YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua PP Muhammadiyah 1990-1995 KH Ahmad Azhar Basyir merupakan ulama cum akademisi yang berpikiran moderat. Sikap dan pemikiran keagamaannya cukup relevan di era sekarang. Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam acara peluncuran dan bedah buku Fikih dan Pranata Sosial di Indonesia: Refleksi Pemikiran Ulama Cendekia KH. Ahmad Azhar Basyir, M.A. yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Indonesia, (30/01/2021).
Haedar Nashir melihat sosok Kiai Ahmad Azhar Basyir sebagai tokoh agama yang punya pemikiran keislaman luas dan mendalam. Menurutnya, Azhar Basyir telah mewariskan banyak hal sepeninggalnya. Termasuk peninggalan amal jariyah yang pahalanya terus mengalir setelah wafat, sesuai hadis Nabi, di antaranya adalah ilmu yang bermanfaat dan anak saleh. “Ada dua dimensi di sini, ilmu dan anak saleh,” katanya.
“Sewaktu masih mahasiswa, saya sering sit in kuliah beliau di Filsafat UGM. Saya setiap sore nyelusup masuk mengikuti kuliah beliau tentang filsafat,” ujar Haedar yang mengaku banyak belajar teori-teori filsafat dari Ahmad Azhar Basyir. Penguasaan filsafat ini dianggap menjadi nilai lebih pada diri Ahmad Azhar Basyir sebagai seorang agamawan. “Pada umumnya para fuqaha hanya kuat di ushul fikih, tapi tidak memperluas horison pada filsafat,” ujar Haedar.
Kiai Azhar Basyir senantiasa memperluas horison keilmuan, yang belakangan disebut oleh Amin Abdullah sebagai integrasi dan interkoneksi ilmu. Kemampuan ini juga dimiliki oleh sebagian pemikir Islam di masa awal, yang menguasai banyak disiplin ilmu. Di masa sekarang, kata Haedar, penting untuk mempertemukan ilmu-ilmu Islam klasik dan ilmu-ilmu sosial humaniora kontemporer.
“Kedalaman dan keluasan perspektif akan memberi corak pada pemikiran-pemikiran dan ijtihad,” ungkapnya. Dalam membaca aspek muamalah juga membutuhkan pemikiran mendalam dan luas. Sekarang ini, justru banyak terjadi tajridisasi dan serba tidak boleh dalam muamalah yang mengarah kembali ke masa lalu.
Menurutnya, pemahaman keislaman belakangan ini banyak diwarnai oleh pemikiran yang minus ushul fikih dan filsafat, sehingga menghasilkan aura keislaman yang hitam putih. Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan pemikiran ushul fikih dan filsafat sebagaimana dipraktekkan Azhar Basyir. “Dengan ushul fikih kita memiliki horison bahwa sebuah hukum itu punya perspektif yang tidak sederhana,” ujar Haedar.
Di kala Covid-19 sekarang ini, kata Haedar, masih banyak yang tergagap dalam mempraktekkan ibadah. Sebagian kalangan umat Islam merespons masalah pandemi ini secara parsial, hanya menggunakan pendekatan bayani saja, dan ini tidak akan menyelesaikan masalah. Padahal, kaidah-kaidah ushul fikih cukup longgar ketika diterapkan, dan jauh dari pikiran-pikiran puritan.
Haedar menyebut bahwa dalam beragama diperlukan penguasaan kaidah ushul fikih, maqashid syariah, dan keluasan ilmu. “Tanpa aspek esoterik, maka keberagamaan terlihat galak.” Dalam khazanah Islam sendiri, ada beragam pemikiran keagamaan. Bagi mereka yang berpengetahuan luas, perbedaan pendapat tidak melahirkan kebencian. Haedar mencontohkan ketika Nurcholish Madjid dan Ahmad Azhar Basyir berdebat di sebuah Pengajian Ramadhan Muhammadiyah, yang justru meluaskan wawasan. (ribas)