Cadar Dalam 3 Fatwa Tarjih Muhammadiyah
Pada tulisan saya yang terdahulu http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/11/20/cerita-cadar-dalam-3-meme/ saya menyatakan niat untuk mencoba untuk menjutkan pembahasan tentang tiga fatwa majelis tarjih tentang cadar. Namun, agar tidak ada kesalahpahaman dan pemahaman yang salah, tampaknya perlu kesamaan dulu tentang pengertian tentang “fatwa majelis tarjih” ini. Pengertian Fatwa majelis tarjih adalah jawaban majelis tarjih atas suatu pertanyaan tertentu. Penanya di sini bisa perseorangan bisa pula lembaga.
Pertanyaan ini ada yang lewat majalah suara Muhammadiyah ada pula yang langsung ke Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Jawaban atas pertanyaan tersebut kemudian dimuat di Suara Muhammadiyah. Tradisi ini dimulai dalam Suara Muhammadiyah nomor 10 tahun 1986. Salah satu pembahasan di edisi pertama itu tentang Shalat Juma’t bagi wanita. Pertanyaan itu diajukan oleh PMC (Pimpinan Muhammadiyah Cabang IV Kota Madya Bengkulu.
Seiring berjalannya waktu, atas pemintaan pembaca Suara Muhamadiyah, Penerbit Suara Muhammadiyah kemudian membukukan fatwa-fatwa tersebut dalam satu buku, yang kemudian kita kenal sebagai buku “tanya jawab agama Islam”. Sekarang sudah sampai jilid 8. Jadi, Fatwa majelis Tarjih itu cukup banyak, lebih kurang ada empat fatwa baru dalam satu bulan. Oleh karena itu kalau ada yang mengatakan majelis tarjih tidak produktif, saya kira itu kliru.
Meski produktif kualitas fatwa tarjih cukup terjaga, berdasarkan pengakuan nara sumber yang mengetahui proses pembahasan fatwa, nyaris tidak ada fatwa yang bisa diselesaikan dalam 3 kali sidang. Belum lagi editing bahasanya yang kadang juga berulang kali direvisi.
Kembali ke masalah fatwa tentang cadar, dari beberapa meme yang beredar semua mengaku merujuk ada fatwa tarjih. Fatwa tahun 1993, fatwa tahun 2003, dan fatwa tahun 2009. Sebagai orang yang pernah ditugaskan menjadi juru kunci Pusat Data di Majalah Suara Muhammadiyah, saya tergelitik untuk mencari fatwa rujukan asal semua meme itu. Semua fatwa itu ada di Suara Muhammadiyah.
Dua Jawaban Untuk Tiga Penanya
Fatwa pertama dimuat di majalah Suara Muhammadiyah nomor 24 (16-31 Desember 1993). Fatwa itu menjawab pertanyaan seorang mahasiswi di Yogyakarta. Pertanyaanya: bagaimanakah hukumnya wanita memakai cadar. Apakah ada tuntunannya menurut A-Qur’an dan hadits?
Seperti umumnya fatwa pada tahun-tahun tersebut, fatwa kali ini cukup juga dijawab secara singkat. Dengan menyebut dua ayat dan satu hadits langsung pada kesimpulan: “dengan demikian masalah yang saudara tanyakan tidak ada perintah, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits, bahkan kalau memperhatikan ayat-ayat dan hadits di atas, memakai cadar bagi wanita itu berlawanan dengan isi ayat-ayat dan hadits tsb.”
Lebih jelasnya silakan diperiksa di majalah Suara Muhammadiyah nomor 24 (16-31 Desember 1993). Kalau sulit mencar majalahnya bisa juga di baca di buku Tanya Jawab Agama Islam jilid 4 halaman 238-239). Isi keduanya sama.
Fatwa kedua, dimuat di majalah Suara Muhammadiyah nomor 18 (16-30 September) dan 19 (1-15 Oktober 2003). Fatwa yang menjawab pertanyaan seorang yang bernama Ahmad Yani, bermukim di Makkah Al Mukarramah. Dia bertanya tentang kwajiban menutup aurat bagi wanita muslimah di Indonesia serta batas-batas aurat yang harus ditutupi, dan apakah derajat wajibnya itu seperti wajibnya shalat lima waktu?
Kali ini majelis tarjih menjawab pertanyaan itu cukup panjang, sampai dimuat di dua nomor penerbitan. Ada ayat, hadits, dan juga syair yang dijadikan rujukan dan penjelasannya. Kesimpulanya adalah bahwa pendapat aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah lebih kuat, dan pendapat tersebut lebih pas bagi muslimah di Indonesia. Sekalipun demikian, menutup wajah dan telapak tangan tidaklah terlarang, bahkan merupakan perbuatan kehati-hatian yang terpuji, dan menutup aurat dengan libasuttaqwa (pakaian taqwa) adalah paling baik.
Sekilas, kedua fatwa ini tampaknya saja yang ngalor-ngidul (tidak sinkron). Yang pertama menyatakan memakai cadar bagi wanita berlawanan dengan isi ayat-ayat dan hadits, yang kedua merupakan perbuatan kehati-hatian yang terpuji. Jangan bingung dulu, karena di situ juga ada keterangan, …. dan menutup aurat dengan libasuttaqwa (pakaian taqwa) adalah paling baik.
Lebih jelasnya silakan diperiksa di majalah Suara Muhammadiyah nomor nomor 18 (16-30 September) dan 19 (1-15 Oktober 2003), Atau di buku Tanya Jawab Agama Islam jilid 7 halaman 58-72.
Bagaimana dengan fatwa ketiga? Fatwa yang dimuat di majalah Suara Muhammadiyah nomor 18 (16-30 September) 2009 menjawab tiga pertanyaan dari: H Syamsul Bahri, Padangsidempuan. 1. Mohon dijelaskan hukumnya cadar dan jenggot menurut Al-Qur’an dan Hadits, 2. Apakah Semua istri Nabi Muhammad pakai cadar, 3 Apakah orang yang tidak pakai cadar dan jenggot = ingkar sunnah?
Pertanyaan pertama tentang cadar dijawab dengan merujuk pada fatwa pertama. Dengan redaksi: “Tentang masalah cadar, telah dicantumkan pembahasannya dalam Buku Tanya Jawab Agama Islam yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, jilid 4 halaman 238, Bab Sekitar Masalah Wanita. (Materi asal buku ini adalah majalah Suara Muhammadiyah nomor 24/ 16-31 Desember 1993, sebagaimana penjelasan di pararaf-pragaraf di atas). Ringkasnya, cadar tidak ada dasar hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Yang diperintahkan oleh syariat Islam bagi wanita adalah memakai jilbab.
Pertanyan kedua tidak dijawab secara spesifik. Tetapi dengan keterangan bahwa ada riwayat (hadits) yang memperlihatkan bahwa banyak dari para shahabiyat (sahabat perempuan) yang tidak memakai cadar atau menutupi wajah dan tangan mereka. Salah satunya adalah kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi saw di mana diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman.
Pertanyaan ketiga dijawab, ….”hemat kami tidak. Karena yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah mereka orang-orang yang tidak mempercayai sunnah Nabi dan hanya mengamalkan apa yang termaktub dalam Al-Qur’an saja”. Lebih jelasnya silakan dibaca di http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/03/19/hukum-tentang-jenggot-dan-cadar/.
Ketiga fatwa ini akhirmya menimbulkan tiga (sekarang banyak) varian meme. Fatwa pertama (1993) nampak sebangun dengan fatwa ketiga (2009) berbeda dengan fatwa kedua (2003) yang terlihat di belahan yang lain. Mengapa demikian? Jawabannya adalah soal siapa yang bertanya dan waktu permasalahan itu dibahas.
Mahasiswi Tahun 1993 dan Laki-laki di Saudi
Pertanyaan pertama diajukan oleh seorang mahasiswi di Yogyakarta tahun 1993. Kata kunci untuk memahami fatwa ini adalah suasana pergerakan dunia kemahasiswaan Islam pada tahu 1993. Kita akan maklum mengapa Majelis Tarjih menjawab pertanyaan dengan sangat lugas. ….. Bahkan kalau memperhatikan ayat-ayat dan hadits di atas, memakai cadar bagi wanita itu berlawanan dengan isi ayat-ayat dan hadits tsb. Ketika saya membaca kalimat ini dengan mengkaitkannya pada suasana Yogyarat tahun 1992-1993-an, saya seakan-akan melihat kesan ada pesan kalau majelis tarjih tidak ingin mahasiswi itu terseret arus gerakan keislaman yang sempat menguat di kalangan mahasiswa waktu itu.
Mangga yang ahli sejarah dapat memberi perspektif yang lebih lengkap untuk menguji ruang dan waktu adanya fatwa yang sedemikian lugas ini.
Konteks ruang dan waktu saat keluarnya fatwa ini nyaris senada dengan keluarnya meme cadar yang pertama (Produksi Banjarmasin). Sekitar tahun 2016-2017, Muhammadiyah Banjarmasin sedang “berbenturan” dengan kelompok Islam tertentu yang sebagian ajarannya adalah mengkampanyekan cadar, mengharamkan segala macam bentuk musik, juga membid’ahkan hisab.
Oleh karena itu, selain ada meme cadar (pertama) ada juga surat resmi dari PDM Banjarmasin yang melarang masjid-masjid Muhammadiyah memberikan kesempatan ceramah atau khutbah kepada seluruh anggota kelompok Islam tertentu itu.
Fatwa kedua disusun untuk menjawab pertanyaan warga negara Indonesia yang bermukim di Saudi. Pendapat Majelis Tarjih pada dasarnya masih sama dengan fatwa terdahulu, yakni aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, pendapat tersebut juga disebut sebagai pendapat yang paling pas bagi muslimah di Indonesia.
Namun, karena yang bertanya ini seorang laki-laki dan bermukim di Makkah, maka majelis tarjih memberi tambahan keterangan,…. Sekalipun demikian, menutup wajah dan telapak tangan tidaklah terlarang, bahkan merupakan perbuatan kehati-hatian yang terpuji.
Tafsir saya: Dengan adanya keterangan tambahan ini, laki-laki yang bertanya itu diharapkan tidak melarang anggota keluarga perempuannya yang bermukim di Saudi untuk memakai cadar. Sebagaimana kita tahu konteks sosial, tatanan, tatakrama, serta ada kebudayaan di Saudi sangat berbeda dengan situasi di Indonesia. Maka, kalimat tambahan itu masih ditambah lagi dengan, ….dan menutup aurat dengan libasuttaqwa (pakaian taqwa) adalah paling baik.
Menurut informasi terpercaya dari informan yang ikut menyaksikan sidang-sidang yang membahas fatwa kedua ini, faktor penanya yang bermukim di Saudi turut menjadi pertimbangan keluarnya fatwa kedua ini dengan redaksi seperti di atas.
Fatwa ketiga, ditanyakan oleh laki-laki di Padangsidempuan, Anggota Muhammadiyah. Karena ditanyakan oleh orang di Indonesia, maka jawaban fatwa ini secara tegas merujuk pada fatwa pertama bukan pada fatwa kedua (walau secara konteks waktu, lebih dekat dengan fatwa kedua).
Rumusan jawabannya juga relatif sama dengan fatwa pertama. Hanya saja fatwa ketiga ini relatif lebih datar, tidak menukik seperti fatwa pertama yang menyatakan pemakaian cadar bagi wanita sebagai tindakan yang berlawanan dengan isi ayat-ayat dan hadits.
Mengapa begitu? Karena yang bertanya itu seorang laki-laki, maka pada jawaban pertanyaan kedua juga dibuat tidak tegas, para sahabiah banyak yang tidak bercadar. Bilal bahkan bisa melihat wajah mereka. Dari rumusan jawaban ini, penanya disuruh mengambil kesimpulannya sendiri.
Setelah berulang kali membaca ketiga fatwa ini, saya semakin kagum dengan cara berpikir Majelis Tarjih dan tajdid PP Muhammadiyah. Setiap rumusan redaksinya selalu menyimpan makna yang merekam semua peristiwa yang ada di balik fatwa itu sendiri.
Jawaban untuk umum
Bagaimana kalau jawaban tarjih ini dilepaskan dari penanya? Jawaban itu mungkin hampir sama dengan jawaban Prof Syamsul Anwar, ketua Majeles Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ketika ditanya wartawan tentang secara mendadak tentang pemakaian cadar.
“Dalam surat Al-hujurat , kita disebut dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, untuk saling mengenali. Salah satu cara mengenali itu melalui wajah. Oleh karena itu, sebaiknya wajah itu harus nampak……. Supaya kita lebih bisa kenal, dan cepat tahu, jadi sebaiknya dibuka, dan tidak ada perintah untuk menutup wajah. Itu mungkin tradisi berpakaian dari suatu tempat tertentu lalu dikaitkan dengan pemahaman agama. Tetapi sesungguhnya ruh daripada agama itu wajah sangat penting. Di situlah kita mengenal seseorang”. https://akurat.co/news/id-875125-read-debat-soal-cadar-kembali-muncul-begini-pendapat-ketua-majelis-tarjih-muhammadiyah.
Hal yang sena juga disampaikan oleh anggota majelis tarjih PP Muhammadiyah, Wawan Gunawan. https://www.suaramuhammadiyah.id/2019/12/13/pengajian-tarjih-70-cadar-dalam-perspektif-manhaj-tarjih/
Oleh karena itu, dari membaca seluruh fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tersebut, kesimpulan saya adalah muka dan telapak tangan bukanlah aurat perempuan yang harus ditutupi oleh pakaian.
Wallahua’lam bi shawab
Oleh Isngadi Marwah Atmadja