Bukan Kesalehan Yang Mengantarkan ke Surga
Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Beberapa hari yang lalu, seorang teman bercerita tentang giginya. Giginya yang paling belakang patah saat makan jagung, sehingga terasa sangat tajam ke kulit pipi bagian dalam. Bukan hanya menjadikannya sariawan, tapi juga terasa sakit saat makan dan berbicara.
Merasa terganggu, datanglah ia ke dokter gigi untuk mencabut gigi patah yang tajam itu. Setelah diperiksa dan dilihat oleh sang dokter, maka dicabutlah gigi “pengganggu” itu. Menariknya, ketika selesai dicabut, rasa mengganjal dan sakit itu ternyata masih sangat terasa. “Kok aneh”, katanya sambil menggerutu.
Setelah sampai di rumah dan darahnya sudah mereda, ia lihat ke cermin. Astaghfirullah, ternyata bukan gigi paling belakang yang dicabut, tapi gigi bagian depannya yang masih baik-baik saja. Teman-temannya yang ikut mendengarkan ceritanya kemudian sama menyeletuk, “Kok ndak dipasang lagi gigi yang habis dicabut itu?” Satunya lagi bilang, “Minta ganti ke dokter giginya, Pak.” Celetukan itu tampaknya hanya menjadi guyonan saja.
Sepuluh hari kemudian, ia bercerita lagi bahwa ia barusan datang dokter gigi. Sambil memberitahukan bahwa gigi paling belakang yang tajam sudah dicabut. Saya lalu ingat big sale yang ditawarkan toko-toko swalayan atau super market, “Itu namanya sampeyan dapat bonus, Pak. Beli 1 gratis 1. Cabut satu gratis 1.” Lucu dokternya, kasihan pasiennya.
Seminggu yang lalu, saya mengantarkan isteri saya ke dokter gigi. Kasusnya berbeda. Yang sama hanyalah sama-sama urusan gigi. Dokter gigi isteri saya ini sebenarnya sudah mengaku sendiri, bahwa dirinya bukanlah tukang cabut gigi. Ia adalah dokter gigi yang merawat gigi. Dan begitulah nyatanya. Ia tidak pernah mau mencabut gigi selama akarnya masih bagus dan bisa dirawat.
Namun, karena kondisi giginya sudah tidak bisa dipertahankan, akhirnya satu gigi kunyah isteri saya harus dicabut, karena patah sampai ke akarnya. Penyebabnya, makan kacang sanghai yang agak sedikit keras sehingga mematahkan giginya.
Oleh sang dokter isteri saya disarankan untuk memasang gigi implant (gigi palsu, tentunya). Lalu, saya dan isteri saya bertanya, “berapa biaya perawatannya, Dok?”
Sang dokter itu menjawab ringan, “Murah, Cuma 10 juta.” Kata seorang teman, itu adalah harga di Sumenep. Kalau di Surabaya bisa mencapai 12-15 juta perbiji.
Saya lalu bilang ke isteri, “Manusia sudah sangat wajar harus banyak bersyukur kepada Yang Maha Pencipta. Coba dihitung, kalau gigi kita adanya sebanyak 32 biji, kan tinggal mengalikan saja. Berarti 480 juta. Ya, anggap setengah Milyarlah.”
Dalam sebuah kesempatan, saya pernah bertanya kepada salah seorang jamaah pengajian Aisyiyah, “Mau ndak kalau giginya dicabut sebanyak 15 biji saja. Lalu dijual dan dibuat beli mobil baru? Atau membuat rumah baru?” Serempak semua menjawab tidak mau.
Itu baru gigi yang kalau sakit satu biji rasa sakitnya bisa menyebar ke seluruh badan. Untung, Allah tidak pernah menarik uang sewa atas gigi yang kita pakai. Belum lagi, alat-alat yang lain: mata, hidung, telinga, tangan, kaki, jantung, alat kelamin dan sebagainya. Jadi, benarlah apa yang difirmankan Allah dalam kitab sucinya bahwa manusia tidak akan mampu menghitung nikmat Tuhan. Atau, “Nikmat mana lagi yang akan kamu dustakan?”
Bahkan, kesalehan (amal kebaikan) yang kita lakukan di dunia ini tidak akan mampu membalas kebaikan nikmat Tuhan kepada manusia. Terlalu kecil nikmat itu dibeli dengan seluruh kesalehan yang dilakukan oleh manusia, baik kesalehan personal antara manusia dengan Tuhannya maupun kesalehan social yang dilakukan kepada sesama manusia. Sekalipun dilipat gandakan pahalanya oleh Allah. Apalagi dosa-dosa yang kita lakukan setiap harinya tidak pernah kering melumuri diri kita. Begitu angkuh dan bangganya manusia ingin masuk surga hanya dengan amal kesalehannya.
Maka, wajarlah jika pada suatu saat Rasulullah bercerita tentang seorang alim yang merasa bisa masuk surga dengan amal ibadahnya. Dalam sebuah Hadits Riwayat Shahih Muslim yang cukup panjang, dari Muhammad Bin Mukadir, dan juga diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, suatu hari Rasulullah datang kepada kami. Lalu, Rasulullah SAW bersabda, ”Baru saja Jibril datang kepadaku dan berkata:
”Hai Muhammad, Demi Allah, ”Bahwasanya ada seseorang melakukan ibadah kira-kira lima ratus tahun diatas puncak sebuah gunung yang luas. Panjangnya 30 x 30 hasta. Gunung itu dilingkari lautan seluas 4000 farsakh dari setiap penjuru. Di bawah gunung tersebut terdapat sumber mata air jernih kira-kira satu jari lebarnya. Dan terdapat pula pohon buah delima yang sengaja disediakan oleh Allah untuknya, dimana setiap hari mengeluarkan buahnya satu biji.
Setiap sore sesudah berwudlu, buah tersebut diambil dan dimakan, kemudian dia melakukan shalat seraya berdo’a memohon diambil nyawanya di tengah-tengah melakukan sujud, agar tubuhnya tidak tersentuh bumi atau yang lainnya. Hingga, ia bangkit di Hari Kiamat nanti dalam keadaan bersujud kepada Allah. Maka, permohonannya dikabulkan. Karena itu, setiap kami lewat (naik-turun Langit) pasti dia tengah bersujud.”
Lanjut Jibril melanjutkan, ”Lalu kami temukan tulisnya (ceritanya) di Lauhil Mahfudz, bahwa ia akan dibangkitkan kelak di Hari Kiamat dalam keadaan masih tetap bersujud dan diajukan kepada Allah. Firman-Nya, ”Masukkanlah hamba-Ku ini ke surga karena rahmat-Ku.” Tetapi, hamba itu menyahut, ”Bukan, melainkan karena amal salehku semata.”
Lalu Allah menyuruh Malaikat untuk menghitung semua amalnya untuk dibandingkan dengan nikmat pemberian-Nya. Ternyata, setelah ditotal-jumlah amal ibadah secara keseluruhan selesai, baru dimulai dengan menghitung nikmat mata saja sudah melebihi pahala ibadahnya sepanjang 500 tahun. Padahal, nikmat-nikmat yang lain jauh lebih besar dan berharga.
Lalu Allah pun berfirman: ”Lemparkan ia ke dalam neraka.” Kemudian Malaikat membawanya dan akan dilemparkan ke dalam neraka. Tetapi, di tengah perjalanan menuju neraka, ia menyadari kekeliruannya dan menyesal seraya berkata, ”Ya ALLAH, masukkanlah aku ke dalam surga-Mu karena rahmat-Mu.” Akhirnya, ia dikembalikan.
Lalu ia ditanya, ”Siapakah yang menciptakan kamu dari asalnya (tiada)?”
Si alim itu menjawab, ”Engkau ya Allah.”
“Dikarenakan amalmu ataukah rahmat-Ku?”, Allah melanjutkan bertanya.
”Karena rahmat-Mu, ya Allah.” Si alim menjawab.
Saat ditanya, “Siapakah yang menguatkanmu beribadah selama lima ratus tahun?”
Ia menjawab lagi, ”Engkau ya Allah.”
Kemudian Jibril berkata, ”Segala sesuatu di alam ini bisa ada dan terjadi, semua hanya karena rahmat Allah semata.”
Maka, patutlah malu kita kepada diri kita dan kepada Allah atas apa yang telah kita lakukan di dunia ini, karena jauh jauh dan jauh dari cukup untuk menutupi, apalagi membayar, nikmat-nikmat-Nya kepada kita. Apakah dengan demikian manusia tidak perlu beribadah dan beramal saleh? Jika itu yang kemudian dilakukan, maka justru itulah yang akan menjauhkan dari rahmat dan ridha Allah. Apa yang kita lakukan dengan segala kesalehan adalah cara manusia untuk meraih ridha dan rahmat-Nya. Allah Yang Maha Membalas Kebaikan akan memberikan rahmat dan ridha-Nya atas kesalehan yang dilakukan karena rahman Rahim-Nya. Sekali lagi, bukan karena amal saleh kita. Wallahu a’lamu bi al-shawab.