Cerpen Ma’rifah Saifullah
Seandainya waktu bisa diputar kembali, maka aku ingin kau menjadi tukang ojek saja. Tukang ojek? Ya. Kau tau kan, ojek online yang sedang meroket itu? Yang menunjukkan eksistensinya di sudut-sudut kota, di ruas-ruas jalan bahkan di tengah-tengah perkampungan. Ya. Aku ingin kau menjadi tukang ojek saja. Sembari membantuku membeli barang dagangan untuk warung kecil kita, kau tunggu pesanan ojek dari ponsel pintarmu itu. Aku ingin kau jadi tukang ojek saja. Atau apalah. Yang penting di sini. Di rumah kita. Bukan merantau ke seberang sana yang kau sebut ‘pulau emas menjanjikan itu’. Tidak. Tidak perlu. Akupun menyesal. Seharusnya dulu aku tidak mengizinkanmu berlayar membelah lautan, meninggalkan pesan agar aku selalu menggenggam apa yang kau sebut sebagai kepercayaan. Kini, dalam tangis yang tertahan, aku menyamuderakan kesabaran.
I ni kali pertama Siti merangkai aksara untuk sebuah surat. Namun bukan untuk suaminya. Ia tulis itu tanpa tujuan. Ia hanya ingin menyimpannya sendiri. Bersama hati yang telah runtuh, dan air mata yang sejak kemarin meluruh. Siti menerawang jauh, membayangkan wajah gagah suaminya, Eko. Memorinya berputar, menyambangi kejadian 5 tahun lalu, ketika ia meremas jemarinya, menanti pernyataan ‘sah’ dari para saksi nikah.
Hidup memang berputar laksana roda. Setelah menjalani hidup berkecukupan meski jauh dari kata mewah, roda rumah tangga Siti dan Eko terguncang. Awalnya hanya karena kerikil kecil. Namun semakin berjalan, akhirnya ada banyak batu besar bahkan duri tajam yang merintangi. Pasangan itu sampai pada titik terendah. Bengkel tempat Eko bekerja kalah dalam persaingan bisnis. Pemasukan mereka turun drastis. Eko dipecat. Dari sini, semuanya bermula.
“Aku akan merantau. Percayalah, ada kehidupan yang lebih baik di pulau seberang. Kau tetap jaga warung kecil dan rumah kita. Dan yang terpenting, genggam erat rasa saling percaya.”
Kalimat perpisahan Eko menggaung dalam relung-relung batin Siti. Ia mengeluh dalam diam, berharap suaminya tahu betapa riuh pergolakan batinnya saat itu.
“Demi kita.” Tegas Eko meyakinkan. Dengan genggaman tangan dan dua kata yang cukup melunakkan hati, Siti terpaksa melepas suaminya.
Nganjuk, Maret 2017
Rasanya aku ingin membuang topi rajut warna coklat itu. Oleh-oleh yang kau berikan 3 tahun lalu, setelah kepulanganmu dari pulau rantauan. Jika saja aku tau bahwa topi itu lambang perpisahan, maka seketika itu pula akan kuhempaskan jauh-jauh. Aku juga ingin membakar tas kecil merah di ujung pintu. Kado kecil yang hanya bisa membisu ketika kutanya kemana pergimu, lagi. Pergi yang menyisakan nyeri dan sakit tanpa sepenggalpun kata pamit. Ah, jangankan pamit. Janji untuk kembali pun nihil. Kau tinggalkan aku begitu saja di pagi buta. Entah ke mana.
Kau tahu? Lelah kakiku melangkah mencari kabar darimu. Aku benci keadaan, sungguh. Kenapa pula kau pergi lagi? Bukankah 1 tahun rantauanmu sudah cukup membangun tembok rindu sedemikian kokohnya? Bukankah uang yang kau bawa sudah cukup untuk mengembangkan warung kecil kita?
Karena kau, aku semakin mengerti apa artinya ‘tanda tanya’
Siang ini matahari memamerkan keperkasaannya. Cahayanya memancar menyilaukan. Panasnya cukup menciutkan semangat para pejuang hidup untuk bertarung melawan kejamnya keadaan. Namun hal itu tidak menghalangi Siti menulis surat ketiganya. Aktivitas bulanan yang mulai muncul setelah ia sering menyempatkan membaca buku yang dipinjam dari ‘pojok baca’, sebuah perpustakaan kecil milik desa di sudut perkampungan. Siti mengeluarkan buku sampul coklat, mengambil pena, dan menulis.
Nganjuk, April 2017
Hanya ada dua hal yang sangat kuinginkan sekarang: alasan dan pulang. Cukup. Tapi, merindumu saja sudah seperti pungguk merindukan bulan. Ragamu tak terjangkau. Hatimu tak bisa lagi kurengkuh. Aku bi-
“Siti, kamu udah dikasih kabar Pak Karto belum?” Kedatangan Mbak San menghentikan gerakan jemari Siti. Ia terkesiap. Segera ia tutup buku itu, menyimpannya dalam laci seperti ia menyimpan rindunya pada pujaan hati.
“Pak Karto yang dulu pernah bilang kalau Mas Eko nggak ada di tempat rantauan kan? Apa beliau tahu sekarang Mas Eko dimana? Beliau ketemu?,” serbu Siti antusias.
“Emm.. gini Siti. Sebelumnya, Mbak mau tanya kamu dulu. Apa kamu masih mengharapkan Mas Eko untuk kembali?”
“Eh? Maksudnya?”
“Iya. Apa kamu masih sangat mencintai Mas Eko sehingga kamu ingin dia pulang dan tinggal bersama kamu lagi?”
“Huff.. entahlah mbak.” Siti tertunduk.
“Kapan terakhir kali kamu komunikasi sama Mas Eko?”
Siti agak kaget dengan pertanyaan Mbak San. Ia mendongak, lalu tertunduk lagi.
“Terakhir kali 3 tahun lalu. Ketika Mas Eko pulang dari rantauan. Setelah pergi lagi entah ke mana tanpa pamit, kami tidak pernah komunikasi sedikitpun.”
“Nah. Itulah. Dengarkan baik-baik ya. Kamu itu cantik, masih muda, semangat kerja tinggi, rajin, supel dan mudah bergaul. Masa depan kamu masih panjang. Apalagi sekarang warung kamu mulai berkembang. Kamu tahu, banyak laki-laki yang kagum dan suka sama kamu. Yang dalam banyak hal, maaf, menurut Mbak lebih baik daripada Mas Eko. Tolong jangan tersinggung ya, tapi ini pendapat Mbak aja sih. Bahkan Mbak dengar sudah ada yang pernah menanyakan kamu ya? Tapi kamu tolak. Kenapa?”
“Haha. Iyalah mbak. Aku kan masih istrinya Mas Eko.”
“Kamu tenangin diri kamu dulu aja. Kalau udah mendingan, Mbak akan teruskan.”
“Maksudnya, aku harus menggugat cerai Mas Eko?”
“Tidak ada pilihan lain. Jujur, Mbak nggak tega lihat kamu. Perempuan mana yang mau nasibnya terkatung-katung oleh harapan semu? Menurut Mbak, kamu punya masa depan yang lebih baik kalau menggugat cerai suamimu, lalu menikah lagi. Jodoh dan rezeki memang takdir. Tapi kita punya raga untuk berusaha. Kita punya hati untuk memilih. Coba renungkan baik-baik.”
Siti tercenung. Memejamkan mata sebentar, lalu kembali menerawang langit. Ia mengambil bukunya. Membaca sedikit kata yang telah ia rangkai, melanjutkan tulisannya.
Nganjuk, April 2017
Hanya ada dua hal yang sangat kuinginkan sekarang: alasan dan pulang. Cukup. Tapi, merindumu saja sudah seperti pungguk merindukan bulan. Ragamu tak terjangkau. Hatimu tak bisa lagi kurengkuh. Aku bisa apa?
Pedulikah kau?
Aku minta maaf. Mbak San benar. Aku harus membebaskan diri dari cengkraman harapan semu.
Madiun, Desember 2017
Madiun ya? Benar. Aku sudah pindah ke Madiun. Aku pikir dengan begitu aku bisa mengubur kenangan. Aku lupa. Melupakan bukan hanya soal dimensi ruang. Ada dimensi waktu yang justru lebih bertautan.
Asal kau tahu, aku dulu tidak benar-benar ingin meruntuhkan istana komitmen yang kita bangun bersama sehasta demi sehasta. Berat.
Asal kau tahu pula, aku masih menimbang-nimbang kemungkinan, bagaimana jika satu jam lagi kau datang? Bagaimana jika satu jam lagi kau benar-benar pulang, membawa prospek kehidupan yang lebih mapan?
Namun setelah Pak Karto menghampiriku di siang itu, sungguh. Aku bukan hanya ingin menggugat cerai. Aku bahkan ingin kau lenyap. Tak perlu pulang, apalagi kembali. Ya. Tak perlu pulang ke rumah kontrakan kita. Tak perlu kembali memintaku bersusah payah merajut ikatan yang kau putus dari belakang.
Aku baru paham, kenapa Mbak San sangat keras membujukku untuk melepasmu. Mbak San adalah orang pertama yang melihatmu menggandeng mesra perempuan bertubuh tinggi itu. Iya kan? Tidak usah mengelak. Coba ingat kembali. Di waterboom. Sudah ingat? Ah. Jelas ingatlah. Momen menegangkan kok. Eh, atau kau tidak peduli?
Lalu Pak Karto yang juga di sana menghampirimu. Bukan kabar baik yang ia terima, justru kabar yang membuatnya ragu apakah perlu disampaikan padaku atau tidak. Kau tidak mau kembali. Beralasan telah meninggalkan janji pada wanita yang kau sebut cinta pertamamu itu. Aku tidak mau tahu kapan pertemuan pertama kalian. Aku tidak mau tahu sudah berapa lama kalian terpisah. Aku tidak mau tahu apakah kalian dipertemukan kembali di tempat perantauan atau tidak. Yang jelas, terimakasih karena kau enggan pulang.
Terimakasih telah melengkapi persyaratan agar gugatanku dikabulkan. Terima kasih. Karena bersedia menjawab pertanyaan Pak Karto saat itu. Jika tidak begitu, mungkin aku memang seperti yang dikatakan Mbak San: terkatung-katung menunggu hingga waktu yang bahkan aku sendiri tidak tahu batasnya. Terima kasih juga untuk 3 tahun yang panjang. Karenamu, aku mengerti bahwa tidak semua tanda tanya butuh jawaban.
Nganjuk memulai cerita, Madiun mengakhirinya.
Tak perlu merasa bersalah. Dan memang mungkin kau tidak merasa bersalah. Sekarang aku dan sosok lelaki malaikat sedang beriringan merajut komitmen, membangun istana keharmonisan, dan saling mengerti satu sama lain. Aku janji, ini adalah surat terakhir tentangmu yang tidak akan pernah sampai, seperti surat-surat sebelumnya.
Dalam kertas ku berkisah, dalam kalbu ku menarik hikmah.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 11 Tahun 2018