan hukum agama menjadi senjata untuk kepentingan penguasa, dengan cara yang sangat anti kemanusiaan, maka timbullah kritik dan perlawanan dari kelompok reformis Muslim. Terutama, yang dimobilisasi oleh Mohamed Taha. Tuntutan yang diajukan sama dengan John Garang, hanya argumentasinya adalah tidak memperkenankan agama dijadikan sebagai tameng politik kekuasaan. Tepat di tahun 1985, Taha dieksekusi oleh rezim Numeiry, melalui legitimasi keputusan Mahkamah Agung (Hasan Turabi, seorang Islamis yang sangat tekstualis dan konservatif).
Kompleksitas Sudan
Episode mengenai konflik, pemberontakan dan kudeta Sudan masih panjang. Tetapi yang perlu kita pahami, dinamika politik regional Timur Tengah (terutama Israel-Arab) dan juga penetrasi global dalam konteks perang dingin (Amerika vis-à-vis Soviet) di kawasan, sangat mempengaruhi situasi politik domestik di Sudan. Di samping itu, sejarah perang sipil, konfrontasi kelompok utara dan selatan, serta krisis sosial dan ekonomi yang berkepanjangan, mengkondisikan pelbagai gaya manuver politik para elit negara tersebut.
Pada kasus Numeiry misalnya, mengkapitalisasi wacana Pan-Arabisme bukan Pan-Islamisme, karena ia tidak mau terlibat terlampau jauh dalam perang Israel-Arab yang kurang menguntungkan negaranya. Di samping itu, jelas pada 1967 (Six-Day War), Mesir, Yordania dan Suriah kalah telak. Beriringan dengan hal ini, Numeiry mengedepankan kebijakan sosialistiknya, yakni reformasi politik dan ekonomi bangsa Arab. Dengan diperberat oleh kompleksitas lainnya, manuver politik Numeiry, mengundang perlawanan dan kudeta yang berasal dari kelompok komunis, Islamis, selatan (Kristen dan animis) dan juga Muslim reformis.
Singkat cerita, sebenarnya potret mengenai kampanye reformasi hukum Islam oleh Taha dan An-Na’im, memiliki latar belakang yang tidak sederhana. Kendati demikian, pemahaman yang lebih baik mengenai konteks dan kompleksitas sejarah politik Sudan, akan memberikan pemahaman yang lebih baik pula mengenai segala upaya pembaruan hukum.
Dosen HKI, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menekuni hukum perang dan hubungan internasional di Australian National University (ANU)
Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2019