Ponselku bergetar jelang istirahat siang. Terlihat nama Jazuli dalam profil WA. Ketika kujawab, ia sedang mengumandangkan azan. Aku coba ajak bicara, tapi ia tetap meneruskan lantunan azannya, seolah aku tak berkata apa-apa padanya. Aku putuskan sambungan.
Aku teruskan pekerjaan: menulis liputan tentang pengadaan jaringan wifi pada 4.000 masjid di kota ini. Sebuah kebijakan yang menarik meskipun sejumlah orang menolak. Dengan sedikit kebosanan, aku menulis liputan itu sesuai rumusan umum: seimbang antara yang mendukung dan menolak dengan jumlah narasumber yang imbang juga.
Tanpa terasa, sedikit pendapatku malah masuk ke dalam liputan yang kubuat. Redaktur mengembalikan hasil kerjaku dan memintaku untuk menghilangkan bagian yang berisi pendapatku itu. Ia menunggu hasil revisiku setelah makan siang.
***
Ponselku bergetar satu jam sebelum pulang kantor. Jazuli lagi. Ia kembali mengumandangkan azan, dan sapaanku tak diabaikan. Aku putuskan sambungan. Sebab telah dua kali menelepon dengan kejadian serupa, aku menelepon Pakde Rakhmat, ayah Jazuli.
“Saya juga, Mas. Mungkin lagi iseng dia, Mas. Maaf ya, kalau mengganggu.”
Apakah Jazuli hanya iseng? Kalau telepon kepadaku iseng bisa dimaklumi, tapi kepada bapaknya sendiri? Dan masakah azan dibuat iseng? Sementara aku mengenalnya sebagai santri dari sebuah pesantren, dan kini tengah mengabdi sebagai takmir dan guru ngaji di masjid kelurahan.
***
Seperti biasa, aku sampai rumah waktu magrib. Namun, aku tak mendengar azan magrib dari speaker masjid sebelah rumahku, masjid tempat Jazuli mengajar ngaji. Ponselku malah bergetar dan kembali aku dengar Jazuli mengumandangkan azan.
Dengan agak jengkel aku pergi ke masjid masih dengan pakaian kerjaku. Dan kulihat Jazuli sedang azan di ponselnya, entah dia menelepon siapa. Tentu, aku tak bisa menegurnya langsung. Aku tunggu usai salat jamaah.
“Zaman berubah, Mas,” katanya, “speaker sudah ketinggalan zaman. Semua orang hampir sibuk dengan ponselnya. Maka cara yang paling tepat mengingatkan waktu salat ya lewat ponsel.”
Aku jelaskan tentang privasi kepadanya, tentang gangguan akibat telepon azannya.
“Kalau Mas nggak suka, atau nggak mau diingatkan ya tinggal blokir nomor saya, Mas. Biar saya mengingatkan mereka yang memang mau beribadah tepat waktu saja. Mohon maaf bila tadi mengganggu.”
Aku tanya berapa orang yang tadi diteleponnya, dan apakah ada yang juga protes sepertiku.
“Aku nggak hitung. Intinya setiap ada yang reject atau putus langsung telepon yang lainnya. Dan baru empat, eh sama Mas lima, yang protes.”
Aku lalu bertanya tentang Pakde Rakhmat.
“Setelah aku jelaskan beliau bisa memahami, Mas.”
Anak-anak yang tadi salat berjamaah, telah berkumpul di serambi masjid. Jazuli pamit hendak mengajar ngaji mereka.
Jika mau, mungkin aku tak perlu memikirkan hal lainnya sebab masalahku sudah selesai. Telah terang alasannya, dan aku tak akan terganggu lagi. Namun, aku justru memikirkan masalah lainnya: bagaimana bila nanti tidak ada lagi suara azan dari tiap speaker masjid? Apakah orang-orang justru akan merasa kehilangan lalu berbondong-bondong ke masjid untuk mendengarkan suara azan yang diam-diam mereka rindukan?
Tanpa sengaja mataku melihat perangkat internet yang ada di langit-langit. Ah rupanya masjid ini termasuk salah satu penerima kebijakan pengadaan wifi. Dan aku baru sadar bahwa aku sangat jarang berjamaah di masjid ini. Kalau tanpa telepon Jazuli, mungkin magrib ini aku tak berjamaah di sini.
***
Semenjak kejadian itu, kegiatan di masjid kelurahan berubah total dan serba digital. Masjid tidak hanya hidup saat waktu salat, tetapi semarak setiap saat sebab ada begitu banyak pengajian yang dihelat. Tak perlu mendatangkan ustaz atau kiai dengan beban biaya dan ongkos transportasi, cukup dengan membeli sebuah netbook dan LCD, masjid bisa mengadakan pengajian beberapa kali sehari. Dengan jaringan internet yang lancar—yang menurut Jazuli pasti banyak malaikat dalam sinyal internet itu—masjid bisa menayangkan ceramah live dai-dai kondang dari jarak jauh. Atau, kalaupun tidak bisa melihat tayangan langsung, bisa menyimak ceramah yang banyak terdapat di Youtube. Jazuli dengan cermat menjadwal kajian apa saja yang dibutuhkan masyarakat.
Anak-anak TPA juga dibuat giat mengaji dengan aneka tayangan tahfidz maupun lagu-lagu rohani yang rancak, tanpa mengganggu kegiatan pokok. Masjid yang semula hanya didatangi orang-orang tua yang sudah sakit-sakitan, kini semarak dengan anak muda yang sehat bugar. Mereka kini terbagi dalam jadwal muazin lewat telepon.
Warga kelurahan juga dimasukkan dalam grup WA khotmil qur’an. Aku dimasukkan dalam grup itu. Sepanjang aku masuk grup WA, ini adalah grup paling bersih. Tak ada tautan hoax yang dibagikan, tak ada sentimen politik, tak ada hal-hal di luar masalah khotmil qur’an. Hanya ada lima jenis informasi. Pertama, setiap jumat pagi akan dibagi jatah bacaan. Masing-masing orang akan mendapatkan angka sesuai juz yang harus dikhatamkannya dalam sepekan. Kedua, laporan dari anggota bila telah menyelesaikan kewajibannya. Ketiga, laporan bila ada yang berhalangan—bagi yang perempuan—dan langsung digantikan oleh yang bersedia. Keempat, malam Jumat akan ada acara khataman via WA dari Jazuli selaku ketua grup. Ia akan membagikan doa khotmil quran. Kelima, “amin” yang diketik oleh para anggota setelah unggahan doa khotmil quran itu. Begitu terus tiap pekan, dan tanpa terasa kini sudah dua bulan berjalan.
Masjid juga punya koperasi yang menjual perlengkapan ibadah yang dikelola secara digital pula. Termasuk keuangan. Masjid tak pernah lagi menerima infak melalui kotak amal, tetapi sudah ada nomor rekening bank agar pemasukan dan pengeluarannya terkontrol.
Namun, di antara kesemarakan kehidupan masjid itu, Pakde Rakhmat makin hari makin murung. Ini kudapati setiap kali selesai berjamaah dan menyalami dirinya. Akhirnya, bakda subuh ini kuberanikan bertanya.
“Kadang saya merasa salah mengizinkan Jazuli dengan segala idenya itu. Bahkan sesekali pasang badan bila ada yang menentang. Namun, sekarang saya kok merasa ada yang salah ya.”
“Ada yang salah bagaimana, Pakde?”
“Entahlah, saya merasa kurang gayeng saat menyimak pengajian digital atau apa namanya itu. Sangat terasa bedanya menonton pengajian langsung dan tidak langsung. Orang-orang tua lainnya juga merasa begitu. Juga ada beberapa hal yang mengganjal lainnya; nyumbang yang harus ke bank, lagu-lagu rohani yang diputar di masjid, dan telepon azan yang tak selalu sempat dijawab. Untungnya masjid di desa tetangga masih azan dengan speaker. ”
“Sudah disampaikan ke Jazuli?”
“Katanya, lama-kelamaan kami juga akan terbiasa. Semoga saja begitu. Barangkali ini memang bukan zaman kami, tapi zaman kalian. Saya percaya saja asal niatnya lillahi ta’ala.”
Pakde Rakhmat melangkah meninggalkan masjid dengan latar sinar matahari yang mulai memancar. Kemurungannya tertinggal di kepalaku hingga aku berangkat kerja dan mendapati telepon azan jelang istirahat siang.