Indahnya Bersabar, kesabaran akan selalu mendatangkan kebaikan dan keindahan
Dalam Al-Qur’an Surat Yusuf Allah bercerita tentang peristiwa hilangnya Yusuf. Setelah kejadian itu, ada satu kalimat Nabi Ya’kub yang menarik dicermati, yaitu kata “shabrun jamil”. “Mereka datang membawa baju gamis Yusuf (yang berlumuran) dengan darah palsu. Nabi Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik (shobrun jamil) itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan” (QS. Yusuf: 18).
Ayat ini menyiratkan makna bahwa kesabaran akan selalu mendatangkan kebaikan dan keindahan. Kata jamil, menurut Al-Fairuz Abadi dalam Al-Qamus al-Muhith (h. 1266), mengartikannya dengan “keindahan dalam tingkah laku dan rupa”. Dengan demikian, kesabaran bukan hanya akan melahirkan kebaikan dan kedekatan dengan Allah, melainkan juga keindahan yang akan terpancar secara ragawi pada diri orang yang bersabar.
Syaikh Muhammad Zakaria dalam kitabnya, Fadzailul-Hajj, menyuguhkan cerita yang menggambarkan nilai dan energy positif kesabaran tersebut. Kisahnya dimulai dari kesaksian dan pengalaman ulama Abu Hasan Siraj saat melaksanakan ibadah haji. Saat sedang melakukan thawaf haji, ia melihat seorang perempuan yang sangat cantik. Ia memandangnya dan berkata, “Demi Allah, kecantikan dan wajah indah seperti itu pastilah karena ia tidak pernah mengalami derita dan kesedihan”.
Rupanya, perempuan yang dikomentari itu mendengar perkataan lirih Abu Hasan Siraj. Ia kemudian menyahuti, “Tuan, begitukah yang ada dalam pikiran Tuan? Demi Allah, saya sudah terhempas dalam derita dan kesedihan yang seakan tidak ada putusnya. Hati dan jiwa saya dipenuhi banyak duka tanpa seorang pun yang bisa diajak berbagi derita dan cerita.” Lalu, Abu Hasan pun bertanya, “Apa yang sesungguhnya terjadi pada dirimu, Ibu?”
Perempuan itu menjawab, “Suamiku sekali waktu menyembelih kambing untuk kurban, ketika aku sedang menyusukan bayiku. Kedua anakku yang lain sedang bermain-main di sekitarku. Ketika aku ingin memasak daging, salah seorang di antara mereka berkata pada saudaranya, “Ayo, aku perlihatkan padamu bagaimana ayah menyembelih kambing.” Yang pertama menyuruh yang lain berbaring dan memotong lehernya, seperti ayahnya menyembelih kambing. Ketika ia menyadari apa yang terjadi, ia lari ke gunung. Di sana ia diserang dan dimangsa oleh serigala.
Suamiku pergi mencarinya ke mana-mana hingga mati kehausan. Semetara itu, di rumah, aku panik mencemaskan berita tentang suamiku. Aku letakkan bayiku dan menuju pintu untuk menanyakan siapa saja yang punya berita tentang suamiku. Tanpa kusadari, bayi itu merangkak menuju tungku api yang sedang menjerang air. Ia menggapainya dan panci air itu jatuh membakar tubuh bayi itu dengan begitu mengenaskan. Jadi, tinggallah aku menanggung semua derita itu sendirian.”
Lalu Abu Hasan bertanya, “bagaimana ibu berhasil mengatasi semua musibah ini dengan sabar?” Ibu cantik salihah itu menjawab, “Siapa saja yang mau merenungkan perbedaan antara sabar dan tidak sabar, ia akan tahu betapa jauh perbedaan antara keduanya. Pahala kesabaran itu kemuliaan, sedangkan pahala ketidaksabaran itu tidak ada sama sekali.”
Ibu ini tentu saja merasakan kepedihan dalam hatinya karena telah kehilangan keluarganya. Ia menderita, namun ia mampu memahami betapa mulianya orang yang bersabar. Ia sadar betul bahwa orang sabar itu disayang Tuhan. Ia juga kemudian memahami bahwa kesabaran itu akan menghadirkan kebaikan dan keindahan dalam hidupnya. Tentu saja, musibah yang dialaminya itu masih ada. Tetapi, yang berubah adalah cara pandang, perasaan dan manajemen hati pada saat musibah itu melanda.
Musibah dan bencana adalah keadaan nyata-obyektif yang (selalu) melingkupi kehidupan manusia. Sementara itu, penderitaan adalah keadaan subyektif yang ada pada diri masing-masing orang. Musibah datang dari luar kendali kita, sedangkan penderitaan terletak pada pilihan kita. Karenanya, musibah tidak selalu menimbulkan penderitaan.
Tidak sedikit orang yang hidupnya serba berkekurangan, tetapi ia bisa merasakan dengan begitu indah-bahagia. Sebaliknya, banyak orang kaya hidup berkecukupan, bahkan mewah, tapi hidupnya tersiksa dan merasa terpenjara di dunia. Semua tergantung kepada orang yang mengalaminya, karena sesungguhnya selalu ada pilihan yang menjadikan seseorang itu bersabar dan bersyukur kepada Allah.
Musharifuddin bin Muslihuddin `Abdullah al-Shiraz atau yang terkenal dengan nama pena Sa’di (1184 – 1291M), seorang sufi-penyair Persia pernah menuturkan kisah hidupnya. “Aku tidak pernah mengeluh karena kemalangan. Aku tidak pernah menderita karena terlempar dari pusaran dunia. Kecuali suatu ketika, kakiku telanjang dan aku tidak punya uang untuk membeli sepatu. Aku datang ke masjid Jami’ Kufah dalam keadaan sangat sedih.
Di sana, aku melihat orang yang tidak punya kaki sedang duduk termenung di pelataran masjid. Sontak saja, aku sampaikan rasa syukurku kepada Allah dan mengakui segala kasih sayang-Nya. Aku tahan keinginanku untuk punya sepatu dengan sabar. Dia lalu bergumam dalam puisinya: Bagi si kenyang ayam bakar tak lebih enak terasa. Ketimbang dedauan seledri di atas meja. Pada pandangan si miskin yang tak kuasa. Daun lobak dan ayam bakar sama saja. Semoga kita dapat menjalani hidup dengan penuh kesabaran. Amin. Wallahu a’lam.
Oleh: Bahrus Surur-Iyunk