Buya Hamka di Mata Dato Seri Anwar Ibrahim

KUALA LUMPUR, Suara Muhammadiyah– Politisi senior dan Wakil Perdana Menteri Malaysia ke-7, Dato’ Seri Anwar Ibrahim memiliki kesan mendalam terhadap Prof  Dr Abdul Malik Karim Amrullah. Menurutnya, Buya Hamka merupakan seorang alim, sejarawan, sastrawan, pemikir, filosof, dan juga pejuang yang punya pemikiran yang kritis, kreatif, dan tidak tertandingi oleh ulama lainnya.

“Umat tidak mampu lagi melahirkan tokoh renaissance seperti beliau, yang alim, sastrawan, pejuang,” tuturnya. Hamka disebut sebagai salah satu ulama dengan pemikiran yang punya konteks lokalitas. “Dalam tafsirnya, beliau melontarkan pemikiran yang memperluaskan cakrawala pemikiran yang tidak menjadi kelaziman dalam karya-karya ketika itu.”

Anwar Ibrahim membaca banyak karya-karya Hamka. “Tafsir Hamka saya khatam (membaca) di penjara, kali pertama, sebagai tahanan politik, tahun 1970-an. Saya terkesan karena rasa humility, rendah hati, tawadhunya,” tutur Anwar Ibrahim dalam Seminar Antarabangsa: Pemikiran Buya Hamka Di Alam Melayu, 13 Maret 2021.

Pendiri The International Institute of Islamic Thought (IIIT) ini mengenal Buya Hamka melalui ibunya yang sangat meminati karya-karya Hamka, termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Perkenalan lebih jauh antara Anwar dengan Hamka terjadi ketika pada tahun 1971, Anwar Ibrahim membentuk ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia).

“Di usia saya 20-an, di ABIM, Syekh Razali Nawawi, ketika itu Presiden ABIM, mengusulkan kepada saya agar menterjemahkan karya Hamka ini ke dalam Bahasa Inggris.” Usulan itu diterima oleh Anwar. “Saya pun memulakan menterjemahkan Al-Fatihah, Al-Baqarah, dan ternyata amat sukar, karena Buya Hamka itu sastrawan,” kata Sarjana Muda bidang Sastra Universiti Malaya itu.

Anwar Ibrahim tidak melanjutkan penerjemahan karya Hamka ke Bahasa Inggris. “Setelah satu juzu’ saya menyerah, tapi draftnya masih ada,” ungkapnya. Ia mengharapkan para ilmuwan dan satrawan lain mampu melakukannya. “Saya akui Khairuddin Aljuneid berhasil menghibahkan karya Hamka ke dalam Bahasa Inggris.”

Setelah revolusi Iran, Anwar Ibrahim bersama Buya Hamka dan didampingi Rusydi Hamka punya kenangan khusus ketika berkunjung ke Iran. Mereka melihat dan mengamati kondisi Iran yang berada dalam euforia kemenangan. Saat itu, Buya Hamka mulai mengkritik Iran dalam hal relasinya dengan negara-negara Sunni.

Anwar Ibrahim mengusulkan supaya generasi muda kembali membaca karya-karya Hamka. “Minat dan kepahaman tentang karya-karya besar Buya Hamka itu tidak sehebat generasi terdahulu, jadi harus dikumandangkan semula (lagi),” ujarnya. “Karya Hamka diantara yang penting untuk kita lontarkan kepada generasi muda agar mereka tidak ketinggalan.”

Karya Hamka dianggap masih relevan. Kata Anwar, “karya awal beliau tahun 1950-an di buku Pengantar Agama Islam, mengupas soal aqidah, hukum, dengan cara menggalakkan umat untuk memikir, mempersoal, dan mengaitkan soal hukum dengan pemahaman masyarakat.” Itulah keunikan Hamka yang tidak hanya mendoktrin, tetapi mengajak berpikir.

Latar belakang Hamka inilah yang memandunya menghadapi situasi sosial politik dengan cara moderat dan tidak konfrontatif. “Ini yang menyebabkan beliau mengambil pendekatan yang lebih lunak ketika ada perbenturan idea antara kaum muda dan kaum tua, misalnya disebut dalam Ayahku.” Kesan ini juga dilihat Anwar dalam buku Teguran Suci & Jujur Terhadap Mufti Johor.

Anwar Ibrahim juga melihat Hamka memberi pemahaman supaya pembaca karya-karyanya bersikap kritis. Anwar memberi contoh ketika Hamka memperkenalkan Al-Kawakibi tentang memerdekakan pikiran yang mengajak kita untuk melihat karya-karya yang dirujuk Hamka. “Pemikiran kritis dan kreatif ini buntu di kalangan umat Islam saat ini,” ujarnya.

Seminar Antarabangsa: Pemikiran Buya Hamka Di Alam Melayu ini turut mengundang banyak tokoh seperti Ahmad Farhan Rosli sebagai Presiden Persatuan Kebangsaan Pelajar Islam Malaysia (PKPIM); Prof Dr Haedar Nashir MSI sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah Indonesia. Ada juga Prof Dato’ Dr Siddiq Fadzil, Pengerusi Institut Darul Ehsan (IDE); Prof Dato Dr Wan Sabri Wan Yusof, Universiti Sultan Azlan Shah; Afif Hamka, Putera ke-9 Buya Hamka; Prof Madya Dr Syed Khairudin Al-Junied, National University of Singapore; Dr Norazlan Hadi Yaacob, Universiti Pendidikan Sultan Idris; dan Prof Dato’ Dr Mohammad Redzuan Othman, Ketua Eksekutif IDE. (ribas)

Exit mobile version