Masjid-Masjid di Beirut

Beirut

Mohammad al-Amin Mosque Foto Dok Ist

Masjid-Masjid di Beirut

Oleh Hajriyanto Y. Thohari

Sebagai bagian dari negeri Syam (biladu Syam) yang sejak masa Khalifah Rasyidin kedua Umar bin Khattab telah dibebaskan dari kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) dan kemudian menjadi wilayah kekhalifahan Islam, baik Ummayah, Abbasiyah, maupun Ustmaniyah (ottoman), Beirut, ibukota Lebanon, mestinya memiliki banyak masjid.

Tetapi nyatanya tidak demikian halnya: Jumlah masjid di Lebanon, apalagi di kota Beirut, terhitung sedikit. Di kota tua Byblos (Arab: Jubail) malah cuma ada satu masjid saja, yaitu  di dekat reruntuhan (ruin) benteng Byblos. Jangankan di kota-kota lainnya yang memang mayoritas Kristen seperti Bchara, Jgharta, Batrun, Juneh, Zahle, dan lain-lainnya: Bahkan susah mencari masjid untuk sekedar menumpang shalat.

Sebagai wilayah yang telah lama menjadi bagian dari sejarah Islan, Lebanon mestinya juga akan banyak memiliki masjid-masjid yang berusia tua. Bukankah sejak abad 7 Lebanon sudah di bawah kekuasaan Islam? Tetapi nyatanya tidak demikian halnya. Masjid yang tertua yang kini masih bertahan adalah Masjid Deir el-Qamar yang dibangun pada tahun 1493 di Mount Lebanon. Masjid-masjid yang lebih tua dari masjid Deil el-Qamar sudah tidak ada lagi.

Bahkan masjid yang berada di Anjar (salah satu kota di Lebanon), di tengah salah satu Istana yang dibangun Khalifah Walid bin Abdul Malik (705-715) masa Umayyah (Palace of Anjar), pun sudah tinggal reruntuhan (ruin) belaka. Bukan hanya masjidnya, melainkan juga istananya. Sekarang pelan-pelan kayaknya reruntuhan istana Anjar peninggalan zaman Umayah itu sedang direstorasi oleh UNESCO sebagai salah satu warusan dunia (world heritage).

Kini yang jauh lebih menarik di Lebanon bukan lagi berapa jumlah masjid dan mana masjid tertua, melainkan justru mana masjid terbaru di Beirut. Masjid yang terbaru di Beirut adalah masjid Mohammad Al-Amin yang berada di pusat kota (downtown) Beirut. Tepatnya di Martyrs’s Square, kawasan Amir Bachir, Beirut. Masjid berkubah biru yang sangat besar dan megah ini diresmikan pada tahun 2008 yang dibangun atas donasi sepenuhnya almarhum Perdana Menteri Rafiq Hariri, ayahanda Perdana Menteri Saad Hariri yang sekarang menjadi kepala pemerintahan Lebanon.

Rafiq Hariri adalah seorang Tycon (pengusaha kaya raya) dan sekaligus seorang politikus besar yang menjabat Perdana Menteri Lebanon 1992-1998, dan setelah istirahat beberapa tahun kemudian terpilih kembali sekali lagi sebagai Perdana Menteri tahun 2002. Pada 14 Februari 2025 wafat ketika sebuah bom yang berkekuatan ekuivalen dengan 1.800 Kg (4.000 Lb) TNT yang disembunyikan di dalam mobil Van Mitshubisi diledakkan oleh musuh politiknya sehingga saking dahsyatnya sampai-sampai beberapa motorcadr yang mengawalnya terlontar sampai pekarangan hotel di St George yang jaraknya ratusan meter dari lokasi kejadian tragis itu. Sebanyak 22 orang pengawalnya meninggal bersama PM Rafiq Hariri dan dimakamkan di halaman Masjid Al-Amin tersebut, sehingga kawasan itu sekarang diabadikan dengan nama Martyr’s Square.

Ikon kota Beirut

Masjid Al-Amin ini semula sebuah Zawiyah (mushalla tua dan kecil di pojok jalan) yang sudah ada dan berdiri di sana sejak ratusan tahun sebelumnya. Setelah tanah yang berada di sekitar masjid itu dapat dibebaskan maka kemudian dibangun lah sebuah masjid besar oleh PM Rafiq Haririr.

Sebelum proses pembangunannya selesai masjid Al-Amin ini sempat memancing kontroversi hangat karena dinilai oleh sebagaian kalangan yang tidak senang sebagai terlalu besar untuk ukuran sebuah kota Beirut yang penduduknya cuma beberpa ratus ribu saja dan penganut muslim sunni-nya tidak juga mayoritas. Dengan berdirinya masjid yang dianggap terlalu besar ini dikhawatirkan keberadaannya terlalu mendominasi pemandangan kota sehingga Beirut menjadi “terlalu” Islam. Saya tidak tahu bagaimana kontroversi itu berakhir kecuali bahwa masjid ini akhirnya tetap berdiri anggun dan megah yang seringkali tidak bisa menampung jamaah sholat Jumat dan jamaah sholat Tarwih di sepuluh terakhir bukan Ramadhan, apalagi jamaah shalat Iedul Fitri dan Iedul Adha.

Kini masjid ini bersama-sama Gereja St George yang berada di sampingnya itu malah menjadi simbol coexistensi damai antaragama dan sekaligus kebanggaan masyarakat Beirut, bahkan menjadi salah satu icon ibukota Lebanon. Apalagi di samping masjid ini terdapat dua jalan besar yang terpisah di mana di tengahnya dibuat semacam Bulevard lebar dan panjang yang sering dijadikan sebagai tempat demonstran beraksi dan menyampaikan orasi-orasinya. Semuanya itu menambah strategisnya posisi masjid Al-Amin ini sebagai ikon kota besar Beirut.

Masjid Mohammad Al-Amin yang mirip masjid Biru (Masjid Sulaimaniyah) di Istambul, Turki, itu berdampingan dengan gereja  Katolik St George yang tidak kalah besar dan megahnya. Di sekitar kedua masjid dan gereja megah ini sedang  dilakukan banyak penggalian arkeologis untuk menemukan peninggalan-peninggalan arkeologis zaman Bysantium atau Romawi Timur yang sangat kaya itu. Tak heran jika banyak turis asing dan domestik yang berkunjung ke masjid Mohammad Al-Amien yang memang menyolok anggun itu. Masjid pun bersikap terbuka atas kunjungan para turis, yang kebanyakan nonmuslim itu, yang pakaiannya sangat minimalis sekalipun diterima masuk, dengan cara pengurus masjid meminjami mereka kain penutup aurat yang cukup memadai sehingga pantas dan tidak menodai pemandangan serta kesucian masjid.

Tidak jauh dari masjid Al-Amin, bahkan dalam satu blok, di downtown Beirut itu, ada empat masjid lainnya: masjid Emir Assaf, masjid Emir Munzer, masjid Al-Omari, dan masjid Al-Majidiyah.  Saya agak heran mengapa kelima masjid itu begitu berdekatan, bahkan jaraknya cuma 200 atau 300 mater saja satu sama lain dan dalam satu kawasan downtown yang tidak begitu luas. Masjid Emir Assaf dibangun pada tahun 1597.

Masjid Emir Munzer dibangun pada tahun 1616-1633 oleh Gubernur Ottoman yang bernama Emir Munzeer. Adapun masjid Al-Omari dibangun tahun 1291, demikian halnya masjid Al-Majidiyah yang dibangun abad 19.

Memang kebanyakan bangunan-bangunan tua di Beirut dan Lebanon yang masih kuat dan berfungsi dengan baik sekarang ini adalah peninggalan Ottoman. Saya lihat kantor Perdana Menteri, Parlemen, Kementerian-kementerian, dan kantor Gubernur Mount Lebanon, adalah sisa-sisa peninggalan pemerintahan Ottoman dulu.

Bersih-bersih sekali

Yang paling mengesankan dari masjid-masjid di Beirut adalah kebersihannya. Meskipun dari luar tampak dindingnya yang dari batu-batu tebal warna cream dan agak kekuning-kuningan itu tetapi dalamnya sangat bersih. Semuanya lantainya dilapisi karpet nan lembut dan indah yang tampaknya karpet-karpet itu harganya sangat mahal. Tidak ada karpet yang terkelupas. Semuanya terpasang rapi dan bersih-bersih sekali karena bukan potongan-potongan karpet, melainkan karpet yang utuh yang memenuhi seluruh lantai.

Karpet-karpet masjid di Lebanon kayaknya memang karpet yang dipesan khusus sehingga seperti tidak ada garis pemisah: utuh! Tidak ada debu yang kelihatan, apalagi tercium oleh hidung. Mungkin karena di dalam ruangan masjid-masjid tersebut selalu terpasang Air Conditioning (AC): di musim panas AC pendingin, di musim dingin AC pemanas atau heater.

Jangan ditanya juga toilet dan tempat wudlu-nya: selalu bersih, tidak bau, apalagi pesing, dan selalu tersedia kertas tissue dalam jumlah yang cukup. Para jamaah selalu menggunakan kertas tissue untuk mengeringkan muka, tangan dan kakinya sehabis berwudlu. Kebersihan masjid-masjid di Beirut memang sungguh-sungguh sangat mengesankan!

Masjid-masjid di Beirut juga selalu memiliki sound-sistem yang canggih dan berkualitas tinggi. Bukan pengeras suara yang suka berdengung alias mbengung dan grak-grek-grak-grek itu. Tidak ada suara kemresek (berisik), apalagi sound system yang hidup-mati-hidup mati. Saya sudah mengunjungi dan bersholat jamaah di hampir semua masjid di Beirut: Kondisi kebersihannya, kerapiannya, dan pengeras suaranya sama seperti itu. Sungguh saya kagum pada masjid-masjid di kota Beirut.

Mengapa saya kagum? Sebab, masjid-masjid di Beirut dan di seluruh Lebanon tidak dibeayai oleh pemerintah. Bahkan tidak mendapatkan bantuan dari anggaran pemerintah sama sekali. Sebab, sistem pemerintahan Lebanon itu sekuler! Meskipun negara ini menganut sistem politik confessional di mana political power sharing dilakukan berdasarkan konstelasi agama dan sekte, tetapi pemerintahannya sekuler! Artinya, pemerintah tidak mengurusi agama. Bahkan di Lebanon tidak ada Kementerian Agama!

Alih-alih kementerian agama, kementerian wakaf dan Haji saja, yang ada seperti di negara-negara Arab lainnya, tidak ada di Lebanon! Urusan agama Katolik ya di bawah urusan Kardinal dan uskup, sementara urusan agama Islam sunni di tangan Mufti (ada Mufti Lebanon, dan ada Mufi-Mufti Provinsi), dan urusan agama Islam Syiah di tangan Mullah, dan urusan ibadah Druze di bawah bimbingan pimpinan rokhani Druze.

Tetapi justru dalam sistem yang sekuler itu masjid-masjid malah bersih-bersih, rapi, bagus, indah, ber-AC, sound sistemnya canggih, toiletnya dan tempat wudlunya selalu bersih, lantainya kering, dan lengkap dengan kertas tissue sepanjang waktu!

Masih ada lagi sisi lain dari masjid-masjid di Beirut yang mengundang kekaguman saya: imam dan khatibnya semuanya hafidz al-Quran yang memiliki suara yang sangat jernih, fasih, dan keras tapi indah, dengan stamina yang luar biasa tinggi. Kalau mereka berkhutbah tampak sekali menguasai ilmu agama. Suara berwibawa, bacaannya fasih sekali, makhrajnya jelas, dan isi khutbahnya benar-benar ajaran agama dari Al-Quran dan Hadist dengan sedikit uraian yang sifatnya subyektif. Artinya, para khatib itu tidak menginteroretasikan ayat-ayat Al-Quran dan Hadist Nabi terlalu jauh dengan ilmu pengetahuan moderen dan pengetahuan umum.

Mareka sedikit sekali menggunakan pikiran sendiri (al-ra’yu). Para khatib juga tidak pernah mengomentari perkembangan politik aktual, apalagi pemerintahan. Benar-benar khutbah agama: ketika maulud menjelaskan sirrah nabi, ketika bulan Isra’ Mi’raj menjelaskan peristiwa itu sebagaimana yang dimuat dalam Al-Quran dan al-Hadist sekaligus perintah shalat, ketika puasa ramadhan lhatib menjelaskan kaifiat dan hikmah ramadhan, nuzulul Quran, ketika musim haji menjelaskan manasik haji dan hikmahnya, ketika masuk bulan Muharram menjelaskan peristiwa hijrah, dan seterusnya dan seterusnya.

Kemudian Imam shalat rawatib, shilat Jumat, dan shalat Tarwih, sungguh luar biasa mengagumkan. Bacaan para imam sangat lah fasih dengan lagu yang luar biasa indah gaya biladu Syam. Imam-imam shalat di Beirut tidak kalah fasih dengan imam-imam Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Juga tidak kalah dengan Imam Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. Rasanya tidak pernah bosan mengikuti sholat Tarwih di masjid-masjid Beirut. Padahal shalat Tarwih di bulan Ramadhan di semua masjid di Beirut panjang-panjang karena dalam satu bulan Ramadhan mereka mengkhatamkan Al-Quran 30 juzz dalam 29 atau 30 kali shalat tarawih.

Anda bisa bayangkan betapa panjangnya surat yang dibaca oleh Imam kalau sholat tarwihnya 8 rakaat plus witir 3 rakaat. Padahal di Masjid Emir Munzer sholat tarwih 8 rakaat plus witir 3 rakaat. Saya tidak tahu mengapa sholat tarwih di masjid Emir Mundzir itu seperti shalat tarwih di masjid-masjid Muhammadiyah atau Persis: Jumlah rakaat tarwihnya sama!

Sementara di masjid Mohammad Al-Amin shalat tarwih 20 rakaat dan witir 3 rakaat.  Pada malam pertama dan kedua bulan ramadhan masjid ini penuh dengan jamaah tarwih sekitar 25-30 shaf yang panjangnya shaf sampai sekitar 100 orang. Tetapi begitu hitungan shalat tarwih sampai di rakaat ke delapan, lebih dari setengah, bahkan pernah sampai dua pertiga jamaah pulang. Rupanya banyak di antara mereka hanya sholat tarwih 8 rakaat saja.

Bahkan pernah dalam satu malam jamaah yang tersisa tinggal 2 shaf saja. Nanti menginjak pada sepuluh malam terakhir jamaah shalat tarwih kembali memenuhi masjid Mohammad Al-Amin yang besar itu. Dan pada malam 27 Ramadhan jamaah sholat tarwih dan Qiyamu l-lail membludak sampai keluar masjid, sampai ke sekitar Makam Almarhum PM Rafic Hariri! Biasanya pada malam 27 ini Imam sudah selesai mengkhatamkan Al-Quran.

Saya menyebut jamaah shalat tarwih dan Qiyamu l-Lail oleh karena di masjid-masjid di Beirut pada sepuluh malam terakhir di samping ada shalat tarwih yang dilaksanakan bakda shalat Isya’, nanti pada jam 1 atau 2 dini hari dilaksanakan lagi sholat Qiyamullail berjamaah. Shalat tarwih ba’dha Isya’ 8 rakaat (dua rakaat salam) tanpa witir. Nanti setelah tengah malam didirikan lagi shalat Qiyamullail sebanyak 12 rakaat (dua rakaat salam) ditutup shalat witir 3 rakaat.

Satu lagi yang bikin saya tersenyum. Dan ini Tak kurang menariknya: kebanyakan jamaah Shalat di masjid-masjid di Beirut memakai celana Jean dan berkaos kaki. Saya suatu ketika pernah menghitung shaf di depan saya yang panjangnya sampai lima puluhan orang itu: Semuanya mengenakan celana Jean dan berkaos kaki! Ketika sholat Tarwih ternyata malah banyak juga yang memakai celana pendek (tentu celana pendek yang sampai menutupi lutut) yang kalau di Indonesia mungkin sudah dicap radikal.

Di Indonesia sholat memakai celana cingkrang saja dibilang radikal, apalagi pakai celana pendek! Mungkin langsung disebut teroris!  Tidak ada yang memakai pakaian ala Arab, kecuali Imam dan asisten Imam yang berdiri di samping kanan dan kiri imam agak sedikit ke belakang. Saya kira mereka memakai kaos kaki hanya di musim dingin saja, tapi ternyata mereka memakainya juga di musim panas. Untung saja kaos kakinya bersih-bersih. Bayangkan saja kalau seandainya kaos kakinya lama tidak dicuci. Alamak, betapa baunya…!

Sumber : Majalah SM Edisi 23-24 Tahun 2019

Exit mobile version