YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Berdasarkan hasil survei nasional indeks literasi zakat warga Muhammadiyah menunjukkan bahwa literasi zakat, infaq, sedekah (ZIS), warga Muhammadiyah sangat tinggi. Namun demikian, hal tersebut justeru bertolak belakang dengan praktik pelaksanaannya. Ekosistem ZIS justru masih rendah.
Menaggapi hal tersebut, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam Public Expose Hasil Survei Indeks Literasi Zakat Warga Muhammadiyah dan Strategi Edukasi Zakat di Persyarikatan mengatakan, bisa jadi ketimpangan serupa juga terjadi pada umat Islam secara keseluruhan. Yaitu antara ekspose dan rilis tidak sesuai dengan realita. “Potensi ZIS umat Islam luar biasa, tapi riil yang bisa dihimpun tidak sebagaimana mestinya,” ucapnya.
Dalam sosiologi, Haedar menjelaskan, hal ini disebut sebagai kesenjangan potensi laten dan potensi manifes. Potensi yang tersimpan tidak berbanding lurus dengan apa yang terwujud.
Bahkan kesenjangan seperti ini, lanjutnya, sering terjadi pada umat Islam dalam berbagai aspek. Termasuk dalam perilaku keagamaan sehari-hari. Apa yang diucapkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan. “Kabura maktan ‘inda Allah antaqulu ma laa taf’alun,” kuti Haedar.
“Terkadang, kita sebagai pelakunya merasa baik, tapi ternyata ada orang lain yang dengan kacamata subjektifnya melihat kita tidak baik. Di sinilah pentinganya intropeksi diri. Bagaimana kita sesungguhnya? Apakah kita sering berkata baik dan menjalankan kebaikan itu? Atau sekedar berkata baik tanpa perbuatan? Atau justru berkata tidak baik sehingga otomatis melakukan yang tidak baik pula?,” pesannya.
‘Nah di era digital seperti sekarang ini, perkataan haruslah dijaga. Sebab jejak digital tidak pernah hilang. Apa yang dilakukan atau diucapkan kita puluhan tahun yang lalu masih terekam. Maka berhati-hatilah,” imbuhnya
Haedar melanjutkan, ajaran Islam sebenarnya adalah keselarasan kata dan perbuatan. Hati dan perbuatan harus berbanding lurus. Itu sebabnya ada kata bijak, perbuatan baik lebih sahih/nyata daripada perkataan yang baik.
Lebih luas, menurutnya, kesenjangan sangat terlihat jelas manakala umat Islam di Indonesia adalah mayoritas penduduk, akan tetapi belum menunjukkan kesejalanan antara kuantitas dan kualitasnya. “Ketika menyangkut ibadah dan akidah umat Islam sangat baik dan rajin, tapi menyangkut persoalan muammalah belumlah terjadi. Terlebih di bidang ekonomi dan ZIS,” tutur Haedar.
“Pola ekonomi umat Islam masih berbentuk piramida terbalik, itu menunjukkan kebanyakan umat Islam masih berada pada level menengah kebawah,” tambahnya. Jika demikian, apa yang sering disampaikan oleh Jusuf Kalla (JK), jika ada seratus orang kaya maka kurang dari sepuluhnya adalah orang Islam. Sebaliknya, jika ada seratus orang miskin, maka sudah pasti sembilan puluh lebihnya adalah orang Islam. “Jangan marah itu kata Pak JK,” canda Haedar.
Termasuk, ketika pemerintah meluncurkan program wakaf uang, yang dilihat adalah potensi dari zakat umat Islam. Begitu juga dengan hasil survei Baznas, yang menguatkan bahwa potensi zakat di Indonesia menyentuh angka triliunan rupiah. Tapi riilnya, yang bisa dihimpun masih sangat sedikit. Ini menunjukkan masih lemahnya ekosistem.
Ketika sektor ekonomi masih sangat lemah, Haedar menegaskan, maka hal ini akan berdampak pada melemahnya juga aspek-aspek kehidupan yang lain. Politik, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya juga ikut lemah. “Kita boleh menyanggah teori Marxis, ekonomi merupakan infrastruktur yang mempengaruhi suprastruktur, politik, budaya, bahkan agama, tapi kenyataanya negara dengan pendapatan tinggilah yang kakan menjadi negara maju,” tegasnya.
Walau demikian, kualitas tak sepadan dengan kuantitas, rasa optimisme harus tetap ada. Boleh jadi tetap ada ruang dimana kalau mau berhimpun, yang kecil-kecil akan menjadi besar. Tapi dengan catatan, peluang ini benar-benar dimanfaatkan untuk mendorong orang mau berzakat.
Dari pembacaanya akan hasil survei Lazismu tersebut, Haedar juga menanyakan, apakah literasi ZIS mereka yang kaya juga tinggi sebagaimana orang pada umumnya? Jika ternyata yang kaya belum memiliki literasi ZIS yang baik, maka di sinilah dibutuhkan pendekatan dakwah posistif. Dakwah yang menyentuh hati. “Apalagi terhadap orang yang memiliki kekayaan sekaligus memiliki kekuasaan? Tentu dibutuhkan dakwah yang lebih bijak lagi. Sebab dakwah itu adalah persoalan cara,” terang Haedar. (gsh).