BEIRUT, Suara Muhammadiyah-Merekat kohesi umat Islam menjadi pekerjaan rumah yang tidak ringan. Rekatnya kohesi sosial di dalam suatu kelompok merupakan kunci utama untuk meraih kemajuan bersama. Hal itu dikatakan duta besar Indonesia untuk Lebanon, Hajriyanto Y Thohari, dalam Kajian Ahad Pagi Majelis Tabligh di Masjid At Tanwir PP Muhammadiyah Jakarta, (2/3/2021). Menurutnya, pengajian dapat menjadi salah satu instrumen untuk membangun kohesi sosial.
Ada sesuatu yang paradoks di tubuh umat Islam. Di banyak waktu, kita mendoakan kaum muslimin secara umum agar diberi ampunan, dicurahkan rahmat, diberi kesejahteraan. “Itu menunjukkan bahwa dalam berdoa pun dimulai dengan mendoakan sesama muslim,” kata Hajriyanto. Dalam khutbah-khutbah, mendoakan sesama muslim juga menjadi syarat.
Kohesivitas dibangun sejak dalam doa, yang dipanjatnya dengan penuh keyakinan. “Allah berjanji akan mengabulkan doa, tapi kapan, hanya Allah yang tahu,” tutur Hajriyanto. Perilaku berukhuwah islamiyah kita harus sejalan dengan doa-doa yang dipanjatkan. Doa itu harus diwujudkan dalam amalan keseharian. “Kita dikecam oleh Allah jika mengucapkan sesuatu yang tidak sejalan, tidak kita kerjakan.”
Kohesivitas didasari oleh keterikatan masyarakat yang dapat didasari oleh persamaan nilai dan rasa memiliki atau didasari oleh kemampuan untuk bekerja bersama dalam suatu entitas. “Kohesi merupakan kemampuan suatu kelompok untuk menyatu,” ujarnya. Konsep kohesi sosial berasal dari tesis Emile Durkheim, terdiri dari: (1) solidaritas mekanik yang diindikasikan dengan adanya aktor dalam masyarakat, (2) solidaritas organik yang diindikasikan dengan saling bergantungnya individu maka akan terbentuk suatu kohesi sosial dengan sendirinya.
Dengan adanya ukhuwah yang terbangun di antara umat Islam, ada banyak kesempatan dan peluang yang dapat diwujudkan. Tanpa adanya kohesivitas, ungkap Hajriyanto, maka berbagai program besar umat Islam tidak berhasil diwujudkan, baik di bidang ekonomi, sosial, politik.
Hajriyanto mengajak umat Islam untuk merefleksikan diri. Di lingkungan yang lebih sempit seperti Muhammadiyah, juga perlu diajukan pertanyaan semisal, apakah sudah tumbuh kohesivitas? Apakah semangat saling menolong dan saling mendukung sudah cukup baik? Apakah cara menyikapi perbedaam pandangan sudah dijalankan dengan baik, dengan penuh rahmat?
Menurutnya, umat Islam perlu melakukan instrospeksi diri dalam hal terlalu sering menyalahkan pihak lain yang telah membuat umat Islam menjadi terpecah belah. Sikap menyalahkan orang lain justru menunjukkan kelemahan umat Islam. “Betapa rapuhnya kohesi kita kalau orang lain dengan gampang mengadu domba kita,” kata Hajriyanto.
Ketua PP Muhammadiyah ini menyatakan bahwa situasi umat Islam hari ini gampang membuat organisasi baru, partai baru. Sudah ada lembaga Islam, ada yang ingin membuat lembaga yang lebih Islam lagi karena memandang yang sudah ada masih kurang atau belum Islam. “Sering terjadi fragmentarisme dalam tubuh umat Islam, mudah terbelah,” ulasnya.
“Persoalan khilafiyah menguat dan menggejala lagi. Juga fenomena sektarianisme.” Ada isu-isu yang sudah lama dan mulai dilupakan, justru diangkat lagi untuk memecah belah. Jika diperdebatkan di kalangan akademis, kata Hajriyanto, mungkin malah bagus, tetapi tidak di kalangan awam untuk memecah belah. (ribas)