MAKASSAR, Suara Muhammadiyah – Pergantian kepemimpinan di Muhammadiyah merupakan suatu fase untuk menegakkan visi persyarikatan. Momentum pergantian juga menjadi hal penting dari regulasi organisasi dalam menyongsong kehidupan yang lebih baik. Maka pada Kamis (4/3) Universitas Muhammadiyah Makassar menyelenggarakan pelantikan Badan Pembina Harian (BPH), Wakil Rektor, dan Dewan Pengawas Rumah Sakit Muhammadiyah Unismuh Makassar yang baru.
Dalam sambutannya, Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan bahwa Muhammadiyah terus berikhtiar dengan cara melakukan adaptasi dalam penguasaan teknologi informasi dan hal-hal yang menyangkut teknologi digital. Pergerakan di ruang virtual telah menjadi jalan alternatif baru untuk membatasi pertemuan secara langsung di tengah situasi pandemi. Seiring dengan tantangan tersebut, Majelis Dikti PP Muhammadiyah juga terus memproses usaha dalam melahirkan sistem online di seluruh Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM).
Walaupun seluruh sistem menjadi online, Haedar menegaskan bahwa pergerakan persyarikatan harus terus dilakukan dengan penuh kebersamaan. Karenanya Muhammadiyah harus berada di garda terdepan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Setidaknya ada empat hal yang mendorong keberhasilan Muhammadiyah dalam membangun kemajuan di dunia persyarikatan. Pertama, komitmen pada nilai-nilai kemuliaan (ikhlas, amanah, adil, dan ihsan), yaitu kesetian seluruh warga persyarikatan kepada nilai-nilai yang menjadi pondasi dasar di pergerakan Muhammadiyah, yang kemudian berpengaruh kepada orientasi nilai di dalam peran keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta.
Dinamika membangun peradaban yang maju membutuhkan proses yang panjang dan dinamis. Sejarah telah menunjukkan adanya gejala naik dan turun, pasang dan surut. Ada masalah, tantangan, rintangan, tapi ada juga peluang dan ada capaian kemajuan.
“Kita tidak hidup untuk mengeluh dan menyesali apa yang sudah terjadi, karena wajah dunia memang sudah seperti itu. Sejarah tidak pernah linier dan hitam putih. Itulah dinamika kehidupan yang akan terus terulang,” ujarnya.
Maka di sinilah letak pentingnya seorang pemimpin yang memiliki komitmen kepada nilai-nilai keunggulan. Ia harus menjadi obor, menjadi pembingkai, bahkan menjadi kekuatan utama yang memberi arah (show the way).
Kedua, meningkatkan kualitas dan keunggulan di lingkup persyarikatan. Seluruh warga persyarikatan dari tingkat pimpinan sampai anggota dituntut untuk terus berupaya mengupgrade kualitas diri masing-masing. Jika hal ini tidak dilakukan, maka di kemudian hari Muhammadiyah akan menjadi organisasi yang tertinggal dari yang lain. “Di era media sosial seperti saat ini banyak orang merasa sudah berbuat sesuatu walaupun setiap waktu hanya ber-WhatsApp, sejak dari bangun tidur hingga tidur kembali,” terangnya sambil tersenyum.
Kebiasaan seperti ini sangat jauh dari watak umat terbaik dan menunjukkan perilaku yang sia-sia. Sejatinya tidak ada yang salah dengan kita bermedia sosial, sebagai sarana dakwah, silaturahmi, atau bahkan mengembangkan dan mendialogkan pemikiran. Tapi menjadi tidak benar jika kita terlibat dengan isu-isu yang tidak akan pernah ada habisnya. Hal inilah yang mengakibatkan hati, rasa, dan pemikiran orang Muhammadiyah menjadi tumpul.
“Saya adalah orang yang tidak ingin larut pada hal-hal yang seperti itu. Maka kebiasaan pribadi saya, jam 10.00 malam saya sudah off, kecuali jika sangat darurat. Jam 07.00 pagi baru saya buka, dan itu seperlunya saja,” ungkapnya dalam agenda pelantikan BPH, Wakil Rektor, dan Dewan Pengawas Rumah Sakit Unismuh Makassar.
Dunia media sosial dapat menjadi realitas baru yang positif, tapi juga dapat berdampak pada kontra produktif. Masyarakat kita kehilangan ruang untuk meningkatkan kualitas dan keunggulan karena larut di dalam dunia media sosial.
Ketiga, meningkatkan solidaritas. Adanya ikatan batin di saat suka maupun duka. Dan yang terakhir, terus melakukan usaha-usaha pembaruan, baik di dalam lingkup amal usaha, persyarikatan, bahkan di dalam kehidupan dan keumatan. Hanya dengan pembaruan kita bisa memperbaiki kekurangan, kelemahan, dan sekaligus mengantisipasi hal-hal baru yang terjadi. Maka kita harus selalu terbuka dan tidak anti terhadap sistem. “Jika kita ingin melakukan perubahan maka kita harus masuk ke dalam sistem, tidak malah menggantinya dengan sistem yang lain,” jelasnya. (diko)