Cerpen Latief S. Nugraha
Demi waktu, mungkin bagi Anda cerita ini biasa-biasa saja. Cerita yang terjadi di sekitar kita. Yang lahir di tengah perubahan zaman. Peristiwa-peristiwa berlangsung begitu rumit, ganjil, dan mustahil tanpa kita sadari. Tiap-tiap golongan berseberangan satu sama lain, menggenggam erat kebenaran masing-masing. Belum lama ini terjadi tragedi bom bunuh diri dan serangan-serangan yang diarahkan kepada polisi. Maaf, apakah ini perwujudan dari kebodohan yang berpadu dengan kebencian sehingga menghasilkan kehancuran? Nauzubillah min zalik.
Sungguh telah ditampakkan di hadapan kita fenomena-fenomena yang sejelas-jelasnya bagi orang-orang yang mau mengerti dan berpikir.
Melalui catatan ini, saya hanya ingin berbagi kisah tentang hal-hal kecil di sekitar kita. Bukan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di jagat raya. Saya telah jauh ditinggalkan zaman, pikiran saya diliputi ketidaktahuan terhadap banyak hal. Oleh karenanya, sebelum saya bercerita dan membebaninya dengan pendapat pribadi, saya minta maaf yang setulus-tulusnya apabila ada satu, dua, atau tiga hal yang mungkin saja tidak sesuai dengan pikiran Anda. Saya tidak tahu apa yang akan Anda katakan setelah membaca cerita ini. Tetapi, bagaimana pun pendapat orang, saya sudah memiliki kesimpulan sendiri yang tak bisa diganggu gugat!
Jadi, begini kisahnya…
***
“Bagaimana jika di sebuah jalan sempit, di suatu kampung, ada dua buah mobil dari arah berlawanan bertemu? Kedua mobil itu berhenti. Lama. Lama sekali. Masing-masing sopir terdiam, hati keduanya mengeras,” bertanya Santosa kepada Mustofa di tengah usahanya menumbangkan raja hanya dengan tiga langkah kuda di ujung telunjuk dan ibu jarinya.
“Harus ada salah satu yang melunakkan hatinya. Mengalah!” jawab Mustofa singkat dan penuh keyakinan.
“Siapa yang harus mengalah?” tanya Santosa.
Keduanya terdiam. Kuda hitam di ujung telunjuk dan ibu jari Santosa kini berpindah setelah langkah pertamanya.
“Orang berilmu!” tiba-tiba Mustofa menjawab. Matanya menatap mata kuda hitam di hadapannya.
“Jika keduanya berilmu?” pertanyaan Santosa mengejar.
Kembali keduanya terdiam. Mustofa mencoba mengancam kuda hitam yang tak tertebak arah langkahnya. Persis seperti pertanyaan yang dilontarkan Mustofa.
Sesungguhnya, Mustofa sudah sering mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Santosa. Keduanya sohib yang setia. Di berbagai kesempatan mereka akan terlihat bersama. Mereka juga pengurus RT, pengurus takmir, pembina pemuda-pemudi kampung yang selalu punya cara mengatasi suatu persoalan. Meskipun tidak berkedudukan tinggi di kampungnya, tapi wawasan yang dimiliki keduanya bisa diterima oleh warga masyarakat setempat. Tentu saja mereka memanggul beban risiku di punggungnya. Mereka berdua terkadang juga harus berlawanan dengan generasi tua kampung itu yang kaku pandanganya. Beruntung ada sejumlah warga yang memiliki pandangan sama dengan Mustofa dan Santosa, sehingga selalu mendukung setiap gagasan yang diterbitkannya.
Keduanya acap kali tampak menghabiskan waktu, untuk sekadar ngeteh atau main catur seperti yang tengah dikerjakan saat ini. Kalau sudah bertemu, keduanya akan ngobrol ngalor ngidul, membicarakan berbagai masalah mulai dari politik hingga janda-janda cantik. Dan selalu ada solusi tak terduga.
Kali ini, pertanyaan dari Santosa belum terjawab. Begitu pula dengan ke mana arah kuda Santosa akan melangkah. Ya, pertanyaan sanepa. Kiasan.
“Siapa di antara keduanya yang merasa paling benar?” tanya Mustofa.
“Loh, ditanya kok malah berbalik tanya!”
“Pertanyaan itulah jawabanku?”
“Maksudmu?”
“Yang merasa paling benar, dialah yang harus mengalah! Karena, ketika di hatinya tumbuh pohon perasaan menjadi yang paling benar itu, di situlah buah bernama ketidakbaikan tengah masak.”
“Tumben kamu cerdas.”
“Artinya, antara Pak Dayat atau Pak Taufiq, selaku pemuka agama di di kampung ini, harus kembali pada falsafah leluhur, “wani ngalah dhuwur wekasane”, barang siapa berani mengalah akan memperoleh nilai tinggi pada akhirnya.”
“Persoalan berikutnya, sebagai orang yang dituakan, dihormati, dipercaya, apakah kebenaran pribadi yang mereka bela itu baik?”
Keduanya kembali terdiam. Kuda hitam Santosa sudah berjalan dua langkah mengincar singgasana raja.
Sebenarnya, mereka berdua sudah tahu duduk perkaranya. Sebagai tokoh masyarakat mereka sedang mencari solusi yang paling bisa diterima. Jadi begini, saat bulan Ramadan seperti ini senantiasa terjadi keterbelahan. Mirip dunia politik. Pak Dayat bersikukuh bahwa salat tarawih di masjid dengan membaca surat-surat panjang dan dengan tempo yang lamban lebih mulia. Sementara Pak Taufiq berpendapat, salat tarawih harus mempertimbangkan jamaahnya, demi kepentingan umat, membaca surat-surat pendek dan mendirikan salat dengan tempo cepat lebih utama.
Sebenarnya, maksud pandangan kedua pemuka agama itu benar, tapi tidak tepat. Celakanya, banyak orang yang weruh grubyug, ora weruh rembug. Alias hanya ikut-ikutan. Agaknya, hal semacam itu terjadi di mana-mana.
Mari kita bayangkan salat tarawih berdasar wacana Pak Dayat, tempo yang lama tentu akan berpengaruh pada kekhusyukan salat. Hal ini juga berhubungan dengan kekuatan fisik para jamaah, apalagi yang berusia tua. Bisa jadi, ada makmum yang sudah dua kali kentut tapi rakaat belum juga berganti. Belum lagi surat-surat panjang yang dibacakan, tidak semua jamaah hafal dan paham maknanya. Bagaimana bisa seorang makmum tidak paham dengan apa yang disampaikan imamnya? Artinya mereka berada dalam satu barisan tapi tidak sejalan.
Begitu pula dengan salat tarawih dalam pandangan Pak Taufiq, kecepatan gerakan tentu akan mudah menghasilkan keringat. Kecepatan melafalkan ayat Al Quran memiliki kecenderungan terjadinya kesilapan. Makmum belum berdiri dengan tegak, imam sudah bertakbir untuk gerakan rukuk. Yang terjadi adalah adu cepat gerakan salat antara imam dan makmum. Sulit bisa salat dengan khusyuk jika begini. Sama, bukan? Merka berada dalam satu barisan tapi tidak sejalan.
“Jelas, yang perlu diluruskan adalah tafsirnya,” Mustofa memberi penjelasan kepada Santosa. Beteng di genggamannya bergerak membuka jalan.
“Itu duduk perkaranya. Solusinya?” tanya Santosa sambil menimbang-nimbang perhitungan, mencari celah lawannya lengah, singga dengan sekali langkah kuda hitamnya bisa menjegal kedudukan raja.
Keduanya terdiam.
“Skak…!” teriak Santosa memaksa Mustofa berkonsentrasi mencari kesalahan langkahnya.
“Kita akan segera musyawarah dengan takmir dan warga. Kita ajukan usulan; bahwa setiap laki-laki kepala keluarga di kampung ini harus siap menjadi imam salat tarawih bergantian bergiliran setiap malamnya! Kita belajar caranya menjadi pemimpin. Kita pelajari hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang yang mengaku pemimpin di negeri ini!”
Yogyakarta, 7 Ramadan 1439 H.
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 12 Tahun 2018