Pulsa Misterius
Cerpen Satmoko Budi Santoso
BADRUS kaget. Pulsanya tiba-tiba bertambah seratus ribu rupiah. Ia gelisah bukan kepalang. Kejutan. Siapakah yang berderma memberikan sedekah di Hari Jumat yang penuh rahmat itu?
Seharian Badrus terus gelisah. Ia sungguh susah mendapatkan jawaban siapa yang sesungguhnya telah mengirim pulsa tersebut. Untuk urusan rejeki, Badrus memang super hati-hati. Sebab, sebiji jagung yang diterima namun jika ternyata haram, kelak tetap ada sangsinya di Hari Akhir. Seluruh penerimaan harta ketika hidup di dunia akan dihisab. Itulah yang membuat Badrus gelisah.
Badrus memang berbeda dengan kawan-kawannya, jurnalis lainnya yang mau menerima pulsa atau pemberian apa pun dari narasumber atau pihak tertentu sebagai ucapan terima kasih. Untuk hal begini, meskipun tampak sepele, Badrus bisa dipastikan menolak. Ia menganggap pemberian semacam itu, meskipun yang memberi ikhlas, namun dilematis. Sebab, sudah bermuatan pamrih, sudah bernilai suap. Buntutnya, kedua pihak, yang menerima maupun yang memberi bisa kemudian mempunyai hutang budi dan terikat. Dan dimungkinkan selanjutnya akan ada penyuapan-penyuapan dalam bentuk apa pun lagi.
***
MASALAH pulsa misterius yang diterima Badrus itu membuatnya tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari. Ia sungguh gelisah. Ia merasa begitu sangat berdosa. Ia tak sepenuhnya bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Meskipun sepele, namun Badrus merasakan seperti merasa dosa besar. Teman-teman seprofesi dengannya pun tahu masalah Badrus.
“Sudahlah, yang sudah ya sudah. Tuhan kan juga tahu kamu tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa,” demikian hibur salah satu temannya.
“Sebaiknya kamu sekarang tenang dan terus bekerja dengan baik,” hibur temannya lagi.
“Tidak perlu dibawa-bawa sampai ke hati,” canda temannya yang lain. Badrus hanya melengos.
***
SETIAP habis salat, Badrus selalu berdoa kepada Tuhan memohon petunjuk dari siapakah rejeki yang dianggapnya tidak begitu halal itu. Ia juga selalu meminta ampun kepada Tuhan atas adanya rezeki yang dirasanya tidak halal itu.
Hari berganti hari, belum ada isyarat yang dianggap Badrus merupakan petunjuk dari Tuhan atas rejeki gelap itu. Tidak ada pula orang yang mengejar Badrus meminta kompensasi tertentu atau meminta dipenuhi keinginannya terkait dengan pemberian itu. Badrus kemudian menyimpulkan, rejeki yang diterima memang misterius. Tidak ada buntut pamrih.
“Itu rejeki dari malaikat langsung,” canda temannya ketika Badrus ngumpul dengan mereka.
“Itu cobaan untuk maksud yang baik. Supaya kamu waspada,” hibur temannya lagi.
“Dinikmati saja, ketika di kemudian hari tidak ada pamrih berarti memang itu rejeki gaib dan kurasa kamu tidak bersalah, tidak berdosa,” demikian hibur teman Badrus, wartawan lainnya yang justru dikenal sebagai wartawan bodrek, suka meminta uang kepada narasumber.
Begitulah, Badrus memang bergaul dengan ragam karakter teman, meskipun memang satu profesi. Badrus sendiri, di kalangan temannya, dikenal sebagai wartawan yang bersih. Wartawan yang senantiasa menjunjung tinggi etika dan moral dalam bekerja. Tidak mengenal suap. Bahkan ajakan makan bersama yang dirasanya tidak jelas alasannya dari narasumber kerap ia tolak. Ia bukan tipe kaku, ia bisa bergaul namun jika sudah sampai pada maksud atau tendensi tertentu, kerap ia menghindar. Menghindar untuk kebaikan. Bahkan pula, pernah ada narasumber hanya memberinya buku bacaan tertentu, ia juga tolak. Ia sungguh selalu jujur. Saking jujurnya maka Badrus dikenal tidak kaya-kaya. Tidak bertambah harta kepemilikannya. Motornya juga hanya motor biasa yang tidak punya kelas prestise.
Di zaman seperti sekarang, di tengah kebutuhan yang membelit begitu banyak, ternyata masih ada orang seperti Badrus.
***
KALAU ada pelatihan mengenai dunia kewartawanan, Badrus selalu membagi kisah mengenai pulsa misterius itu. Sejumlah peserta yang mendengar, para guru misalnya, hanya bisa bengong.
“Godaan dan cobaan itu, dalam setiap profesi, pasti ada. Setan menyusup dengan cara yang sangat samar dan sumir,” terang Badrus, membuat para guru, yang suatu waktu mendapatkan materi pelatihan menulis darinya, hanya membuka mulut terus menerus.
Menurut Badrus, setiap profesi membuka membuka kemungkinan adanya pemberian bermuatan pamrih dan menjurus kepada yang tidak halal, itu sudah sangat mengotori jiwa dan mempengaruhi prestasi kerja. Apalagi, menurut Badrus lagi, dunia menulis atau dunia wartawan membutuhkan kejernihan berpikir, kebeningan hati, obyektivitas, dan kejujuran yang tinggi. Maka, hal-hal yang dirasa akan mengotori hasil kerja, harus dienyahkan.
“Kalau sudah biasa menerima pemberian, mental kita sama saja dengan mental tempe,” katanya tegas, “Lama-lama bisa tidak malu menjadi pelacur yang mengandalkan profesi. Kalau mau, dunia wartawan bisa membuat orang kaya raya, asal pandai memeras secara halus. Tapi, apa ya hanya seperti itu?”
***
SOAL integritas Badrus dalam bekerja yang jujur tersebut, ternyata membuatnya mendapatkan banyak perhatian dari sejumlah pihak dan sejumlah pihak pun berniat memberikan penghargaan. Maka, pada suatu hari, Badrus diundang untuk mendapatkan penghargaan. Badrus mau menerima penghargaan tersebut. Yang mengejutkan, di saat pidato menerima penghargaan, ia menyatakan bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa.
“Saya sebenarnya merasa bahwa saya bukanlah siapa-siapa. Bukan tokoh, bukan orang yang layak dijadikan panutan. Saya hanya bisa bekerja sesuai kemampuan dan hati nurani saya,” demikian papar Badrus sembari menerima penghargaan.
Tepuk tangan bergemuruh. Wartawan Badrus yang biasa menulis apa yang dilakukan orang lain itu, kini menjadi ditulis oleh rekan-rekan seprofesinya. Nama Badrus makin harum dan dikenal banyak orang. Ia pun makin rajin diundang ke berbagai acara terutama yang terkait dengan pengalaman dunia tulis-menulis, menjadi wartawan.
Yang mengejutkan, suatu hari, Badrus tiba-tiba ditemukan sudah meninggal dunia. Investigasi polisi menunjukkan bahwa ia mati karena dibunuh. Tentu, penelusuran pun dilakukan, apakah itu terkait dengan profesi yang dijalaninya, terlebih lagi apakah terkait dengan tulisan-tulisannya.
Anehnya, tidak ditemukan unsur pembunuhan yang terkait dengan tulisan-tulisannya. Sebab, selama ini Badrus bukanlah wartawan yang memberitakan hal yang sensitif, misalnya terkait politik dan pemerintahan. Ia wartawan yang biasa menulis mengenai dunia perkotaan, misalnya tentang pedagang kaki lima, kondisi jalan, jembatan, dan semacamnya. Maka, ketika ia ditemukan terbunuh, ada yang dirasa ganjil karena medan yang ditulisnya bukanlah medan yang berbahaya.
Pembunuh Badrus pun susah ditemukan. Jangan-jangan ia dibunuh oleh pelaku iseng yang juga tidak punya maksud apa-apa? Mengingat situasi kota sempat digemparkan oleh berkeliarannya genk anak-anak muda yang bengal?
Sampai beberapa hari dan beberapa minggu kematian Badrus, tak ada rongga yang dapat membuka tabir kegelapan siapa pelakunya. Sampai akhirnya polisi menyerah dan menyatakan sudah buntu kasusnya. Beberapa teman wartawan almarhum Badrus mengaitkan kematian Badrus dengan uang pulsa misterius seratus ribu yang pernah diterimanya. Jangan-jangan hanya karena itu, ada narasumber yang diam-diam merasa sudah menyuap, namun tidak digubris oleh Badrus.
***
BERBAGAI spekulasi berkembang, namun juga hanya berujung kekosongan. Obrolan praduga yang hanya berhenti sebagai praduga. Sampai akhirnya orang bosan membicarakannya. Meski begitu, tentu saja banyak orang tetap mengingat Badrus.
Jipangan, 2018
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 8 Tahun 2018