Keajaiban Istighfar
istighfar adalah dzikir untuk memohon ampunan kepada Allah. Apa saja keajaiban istighfar
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk selalu berdzikir mengingat-Nya siang dan malam, baik dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring. Di samping itu, seorang mukmin juga diperintahkan untuk memikirkan ciptaan-Nya. Jika ini telah dilakukan maka ia termasuk ulul albab, orang yang cerdas, orang yang berpikir.
Ada banyak tuntunan berdzikir dan bacaan yang dianjurkan dan dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Di antara kalimat tayyibah itu adalah bacaan istighfar yang dimaksudkan secara khusus untuk memohon ampunan kepada Allah. Ampunan-Nya bisa melapangkan jalan yang tiada berbatas antara seorang hamba dan Tuhannya. Kedekatan terbangun dengan limpahan rahmat tiada tara.
Bahkan, karena ampunan Tuhan (istighfar) itu pula seseorang bisa dikaruniai keturunan; Allah menurunkan hujan yang lebat dari langit; menghidupkan lahan pertanian yang kering kerontang dan melimpahkan banyak harta dan anak (QS. Nuh: 10-12).
Keajaiban istighfar juga pernah dialami secara langsung dalam penggalan hidup Imam Ahmad ibn Hanbal. Suatu hari di masa tuanya, sang Imam ingin jalan-jalan ke luar kota. Beliau sendiri tidak tahu mengapa beliau ingin sekali pergi ke kota Bashrah. Beliau tidak ada janji dan keperluan yang cukup mendesak.
Beliau sampai di kota itu ketika waktu Isya’ tiba. Beliau pun ikut shalat berjamaah di sebuah masjid. Selesai shalat, ia beristirahat dan ingin merebahkan badan. Belum sampai tertidur di sana, seorang pekerja masjid mengusirnya. “Wahai orang tua (syekh), mengapa kamu tidur di sini?” Rupanya si marbot tidak tahu jika orang yang ada di hadapannya adalah seorang ulama besar yang disegani. Menariknya, sang Imam sendiri tidak memperkenalkan dirinya. Padahal, hampir semua kalangan di dataran Irak tahu, setidaknya pernah mendengar nama, Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ulama ahli hadis dan zahid.
Imam Ahmad menjawab, “Ijinkan saya istirahat di sini. Saya ini seorang musafir.”
Si marbot itu menjawab tegas, “Tidak boleh. Orang tua tidak boleh tidur di masjid.”
Bukan hanya diusir dengan kata-kata, sang Imam juga didorong-dorong oleh si marbot agar keluar dari masjid. Setelah itu, si marbot pun menutup mengunci pintu masjid. Sang Imam pun lalu ingin tidur di teras masjid. Saat mengetahui si orang tua itu tidur di teras, si marbot pun mengusirnya kembali. Dengan terpaksa sang imam pun keluar dari masjid tanpa tahu harus menginap di mana.
Secara kebetulan di samping masjid ada seorang penjual roti. Rumahnya kecil. Di rumah itu pula si pembuat roti itu membuat dan menjual rotinya. Penjual roti itu sedang membuat adonan. Melihat dan mendengar ada orang tua yang diusir dari masjid, si penjual roti itu pun memanggil sang imam, “Wahai orang tua, Anda boleh menginap di tempat saya. saya punya tempat, meskipun kecil.”
Mendapat tawaran itu, sang imam langsung mengiyakan. Setelah masuk dan duduk, beliau memandangi dan bertanya banyak hal pada si penjual roti itu. Beliau tidak memperkenalkan diri dan hanya mengatakan dirinya musafir.
Ada yang menraik dari penjual roti ini. Ia memiliki perilaku khas. Saat Imam Ahmad mengajak bicara, ia menjawabnya. Namun, jika tidak, dia terus membuat adonan roti sambil melafalkan istighfar dengan pelan –meski tetap terdengar. Saat memberi garam, memecah telur, mencampur gandum dan saat bekerja itu pula ia senantiasa mengucapkan istighfar.
Melihat perilaku itu Imam Ahmad lalu bertanya, “Sudah berapa lama kamu lakukan ini? Dan apa yang engkau dapatkan dari kebiasaan membaca istighfar ini?”
Si penjual roti itu menjawab, “Sudah lama sekali, ya syaikh. Saya menjual roti sudah 30 tahun. Jadi semenjak itu saya lakukan. Saya merasakan betapa tidak ada keinginan yang saya minta kepada Allah, kecuali selalu dikabulkan oleh Allah. Hanya satu yang belum dikabulkan oleh Allah.”
“Apa itu?” Imam Ahmad bertanya spontan.
“Sejak beberapa tahun yang lalu, saya ingin bertemu dengan seorang ulama di Baghdad. Saya ingin dipertemukan dengan Imam Ahmad ibn Hanbal. Sayangnya, Baghdad terlalu jauh bagi saya untuk menjangkaunya.” Tukang roti itu menjawab tanpa tahu bahwa orang yang ada di hadapannya adalah Imam Ahmad ibn Hanbal dimaksud.
Seketika itu juga Imam Ahmad bertakbir, “Allahu Akbar. Allah telah mendatangkan saya jauh-jauh dari Baghdad ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid ke jalanan, ternyata karena istighfarmu.”
Betapa terperanjat si penjual roti itu. Ia memuji Allah sambil bersujud syukur. Lalu ia pun langsung memeluk dan mencium tangan Imam Ahmad. Inilah kisah keajaiban istighfar sebagaimana yang diceritakan dalam Kitab Manakib Imam Ahmad.
Berbeda lagi dengan kisah seorang tukang pangkas rambut di pojok Taman Bunga Kota Sumenep (Alun-alun Sumenep). Pada saat awal menyewa kios milik Kodim itu, Cak Hari baru selesai belajar potong rambut. Dia maklum jika masih sepi, karena baru saja buka. Sehari paling hanya 1-3 orang yang datang. Bahkan kadang tidak ada sama sekali.
Dalam setiap penantian pelanggan itu, ia memiliki kebiasaan unik. Ia selalu membaca istighfar, memohon ampunan kepada Allah. Dia sendiri tidak pernah memaksudkan istighfarnya secara khusus untuk mengundang pelanggan. Beristighfar saja. Dalam kesabaran dan doanya kepada Yang Maha Mendengar, lambat laun namun pasti Kios Pangkas Rambut Cak Hari mulai ramai.
Sekarang, kalau mau pangkas rambut ke sana harus antri. Bahkan, Cak Hari sudah merekrut seorang keponakannya untuk membantu melayani pelanggan-pelanggannya. Dua tahun yang lalu, ia sudah bisa menunaikan ibadah haji bersama istrinya berkat tabungannya sebagai tukang pangkas rambut. Selalu ada keajaiban yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang istiqamah menjalankan perintah-Nya. Semoga kita bisa melakukannya dan menjadi orang yang diampuni, disehatkan dan dilimpahi rahmat dan karunia oleh Allah. Aamiin.
Bahrus Surur-Iyunk, Guru SMA Muhamamdiyah I Sumenep.