Beirut Ibukota Buku Dunia
Oleh: Hajriyanto Y Thohari
Akhirnya, saya melihat Beirut lagi. Kali ini bukan hanya melihat: saya kini malah menjadi warga (tanpa kata “Negara”) kota Beirut sampai, setidaknya, tiga tahun yang akan datang, jika Allah menghendaki. Dan juga kalau saya kerasan tentu saja. Bagi orang yang tidak pernah sekalipun tinggal lama di uar negeri untuk belajar atau bekerja, seperti saya ini, naga-naganya berat juga untuk meninggalkan rumah, keluarga atau kampung halaman sampai selama tiga atau empat tahun. Apalagi bagi saya yang sampai sekarang masih suka bertanya-tanya mengapa saya dikirim ke sini sebagai duta besar? Tapi senyampang mencari jawaban atas pertanyaan lucu itu saya menikmati saja kota Beirut dan negeri Lebanon ini.
Seperti Bandung yang disebut sebagai Paris van Java, Beirut dikenal di seantero jagad sebagai Paris van Middle East. Malah juga sempat dikenal sebagai Switzerland of Middle East. Pasalnya, Beirut memang sangat indah: tak heran ini kalau menjadi destinasi para wisatawan dunia Arab. Orang-orang kaya Arab, terutama dari negara-negara Arab Teluk, seperti Arab Saudi, Emirat Arab, Kuwait, Qatar, dan Bahrain, sejak dulu menjadikan Beirut sebagai tempat leisure dan pelesir yang sangat menggairahkan. Bahkan tidak sedikit orang-orang kaya Arab Teluk yang memiliki rumah (tanpa atau dengan “tangga”!) di Beirut.
Beirut, yang berada di bibir pantai laut Mediterania yang indah itu, banyak sekali dihuni oleh pribadi-pribadi kaya raya yang memiliki mobil-mobil mewah dan kapal-kapal pesiar dan Yach yang mahal-mahal itu. Terminal private yach besar sekali dan ada di beberapa tempat yang selalu penuh dengan yach yang terparkir secara rapi. Rupanya Lebanon itu pemerintahannya “miskin”, tapi rakyatnya kaya-kaya. Barangkali karena banyak rakyatnya yang bekerja di luar negeri sebagai expatriat dalam profesi-profesi modern, seperti dokter, ahli keuangan, ilmuwan, dosen, arsitek, dan lain-lain. Bukan menjadi TKW seperti rakyat kita.
Sebagai destinasi wisata, Beirut, ibukota Lebanon, memang menyediakan banyak kesenangan dan hiburan. Negeri Cedar (ikon negeri ini adalah pohon Cedar, pohon yang dianggap sacral, disebutkan 36 kali dalam Perjanjian Lama dn Baru, dan bisa yang berusia ratusan tahun sehingga saking legendarisnya sampai dijadikan lambing dalam bendera nasional Lebanon ini), juga melahirkan seniman-seniman, pegiat teater, dan penyanyi-penyanyi Arab kelas satu. Hampir semua penyanyi Arab beken kelahiran Lebanon, sebutlah Fairuz, Nancy Ajram, Najwa Nicolas Karam, Julia Butros, dan sederet nama lagi yang saya tidak hapal semuanya. Juga bintang film, foto model, dan celebritas terkenal lainnya.
Lebanon kebetulan memang negeri Arab yang secara sosial budaya paling bebas, liberal dan terbaratkan (westernized) di antara 22 negara Arab lainnya. Maklum Lebanon cukup lama berada di bawah pengaruh Perancis sebagai pemegang mandat atas Lebanon pasca keruntuhan Ottoman Empire dan pasca Perang Dunia itu.
Liberalisme pemikiran
Liberalisme bangsa Lebanon bukan hanya sebatas dalam sikap laku atau kehidupan sosial saja, melainkan juga dalam pemikiran, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Lebanon menyediakan ruang yang luas bagi kebebasan berpikir dan berekspresi. Lagi-lagi mungkin ini juga pengaruh liberalisme Barat yang dibawa Perancis ketika menjadi pemegang mandat atas wilayah yang kemudian pada tahun 1943 menjadi sebuah negara merdeka yang bernama Republik Lebanon itu. Lebanon yang sangat pluralis, multikultural dan liberal ini mungkin didorong oleh adanya universitas-universitas tua (berdiri abad 18 atau awal 19) yang bercorak dan berkiblat ke Barat dan berbahasa Inggris atau Perancis. Saya rasa univeristas-universitas yang didirikan oleh para missionaris itu juga besar pengaruhnya atas kebebasan dan liberalisme kebudayaan Lebanon.
Tradisi percetakan dan penerbitan buku yang paling tua di dunia Arab itu dimulai oleh Lebanon. Pada bulan Agustus 2019 yang lalu, bersama dengan puluhan Duta Besar negara-negara asing di Lebanon, saya dibawa berkunjung ke percetakan modern pertama di Kadisha, Lebanon Utara. Percetakan modern pertama itu ada di Biara Santo Antonius Qazhaya pada tahun 1611. Tentu percetakan itu awalnya untuk keperluan mencetak kitab Suci Injil untuk memenuhi kebetuhan umat Nasrani yang jumlahnya cukup besar di Mount Lebanon. Dari sinilah tradisi pencetakan buku dan kitab berkembang pesat sampai sekarang.
Apalagi Lebanon juga menjadi tempat lahirnya ilmuwan-ilmuwan Arab yang sangat menonjol yang kini lebih banyak bermukim di negara-negara Barat, utamanya Perancis, Inggris dan Amerika. Mungkin pembaca banyak yang akrab dengan nama-nama ilmuwan dan penulis seperti Kahlil Gebran, Butros Bustani, Philip K. Hitti, Albert Hourani, Fouad Ajami, Amin Maalouf, Louis Maalouf, Raymond Khoury, Hassan Kamel al-Sabah, Akram Fouad Kather, dan sebagianya. Mereka itu ilmuwan-ilmuwan dan penulis kelas dunia yang di antaranya berdiaspora atau tinggal di luar negeri untuk mengembangkan kariernya yang mendunia.
Mungkin karena factor-faktor itu dan faktor kebebasan atau kuatnya pandangan liberal itulah yang menjadikan Lebanon dengan Beirut-nya sebagai tempat yang subur dan aman bagi penerbitan kitab-kitab Arab Islam. Buku-buku keislaman apapun dan betapapun potensi kontroversialnya biasa diterbitkan di sana tanpa ada keberatan atau protes dari kelompok-kelompok tertentu yang berkeberatan atas isinya dan atau gugatan dari kalangan antiintelektualisme manapun. Walhasil, Lebanon menjadi negara yang sangat terbuka dan bebas bagi berkembangnya literasi dan dunia perbukuan.
Juga buku-buku Isam
Tetapi, di sisi lain, mungkin anyak orang yang tidak memperhatikan bahwa Beirut juga menjadi pusat penerbitan buku-buku atau kitab-kitab keislaman dari yang klasik sampai yang modern atau kontemporer. Bahkan ada yang menghitung, ini mungkin ada sedikit dramatisasi, lebih dari separoh kitab-kitab turost Islam diterbitkan oleh penerbit-penerbit Beirut. Sisanya dibagi kota-kota di negara-negara Arab lainnya, terutama Mesir, khususnya Cairo. Beirut memang memiliki banyak sekali penerbit buku (publishing houses) yang sangat produktif
Nama-nama penerbit buku dari Beirut seperti Dar Ibn Hazm, Dar Sader, Dar al-Fikri, Dar l-Kutub Al-Ilmiya, Daru Ihya l-Turast Al-araby, Dar l-Minhaj, Riad el-Rayes, dan lain-lainnya adalah sangat terkenal di Indonesia. Kamus, ensiklopedia, Munjid, atau mu’jam terbitan Beirut sejak dulu kala menjadi pegangan umat Islam Indonesia dalam mempelajari bahasa Arab. Dalam setiap pameran buku tahunan di Indonesia seperti Indonesia Book Fair atau Islamic Book Fair di Jakarta dan kota-kota besar di Inonesia seperti Bandung dan Surabaya, yang menarik jutaan pengunjung itu, penerbit-penerbit buku dari Beirut selalu hadir dan berpartisipasi aktif sebagai peserta.
Tak heran jika pada tahun 2009, UNESCO, sebuah badan PBB, sampai menobatkan Beirut sebagai World Book Capital (Ibukota Buku Dunia). Setiap tahun Beirut menjadi tuan rumah The Salon Franchopone du Livre, yaitu salon literasi terbesar di luar Paris (Perancis) dan Montreal (Canada). Beirut juga menjadi Tuan Rumah tetap Arab and International Book Fair (Pameran Buku Arab dan Dunia).
Apakah dengan demikian bangsa Lebanon terhitung sebagai the reading nation alias bangsa pecinta baca? Tidak lah begitu jelas bagi saya. Mungkin perlu dilakukan survei untuk menjawabnya. Yang terang ada ungkapan lucu yang meluas di Beirut yang sedikit konyol dan pejoratif begini: “Orang Mesir menulis buku, orang Lebanon mencetaknya, dan orang Irak yang membacanya”. Benar atau tidak, wallahu a’lam bi l-shawab.
Yang agak pasti, bangsa Indoneisa adalah konsumen terbesar kitab-kitab turast Arab (Islam) cetakan Beirut. Kitab-kitab arab Islam terbitan Beirut merajai buku-buku Arab di Indonesia. Sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, yaitu 87% dari populasi 256 juta muslim, Indonesia akan tetap menjadi konsumen buku-buku keislaman yang diterbitkan oleh ratusan penerbit buku keislaman di Beirut. Apalagi sejalan dengan semakin majunya pendidikan bahasa Arab di Indonesia dimana kemampuan membaca kitab-kitab berbahsa Arab semakin tinggi.
Penerbit Suara Muhammadiyah, rasanya perlu menjalin kerjasama dengan penerbit-penerbit buku Beirut: misalnya bagaimana kalau seandainya mereka bisa diajak melakukan pencetakan buku di Penerbit SM. Bukankah sekarang ada teknologi cetak jarak jauh? Jika ini bisa dilakukan niscaya harga kitab-kitab Arab akan lebih murah. Pasalnya, penerbit buku-bubu di Beirut itu membeli kertas dari Indonesia. Bayangkan kertas dibeli dari Indonesia, dibuat buku dan kitab di Beirut, dan dikirm lagi ke Indonesia sudah dalam bentuk kitab yang berjilid-jilid tebalnya itu. Coba, kalau saja dicetak di Penerbit SM di Yogyakarta. Pastilah, menghemat ongkos kirim dua kali pulang-balik Insonesia-Beirut-Indonesia. Kenapa tidak dicoba? Semoga!
Sumber : Majalah SM Edisi 19 Tahun 2019