BANDUNG, Suara Muhammadiyah-Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah Roni Tabroni menerbitkan buku Haedar Nashir: Narasi Islam Berkemajuan (2021). Buku yang menarasikan pikiran-pikiran Ketua Umum PP Muhammadiyah di berbagai media ini dibedah dalam bincang buku MPI PWM Jawa Barat (24/02/2021). Haedar Nashir dikenal sebagai ideolog Muhammadiyah yang telah menyumbangkan banyak pokok pikiran yang berakar pada pandangan Islam Berkemajuan.
Roni Tabroni menyampaikan bahwa buku ini ditulis selama pandemi Covid-19. “Buku ini adalah berkah dari pandemi,” ujarnya. Buku ini melihat bagaimana media-media menampilkan pikiran Haedar Nashir. Menurut Roni, tulisan-tulisan Prof Haedar sudah sangat akrab bagi yang suka membaca, terutama SM, Republika, buku, dll, tetapi pikiran Prof Haedar yang berupa ceramah atau statemen belum banyak diketahui. Oleh karena itu, buku ini menghimpun pikiran Haedar Nashir sejak muktamar 2015 sampai 2020 dari berbagai media.
Haedar Nashir mengapresiasi hadirnya buku ini serta acara bedah buku. “Mengkaji buku merupakan bagian dari tradisi Islam berkemajuan. Ini merupakan tradisi dan ajaran Islam, yang ayat dan wahyu pertamanya merupakan iqra,” tuturnya. Kegiatan bincang buku dianggap penting di tengah dominasi media sosial yang membuat kita tidak cerdas dan memunculkan sentimentalitas. “Buku mengajarkan kita untuk berpikir secara keilmuan dan mendalam.”
Tradisi keilmuan, kata Haedar, merupakan bagian dari perjalanan panjang Muhammadiyah yang landasannya telah diletakkan oleh KH Ahmad Dahlan. Haedar mengajak generasi muda Muhammadiyah untuk menggalakkan kembali literasi, terutama menulis. “Menulis harus menjadi tradisi kita,” katanya. Menulis memerlukan ketekunan, kesungguhan, dan kegigihan.
“Menulis buku dan menulis di media cetak harus terus dilakukan, termasuk oleh kader IPM, karena harus melalui penilaian dewan redaksi dari segi bahasa, substansi, dan konteks,” katanya. Hal ini berbeda dengan menulis di media sosial atau di media online yang tanpa proses verifikasi yang ketat. “Sampai sekarang saya tetap menulis,” kata Guru Besar UMY ini.
Terkait buku ini, Haedar menyebut bahwa belum banyak buku yang secara khusus menarasikan biografinya. “Ada beberapa wartawan ingin menulis biografi saya, belum saya izinkan,” ujarnya. Namun Haedar tidak dapat menolak jika ada yang tetap menulis tentang kisah hidupnya tanpa sepengetahuannya.
Haedar Nashir lantas menceritakan sekilas tentang dirinya yang lahir dan mengalami masa tumbuh di Bandung. Haedar menamatkan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan pesantren di Jawa Barat. “Saya belajar kitab kuning dari ayah dan kakak.” Pendidikan di Jawa Barat ini memberi warna tersendiri dalam membentuk cara berpikirnya.
Setelah berpindah ke Yogyakarta, Haedar mengalami lompatan pemikiran. Terlebih setelah menjalani S2 dan S3 bidang Sosiologi di Universitas Gajah Mada, Haedar Nashir dikenal publik sebagai intelektual sosial yang melahirkan pemikiran jernih dan berorientasi pembaruan. Di Jogja, Haedar juga belajar nilai-nilai hidup.
Haedar merasa bersyukur bahwa dirinya mampu keluar dari benturan ideologis yang keras sebagai residu pertarungan politik era 1950-an dan 1960-an. Alih-alih mengkampanyekan politik partisan dan puritan, Haedar Nashir justru mengedepankan prinsip-prinsip substantif dari ajaran Islam berkemajuan. Menurutnya, Islam harus dibuktikan dalam misi nyata membangun peradaban, tidak berhenti dalam retorika.
Di Jogja, Haedar mengkaji Muhammadiyah secara mendalam. “Ketika awal masuk di PP, saya sering masuk ke perpustakaan PP dan membaca berbagai naskah lama.” Di situlah Haedar menemukan keganjilan dalam narasi saat itu. “Setiap membaca buku-buku Muhammadiyah, saya selalu menemukan tentang purifikasi.” Padahal, karakter Muhammadiyah sebagaimana yang ditemukan Haedar dalam banyak dokumen organisasi justru menekankan aspek pembaruan.
Sejak saat itu, Haedar tekun mengkaji Muhammadiyah dan kemudian melahirkan banyak pemikiran bagi perkembangan rumusan ideologi organisasi. “Saya termasuk penulis Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Dalam Khittah Muhammadiyah Denpasar tahun 2002, saya termasuk yang memperkenalkan kata pencerahan dan berkemajuan.”
Haedar juga mengusulkan dimasukkan kata tajdid dalam perubahan AD/ART Muhammadiyah. Haedar ikut merumuskan konsep Dakwah Kultural. Di tahun 2007, Haedar menjadi ketua tim yang merumuskan dokumen Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna. Tahun 2010, ikut merumuskan Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua. Tahun 2015, ikut merumuskan Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah.
“Saya mengajak warga Muhammadiyah paham akar Muhammadiyah, tidak hanya mengikuti kerumunan. Karakter itu perlu ada, meskipun kita harus tetap membangun ukhuwah dengan semua,” ungkapnya yang khawatir karena gejala menguatnya paham puritan. Haedar mengajak warga Muhammadiyah tidak ikut-ikutan arus yang menghilangkan jati dirinya.
Menghadapi situasi ini, perlu ada perubahan cakrawala berpikir soal keagamaan dan kebangsaan. Kejumudan seperti inilah yang dihadapi oleh KH Ahmad Dahlan di masa lalu. “Saya tidak mau orang Muhammadiyah mengalami mentalitas terkepung,” kata Haedar. Situasi deprivasi relatif yang melahirkan mentalitas negatif ini menjadi penyakit yang menghambat kemajuan. (ribas)