Nabi Muhammad SAW (14), Pembinaan Generasi Awal di Darul Arqam
Oleh: Yunahar Ilyas
Sekalipun dakwah sudah dilakukan terang-terangan, tetapi Nabi belum mau mengumpulkan sahabat secara terbuka dalam sebuah pertemuan, karena tindakan itu akan memprovokasi kaum Qurasy untuk semakin keras menindas kaum Muslimin. Oleh sebab itu dalam membina generasi awal umat Islam ini Nabi mengumpulkan mereka secara diam-diam di rumah Arqam ibn Abi al-Arqam al-Makhzumi. Rumah sahabat Nabi ini berada di kaki Bukit Shafa, jauh dari pantauan musuh.
Di rumah itulah Nabi membacakan ayat-ayat Allah, mengajarkan kandungan Al-Qur’an, menguatkan iman mereka yang masih baru, memperkuat mental mereka menghadapi tekanan dari kaum musyrikin Qurasy. Di tempat itu mereka bisa leluasa beribadah, menerima wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah dengan tenang, membuka kesempatan bagi yang mau masuk Islam tanpa harus diketahui oleh orang-orang kafir Qurasy yang gemar menyiksa.
Nama Arqam diabadikan dalam kaderisasi internal Muhammadiyah dengan program pembinaan kader yang disebut Baitul Arqam dan Darul Arqam. Baitul Arqam dan Darul Arqam diadakan untuk pengurus persyarikatan di semua tingkatan, pengurus ortom, pengurus amal usaha Muhammadiyah (AUM) dan karyawan-karyawannya.
Hijrah ke Habsyah
Pada pertengahan sampai akhir tahun keempat kenabian, tekanan terhadap kaum muslimin masih dalam sekala kecil, tapi tekanan itu meningkat pada tahun ke lima. Kaum Muslimin mulai tidak betah tinggal di Makkah, mereka mulai memikirkan cara menyelamatkan diri dari tindakan zalim kaum Qurasy. Surat az-Zumar ayat 10 mengisyaratkan untuk hijrah. Dalam ayat itu Allah menyatakan bumi Allah itu luas. Jika mereka tidak bisa leluasa menjalankan agama di Makkah, mereka bisa pindah ke negeri lain, bukankah bumi Allah luas. Allah SWT berfirman:
قُلۡ يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمۡۚ لِلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٞۗ وَأَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ ١٠
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertaqwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S. Az-Zumar 39: 10)
Beberapa orang sahabat disarankan oleh Rasulullah SAW untuk hijrah ke Habsyah karena raja yang memimpin di sana seorang Nasrani yang memerintah dengan adil. Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian berangkatlah rombongan pertama hijrah ke Habsyah, terdiri dari 12 laki-laki dan 4 orang perempuan. Rombongan pertama dipimpin oleh Utsman ibn Affan yang didampingin oleh isterinya Ruqayah puteri Rasulullah sendiri. Rombongan berangkat diam-diam tengah malam sehingga tidak diketahui oleh orang-orang Qurasy. Menyadari keberangkatan mereka, orang-orang Qurasy mengejarnya tapi tidak berhasil karena yang dikejar sudah berangkat meninggalkan Pelabuhan Syaibah menumpang dua kapal dagang yang berlayar menuju Habsyah.
Pada bulan Ramadhan tahun kelima kenabian itu juga, Rasulullah pergi ke tempat orang-orang Qurasy berkumpul dan membacakan di hadapan mereka Surat an-Najm. Mereka terkesima mendengar firman Allah yang dibacakan Nabi. Sampai pada akhir ayat:
فَٱسۡجُدُواْۤ لِلَّهِۤ وَٱعۡبُدُواْ۩ ٦٢
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (Q.S. An-Najm 53: 62)
Nabi lalu sujud, dan orang-orang Qurasy yang menyaksikan itu semuanya ikut sujud. Kemudian orang-orang Qurasy yang sujud itu dimaki-maki oleh kaum Qurasy lainnya. Tidak mau dimaki-maki, orang-orang Qurasy yang sujud berdalih bahwa mereka ikut sujud karena mendengar Nabi juga memuji-muji Latta dan ‘Uzza. Dalam Surat an-Najm memang disebut Latta dan ‘Uzza tetapi bukan dalam konteks memujinya. Berita orang-orang Qurasy sujud itu sampai juga ke Habsyah, mereka mengira orang-orang Quraisy sudah masuk Islam, sehingga bulan Syawal tahun itu juga mereka kembali ke Makkah. Tetapi menjelang masuk kota Makkah barulah mereka tahu keadaan yang sebenarnya. Sebagian kembali ke Habsyah, sebagian masuk kota Makkah sembunyi-seumbunyi dan ada juga yang meminta perlindungan kepada orang Qurasy tertentu. (ar-Rahiq al-Makhtum 118-119)
Setelah kembali ke Makkah kaum muhajirin awal ini dapat tekanan dan siksaan yang lebih berat lagi. Demikian juga kaum Muslimin umumnya semakin berat mendapat tekanan dari kafir Quraisy. Setelah Rasulullah memerintahkan, rombongan kedua berangkat kembali hijrah ke Habsyah. Rombongan kedua ini lebih besar, 83 laki-laki 19 perempuan. Persiapan lebih berat karena orang-orang Qurasy sudah bersiap menghalanginya sejak awal.
Tidak rela kaum muslimin dapat perlindungan di Habsyah, pihak Qurasy segera mengirim dua orang duta mereka menemui Raja Najasyi penguasa Habsyah. Yang mereka kirim adalah dua tokoh yang terkenal tangguh berdiplomasi yaitu ‘Amr ibn Ash dan Abdullah ibn Abu Rabi’ah. Mereka berdua datang dengan membawa beragam hadiah untuk Raja Najasyi dan para pembesar kerajaan. Tampaknya para pembesar kerajaan dapat dipengaruhi oleh ‘Amr ibn ‘Ash dan Abdullah ibn Abu Rabi’ah sehinggu mereka sepakat untuk mengusulkan kepada Najasyi agar mengusir kaum Muslimin dari Habsyah.
Dua utusan Quraisy itu datang menghadap Raja mengajukan permintaan mereka, “Tuanku Najasyi, ada sejumlah orang bodoh yang menyusup kenegeri Tuanku. Mereka meninggalkan agama mereka, tetapi juga tidak mengikuti agama Tuanku, melainkan mengikuti agama yang mereka buat-buat sendiri. Kami belum pernah mengetahuinya, begitu pula Tuanku. Kami berada di sini karena diutus oleh para pemimpin dari ayah, paman dan keluarga mereka untuk menghadap Tuanku. Kiranya Tuanku berkenan mengembalikan mereka kepada para pemimpin mereka, sebab para pemimpin itulah yang lebih berhak mengurus mereka dan lebih tahu mengapa mereka sampai dicerca dan dicaci.” (ar-Rahiq al-Makhthum, hal. 120-121)
Para pembesar Istana ikut bicara mendukung permintaan utusan pihak Qurasy tersebut. Tetapi Najasyi ingin mendengarkan terlebih dahulu versi kaum Muslimin. Mereka segera dihadirkan di istana. Najasyi bertanya:”Agama apa yang membuat kalian meninggalkan kaum kalian, tetapi kalian tidak memeluk agamaku dan tidak pula satupun dari agama-agama ini?”
Ja’far ibn Abi Thalib yang ditunjuk sebagai juru bicara kaum Muslimin segera menjawab pertanyaan Sang Raja: “Tuanku Najasyi, dahulu kami adalah pemeluk agama jahiliyah. Kami menyembah berhala-berhala, kami makan bangkai, kami melakukan hal-hal keji, gemar memutus hubungan persaudaraan, menyakiti tetangga, dan yang kuat di antara kami memakan yang lemah. Keadaan kami tetap seperti itu sampai Allah mengutus seorang Rasul dari golongan kami. Kami mengenal betul nasab, amanah, kejujuran dan kesuciannya. Beliau mengajak kami mengesakan dan menyembah Allah. Beliau meminta kami melepaskan diri dari bebatuan dan berhala yang kami dan nenek moyang kami dahulu menyembahnya. Beliau perintahkan kami untuk berkata benar, melaksanakan amanah, menyambung silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga, tidak melakukan berbagai tindakan haram dan melakukan pertumpahan darah….dst..”, Ja’far menjelaskan panjang lebar tentang ajaran Islam yan dibawa Nabi dan juga menjelaskan kenapa mereka sampai meminta perlindungan kepada Penguasa Habsyah tersebut.
Najasyi mendengarkan dengan seksama penuturan Ja’far. Lalu beliau meminta Ja’far membacakan di antara wahyu yang diturunkan kepada Nabi. Ja’far membaca Surat Maryam. Tepat sekali pilihan Ja’far membacakan Surat Maryam karena berbicara tentang tokoh-tokoh yang sangat mereka kenal sebagai seorang Nasrani. Air mata Najasyi sampai meleleh, demikian juga pendeta-pendeta yang hadir. Akhirnya Najasyi membuat keputusan. Keputusannya ditujukannya kepada ‘Amru dan Abdullah dua utusan Qurasy itu, “Sesungguhnya agama ini dan agama yang dibawa oleh Isa bersumber dari cahaya yang sama. Pergilah! Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian. Tidak akan pernah.” (ar-Rahiq al-Makhtum, hal. 121-122)
‘Amru tidak putus asa. Besok dia kembali menghadap Najasyi dan menyatakan bahwa kaum Muslimin itu punya pandangan yang berbeda tentang Isa. Najasyi kembali memanggil Ja’far dan menanyakan tentang Isa. Ja’far menjawab: “Kami akan mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi kami. Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, serta roh dan tanda kekuasan-Nya yang Dia taruh pada Maryam sang perawan suci.”
Najasyi memungut potongan dahan dari tanah dan berkata, “Demi Allah, Isa ibn Maryam tidak beda jauh dengan apa yang kau katakan, seperti potongan dahan ini.”
Selanjutnya Najasyi berkata kepada orang-orang Islam itu, “Pergilah ! Kalian aman di negeriku. Siapa pun yang mengganggu kalian akan menanggung akibatnya. Aku tidak menginginkan segunung emas dengan cara menyakiti seorang pun dari kalian.” Selanjutnya Najasyi perintahkan untuk mengembalikan semua hadiah-hadiah dibawa oleh dua utusan Qurasy tersebut. (ar-Rahiq al-Makhtum, hal 122) (bersambung).
Sumber: Majalah SM Edisi 01 Tahun 2019