YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Umat Islam punya peran menghadirkan etika agama dalam kehidupan publik. Sebagai agama rahmatan lil alamin, umat Islam juga membawa misi kerisalahan Nabi Muhammad untuk menyempurnakan akhlak. Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dalam Kajian Titik-Temu edisi 52 yang diselenggarakan Nurcholish Madjid Society (NCMS) pada 22 Januari 2021. Narasumber lainnya adalah Ketua Umum Indonesia Conference Religion and Peace Prof Siti Musdah Mulia dan Anggota Dewan Pembina NCMS Yudi Latif PhD.
Islam mengajarkan nilai-nilai mulia. Namun dalam kehidupan umat Islam hari ini, nilai-nilai agama banyak yang luruh. Menurut Haedar, hal yang perlu dipertanyakan oleh umat Islam adalah bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan publik. “Agama harus memberi sibghah,” katanya melalui sambungan Zoom.
“Islam menghadirkan uswah atau etika agama dalam kehidupan publik. Misi rahmatan lil alamin bersinggungan dengan misi kerisalahan Nabi untuk menyempurnakan akhlak.” Ketika membangun masyarakat Madinah al-Munawwarah, Nabi juga membangun akhlak. “Akhlak tidak hanya terkait norma baik-buruk individu, namun harus menjadi etika kehidupan publik,” ujar Haedar.
Menurut Haedar, Indonesia sering dikenal sebagai bangsa yang berbudaya luhur. Ada banyak karakter masyarakat lokal yang mewariskan matarantai yang bagus, semisal hidup sopan santun, guyup rukun, saling menolong, saling mengunjungi, hidup baik dengan tetangga. “Ini hal baik yang hadir di masyarakat kita dan mewarnai kehidupan publik kita,” tuturnya.
Dalam perkembangan berikutnya, nilai-nilai itu kadang terdistorsi dan bahkan tereduksi oleh banyak hal. Pasca reformasi, kata Haedar, muncul pandangan-pandangan keagamaan yang terbilang militan dan radikal. “Mereka membawa misi agama yang berorientasi Islam aura prajurit.” Mereka menggelorakan slogan isy kariman au-mud syahidan (hidup mulia atau mati syahid) dengan konteks yang tidak tepat.
Haedar melihat bahwa pertarungan politik yang keras sering menyisakan masalah bagi masyarakat. Ketika pesta pora politik telah selesai di kalangan elite, ada berbagai residu konflik yang terus direproduksi di tataran masyarakat. Hal ini membuat kehidupan sosial menjadi sumpek.
Kekuatan agama yang dibawa oleh kekuatan Islam arus utama yang moderat terhambat oleh konflik politik. “Ketika agenda keprajuritan jadi arus dalam masyarakat, maka agenda-agenda besar untuk membangun peradaban dan membangun keadaban publik menjadi terhambat, terdistorsi oleh agenda-agenda seperti ini,” imbuhnya.
Selain tantangan politik, kita juga menghadapi tantangan baru seiring hadirnya media sosial. “Media sosial membuat masyarakat kita napas pendek dan miopik.” Masyarakat mudah terbelah. Guna menghadirkan etika dalam kehidupan media sosial, Haedar menawarkan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai akhlak Qur’ani. “Kita perlu menghidupkan Al-Hujurat Etics dalam membangun keadaban publik.”
Dalam situasi Indonesia yang seperti itu, Haedar mengharapkan kekuatan civil society dan ormas keagamaan tetap istiqamah berjuang di wilayah kultural untuk membangun masyarakat. Ketika muncul konflik, semestinya kekuatan civil society berperan menjadi resolusi konflik yang dewasa dan akil baligh. Hanya dengan itu, praktek hidup yang penuh keadaban dapat diciptakan.
Selain peran ormas, institusi keluarga juga berperan penting dalam mendidik individu-individu yang punya etika. “Perlu menghidupkan keluarga sebagai lembaga pembentuk keadaban publik. Pembinaan keluarga sakinah perlu ditanamkan nilai-nilai itu. Jangan sampai misalnya, anak masih TK sudah ditanamkan nilai membenci yang berbeda,” katanya.
Terakhir, Haedar mengharapkan kekuatan moderat untuk aktif menyebarkan nilai-nilai agama dan keadaban publik. “Nilai-nilai itu perlu lebih mewarnai ruang sosial kita. Jangan jadi silent majority!” tukas Haedar Nashir. Nilai-nilai kebaikan, penghormatan pada yang berbeda, dan seterusnya perlu terus disuarakan. (ribas)