Pelangi di Mata Indri, Cerpen Askar Sanjaya

Cerpen Askar Sanjaya

bulu alis

Foto Dok Ilustrasi KepoGaul

“Harus saya akui kalau dirimu lebih mulia dibanding diriku. Aku lebih mementingkan diriku, sedang engkau lebih mementingkan orang lain. Aku membentuk gagasan cinta berdasar rasa ingin memiliki dirmu sepenuhnya, tetapi engkau justru sebaliknya, engkau membayangkan cinta sebagai bentuk penyerahan yang total kepada yang engkau cintai. Aku lebih meminta, sedang engkau lebih memberi. Dalam hal ini memberi lebih mulia dibanding meminta. Dengan meminta, sekarang kusadari betapa tolol dan konyol diriku, aku seperti anak kecil yang meminta mainan. Padahal cinta bukan mainan yang layak diberikan kepada anak atau seseorang yang berjiwa kekanak-kanakan seperti diriku. Dan dengan memberi, memberikan dirimu, engkau lebih mirip dengan malaikat yang selalu menjalankan tugas tanpa membayangkan upah. Aku kini menyadari, engkau memberikan cintamu kepada bukan diriku ini tanpa ada setitik pun niat untuk meminta upah atau balasan. Engkau total, sedang diriku masih penuh perhitungan. Engkau pengabdi kehidupan dan aku masih menjad pedagang kehidupan.”

“ Oleh karena itu saya sekarang menyatakan berterima kasih kepada dirimu yang menolak diriku, menolak cintaku. Aku sekarang bersyukur karena kau telah melukai diriku dan hatiku dengan penolakan itu. Sebab tanpa penolakan itu sangat mungkin aku sekarang masih menjadi kanak-kanak, jiwa ku mungkn akan menjadi jiwa kanak-kanak abadi. Dengan kau lukai, dengan kau hancurkan dan kau campakkan diriku ke dalam keranjang sampah cinta, maka aku sekarang tidak marah dan dendam lagi. Sebab apa yang engkau lakukan itu justru membuatku berubah, membuatku jadi makin dewasa dan makin mudah mematangkan sikapku. Sekali lagi, aku terima kasih dik, atas penolakanku tiga puluh tahun lalu. penolakan yang membuat aku meninggalkan kota kelahiran, karena aku waktu itu sungguh tidak sangup melihat engkau hidup bahagia dengan lelaki pilihanmu.”

“Sekarang, aku berada dalam pesawat terbang hampir sepuluh jam menuju ibukota propinsi kelahiranku. Aku tidak tahu, apakah nanti setelah pesawat ini mendarat aku langsung memesan taksi menuju kota kelahiran untuk menemui ibuku yang sudah angat tua. Ataukah aku harus menata hati terlebih dahulu dengan menginap di hotel.Aku tidak tahu apakah kota kelahiranku masih sama seperti dulu, dengan lorong-lorong sempit dan agak gelap kalau malam, tempat aku dan engkau sering pulang bersama karena aku dipaksa oleh teman anggota teaterku untuk mengantarkan dirimu. Rumahku dan rumahku lebih dekat rumahmu. Jadi setelah mengantarkan dirimu aku bisa pulang ke rumahku. Karena kebiasaanku mengantarkan kau pulang latihan teater inilah yang dulu membuatku nekad untuk mengitim surat cinta. Apalagi di sebuah tikungan remang aku berhasil memegang tanganmu dan mencium punggung tanganmu. Sepuluh hari kemudian engkau membalas. Engkau bilang, dalam menulis surat balasan itu engkau menangis karena membayangkan aku terluka, sedih atau malah kehilangan kendali. Tetapi surat itu terpaksa kau selesaikan dengan  isi jawaban, bahwa engkau telah memilih seorang lelaki tetanggamu. Engkau mengatakan kalau pilihanmu itu seperti tidak masuk akal karena kau dan keluargamu adalah korban kekerasan kaum komunis di Solo, sehingga ayahmu meniggal, sedang calon suamimu adalah anak seoraang dari banyak warga kota kecamatan yang terpaksa harus dibawa ke Pulau Buru. Kau bilang, bahwa pilihanmu itu mengandung maksud mulia, menghapus dendam politik dengan langkah kemanusiaan, dengan cinta yang tulus. Dan kau bilang, dengan terus terang, bahwa kalau engkau menerima diriku yang orang tuanya sama-sama pejuang dan pernah bertempur dengan kekuatan militer komunis di tahun empat delapan, makna atau nilai tambahnya sangat sedikit. Anak pejuang mendapatkanj pasangan hdupnya yang sama-sama anak pejuang, tidak ada nilai geraknya dalam sejarah kemanusiaan. Apa asyiknya? Akan tetapi kalau anak pejuang, bahkan kemudian gugur ketika melawan kaum komunis, kemudian berani memilih anak yang orang tuanya dulu memiliki ideologi berlawanan dengan ideologi orang tuanya, dan ideologi calon suami itu telah kalah dan lapuk, engkau menyatakan akan ada gerak kemanusiaan. Engkau menyatakan berani emlompati cakrawala utuk membangun pelangi kehidupan yang menghubungan dunia keluargamu dan keluarga calon suamimu di kedua ujungnya. Pertama engkau memaafkan orang yang membuat ayahmu dan keluargamu menjadi korban konflik ideologi, kedua engkau mengangkat derajat anak musuh ayahmu dengan cinta, dengan menjadikannya pasangan hidupmu dan melahirkan anak-anak tanpa beban sejarah dan dendam sejarah.”

“ Waktu aku membaca surat balasan atau surat peolakanmu itu aku masih sangat muda dan emosional, aku memaki isi suratmu dengan makian mbelgedes, dengan menyebut cinta itu buta. Tetapi sekarang aku menyadari engkau benar. Apa yang engkau lakukan itu benar, demikian juga apa yang engkua katakan dalam surat itu. Aku waktu itu dengan penuh emosi langsung  membuat rencana untuk merantau, memninggalkan kota kelahiran, melupakan luka di hati. Untung, aku mendapatkan kesempatan bersyukur kepada Allah, karena luka itu telah sembuh. Aku mendapat pendamping hidupku, sebagai gantimu, perempuan yang setia, yang wajah dan tubuhnya mirip denganmu, maaf. Kemudian, pengalaman hidupku di tanah peranauan membuat dirku harus berjuang agar aku tetap ada dan berkembang, membuat diriku memiliki prestasi yang dapat dibanggakan, baik secara nama atau materi. Aku bisa memiliki rumah, mobil dan jabatan yang bisa membuat isteriku dan anak-anakku nyaman hidupnhya. Ini kemudian, suatu malam menjelang tahun baru Hijriyah lalu, ketika aku merenung sehabis shalat malam, aku sadar, ini semua adalah hikmah. Allah selalu menyembunyikan keajaiban nasib manusia lewat dinding atau hutan penderitaan seperti yang kualami.”

“ Jadi, Dik Indri, engkau jangan takut kalau nanti atau besuk melihat diriku pulang. Aku pulang untuk meminta maaf kepada ibu yang selama kutinggal merantau belum pernah kutengok, aku hanya mengirim uang berlimpah untuk ibuku. Yang datang ke rumah ibu  ya hanya uang itu, bukan diriku. Ketika Idul Fitiri kemarin ibuku mengirim surat yang isinya dua pertanyaan yang sangat menusuk hati, aku pun memmutuskan pulang ke kampung halaman hari ini. Ibuku hanya bertanya, Nak apakah sudah tidak ada rasa rindu di dalam hatimu? Nak, apakah engkau nanti tidak menyesal seumur hidup seandainya aku dipanggil Tuhan sedang engkau belum menemuiku selama puluhan tahun ini? Surat dari ibu itulah yang menggerakkan aku untuk pulang ke rumah lelbih dahulu, anak isteriku menyusul. Dan aku pulang ke kampung kelahiran juga untukmenemui dirimu dan suamimu. Aku hanya ingin mengatakan dua hal, atau ingin mengucapkan terima kasih karena engkau telah berhasil membuatku berubah menjadi manusia normal, manusia dewasa. Kedua, aku dengan tulus akan meminta maaf karena, dulu begitu kau tolak, aku lebih sering memaki dirimu, menggunjing dirimu, meski memaki dan mengunjing sendirian tanpa suara. Aku merasa bersalah karena melakukan itu. Aku ingin engkau memaafkan kekonyolanku waktu itu. Itu akan membebaskanku dari rasa bersalah yang berkepanjangan.”

“Maaf, selamja ini aku masih mengikuti perkembangan dirimu bersama suami dan anak-anakmu leat kawan-kawan sekota yang kebetulan mampi ke kota atau mampir ke kantor atau ke rumahku. Itulah yang membebabkan aku sadar bahwa Allah subhanu wa a’ala memang mentakdirkan aku dan engkau bukan sebagai suami isteri tetapi lebih sebagai sahabat. Dan dengan sadar sebagai sahabat ini aku menjadi berani menemui dirimu nanti setelah pesawat ini mendarat.”

Demikian catatan harian atau rencana surat yang ditulis Asrul yang akan diberikan kepada Indri. Surat itu mulai ditulis di ruang tunggu Bandar Udara, sampai di atas pesawat terbang yang mengangkut dirinya menuju kota kelahiran. Asrul menulis surat itu dengan tangan. Rencananya, ia akan memfoto copy surat itu lebih dahulu untuk arsip dirinya, dan yang asli akan dia kirimkan ke Indri lewat perantaraan adik bungsunya. Baru kemudian pagi beriktunya dia akan ke rumah Indri. Besuklusa  hari Ahad jadi dia mengharap Indri dan keluarganya ada waktu dan mau menemui.

Ketika roda pesawat menyentuh landasan, debar hati dan denyut jantungnya mencepat. Ia akan berhadapan dengan sisa kenyataan masa silam. Waktu di ruang bagasi, sambil menunggu kopornya datang ia berusaha menekan perasaanya, berusaha untuk menenangkan diri.

Begitu naik taksi, ia melupakan rasa lelah dan matanya menatap kiri kanan jalan seolah menatap tayangan di layar bioskup. Kota propinsi makin berubah, ia pangling. Demikian juga jalan menuju kota kelahiran. Untung rumah ibunya tidak jauh dari jalan umum. Ia tinggal membayar taksi, mengambil kopor dan jalan kaki tidak sampai seratus meter untuk sampai rumah. Hari sudah malam, pukl sembilan dan ia berharap ibunya belum tidur.

Pertemuan dengan ibunya berlangsung seperti yang ia bayangkan di pesawat. Hujan tangis dan ledakan emosi karena rindu yang penuh. Lalu ada tukar menukar cerita, sampai larut. Ia memngantuk dan tidur.

Paginya, ia memfotocopy surat itu dan memerintahkan adik bungsu untuk mengantar surat itu ke rumah Indri. Adiknya dipesan kalau ia akan datang ke rumah itu. Ahad pagi.

Setiap melangkah ke rumah Indri  dia merasakan kakinya makin berat. Rumah itu di pinggir lorong yang sama dengan lorong rumahnya, makin ke dalam agak jauh akan menjadi lorong tembus, ujungnay adalah jalan raya kotanya. Jalan raya yang berbeda dengan jalan yang ada lorong masuk ke rumahnya.

”Hei, Kang Asrul, mari-mari masuk,” terdengar sambutan ramah dari lelaki suami Indri menyambut Asrul begitu sampai di depan pintu.

Asrul bersalaman dengan lelaki itu. Duduk di ruang tamu. Sebentar kemdian Indri muncul dengan wajah cerah, memamerkan senyuman. Asrul tercekat. Lesung pipit, atau dekik pipi Indir masih sepert dulu. Indri duduk, menyalami Asrul.

Sebelum Asrul berbicara panjang lebar tentang maksud kedatangannya, Indri telah lebih dahulu berkata,” Kang Asrul kenapa kang Asrul harus menulis surat seperti itu? Kan saya tidak apa-apa dan sudah melupakan masa-masa indah dulu. Demikian juga kan Kang Darto ini. Ya kan Kang?”

Darto suami Indri menyahut,”Aku sudah membaca surat Kang Asrul. Saya anggap Kang Asrul berlebihan. Kang Asrul tidak perlu minta maaf dan mengucapkan terima kasih segala. Kita dulu,meski beda kampung kan teman bermain, mancng di kali, mencuri timun di sawah dan mencari jengkerik tapi pulangnya membawa seplastik kacang tanah, he he.”

Darto tertawa. Asrul pun tertawa.

Indri juga tertawa. Dari deretan giginya yang putih masih tampak adanya gigi gingsul, yang menambah manis wajahnya. Asrul berdebar melihat gigi gingsul, lesung pipit di pipi dan cahaya mata Indri. Ada pelangi di mata iIndri.

Yogyakarta, 2018

Asykar Sanjaya, penulis cerpen tinggal di Yogyakarta.

 

Exit mobile version