Disia-siakan Suami

Disia-siakan Suami

Assalamu’alaikum wr wb.

Bu Emmy yth., saya S (27 tahun) anak kedua dari 4 bersaudara. Orang tua bercerai sejak masih kecil. Kami tinggal bersama ibu yang membiayai hidup kami. Saya sudah bekerja, sebagian penghasilan saya sisihkan untuk membantu ibu dan adik-adik.

Saya baru menikah selama belum 1 tahun, setelah berpacaran 2 tahun. Walau keluarga saya tidak setuju, kami tetap menikah. Belum sebulan menikah, ada wanita lain datang marah-marah karena dikecewakan oleh suami. Kami bertengkar hebat. Tapi cepat selesai. Masalah timbul lagi ketika mertua memberitahu ibu kalau suami punya WIL yang sering datang bila saya sedang tidak di rumah.

Selama menikah kami tinggal tidak sekota. Seminggu sekali saya datang ke rumahnya. Bukan suami, katanya istrilah yang harus mengabdi pada suami. Pernah saya minta pendapat saya keluar kerja, biar bisa fokus ke rumah tangga. Jawabannya menggantung status saya. Suatu ketika saya pulang ke rumah suami, dia malah pergi dengan WILnya. Saya mengadu ke orang tua. Eh, malah saya dipulangkan ke orang tua. Setelah itu dia tidak menghubungi, kecuali bila butuh untuk berhubungan intim. Seminggu setelah dipulangkan ia transfer sejumlah uang dan minta saya datang ke rumahnya. Demi keutuhan rumah tangga saya mau, waktu itu saya berpikir positif, mungkin ada itikad baik untuk mempertahankan keluarga.

Ternyata saya salah. Saya dilecehkan. Saya dipulangkan bila tidak dibutuhkan dan diminta datang bila dibutuhkan. Saya tidak tahan dan minta cerai pada suami. Dia tidak setuju dan mengata-ngatai saya, bahkan menghina ibu. Saya mantap untuk bercearai dan berusaha kuat untuk ridha dengan ketetapan Allah. Tapi, masih sulit memaafkan dan melupakan dia. Berharap dia “ditampar” Allah, dan mau minta maaf pada saya dan keluarga. Tolong bantu saya ya, Bu. Jazakumullah atas bantuannya.

Wassalamu’alaikum wr wb.

S, somewhere

Wa’alaikumsalam wr wb.

S yang baik, bila diri masih dikuasai emosi, akan sulit mengambil langkah, maka lebih baik Anda “cool down” dulu. Bukan untuk kembali, tapi biarkan waktu berlalu dulu dan emosi Anda dan keluarga mereda dulu. Sibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat.

Saya mempercayai, perkawinan adalah sebuah ikatan emosional yang legal dan sah di mata Allah, yang terbukti juga merupakan wadah paling “sehat” bagi orang-orang yang terikat di dalamnya. Sehat dalam arti mampu memberi peluang bagi suami dan istri untuk mengembangkan diri secara independen, sekali gus memberi peluang kebersamaan yang kokoh yang selalu memberi kekuatan untuk mengatasi masalah secara berdua. Maka, sebisa mungkin mereka yang menikah itu tidak bercerai. Tapi di sisi lain, ada kasus yang di telaah dari sisi manapun, harapan untuk mempertahankan kelangsungan perkawinan sudah sangat tipis, bahkan tidak ada. Seperti yang Anda alami.

Bila dilihat perkawinan Anda, sejak awal tidak ada kejujuran dan keterbukaan dari suami. Pertanyaannya kok Anda tetaap saja mau berhubungan dengan suami? Ini masalahnya, orang yang berniat positif, mempunyai penghayatan peran sebagai istri sesuai nilai-nilai agama. Sayang tidak diimbangi oleh suami. Maka, diperlukan penalaran dan menekan emosi apalagi rasa cinta untuk melihat semua permasalahan perkawinan Anda. Bila mengedepankan emosi, suami akan mudah mempermainkan kehidupan dan ketenangan batin. Jelas, suami punya citra diri buruk. Orang ini secara tidak sadar akan melakukan hal-hal buruk agar lingkungan punya anggapan yang sama dengan dirinya. Perilaku yang tampak, bertindak ngawur dan tidak berpikir panjang. Perlu kesabaran dan kesediaan untuk membimbing pasangan agar berubah. Nah, ini yang menurut saya tidak perlu Anda usahakan. Makin cepat Anda bisa memutuskan hubungan secara emosional makin baik. Bila hati sudah tertata rapi, Anda akan mampu untuk tidak memberi celah hadirnya suami di benak Anda. Maka akan lebih tenang dan dapat menyusun langkah yang lebih matang untuk lepas dari ikatan perkawinan. Semoga Allah memberi kekuatan pada Anda dan selalu dalam lindunganNya. Aamiin.

Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2018

Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya.

Exit mobile version