KUALA LUMPUR, Suara Muhammadiyah– Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengapresiasi para tokoh di Malaysia yang cukup akrab dengan pemikiran Buya Hamka atau Prof Dr Abdul Malik Karim Amrullah. “Saya takjub karena hampir semua tokoh dan pemuka Malaysia begitu bersahabat, begitu akrab dengan pemikiran dan kisah Buya Hamka, mungkin melebihi kami yang ada di Indonesia,” katanya dalam Seminar Antarabangsa: Pemikiran Buya Hamka Di Alam Melayu, 13 Maret 2021.
Menurut Haedar, pemikiran Buya Hamka mewarisi pemikiran pendiri Muhammadiyah, Kiai Haji Ahmad Dahlan. “Buya Hamka juga tokoh Muhammadiyah yang menghadirkan pemikiran-pemikiran yang damai, menghadirkan pemikiran yang kritis dan maju. Pemikiran-pemikiran progresif dari Buya Hamka tadi diurai dengan fasih oleh Dato Seri Anwar Ibrahim.”
“Beliau seperti KH Ahmad Dahlan suka mengutip QS Az-Zumar ayat 17-18, Orang-orang yang menjauhi taghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu, sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah ulul albab.
Menurut Haedar, karakter manusia ulul albab seperti dalam ayat itu adalah manusia yang punya kemerdekaan berpikir, mendengarkan banyak informasi, memilah-milah, dan lalu mengambil yang terbaik. Tidak serta merta menolak suatu pandangan berbeda tanpa terlebih dahulu menelaah.
Pada 1975 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, kata Haedar, Buya Hamka memberikan sebuah ceramah yang kemudian dibukukan menjadi Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. Saat itu, Buya Hamka mengkritik para pemuka agama yang jumud, yang hanya berangan-angan dan mengamalkan Islam berdasarkan klaim.
Sikap reformis Hamka yang menginginkan Islam murni yang bukan sekadar klain itu tidak serta-merta menghilangkan khazanah irfani, tetapi memadukannya dengan akal dan wahyu. “Dalam buku Tasawuf Modern, beliau menjelaskan tidak hanya tentang jiwa, ruhani, tentang soal menghidupkan hati, pencerahan hati, tanwir al-qulub, tetapi juga tentang kemerdekaan berpikir, kemajuan berpikir,” ulasnya.
Hamka menyebut dua tiang yang menjadi landasan dalam perilaku berislam, yaitu sikap hurriyatul fikri dan hurriyatul iradah, kemerdekaan berpikir dan kemerdekaan kemauan/berkehendak.
Menurut Haedar, sikap kemerdekaan yang berpadu dengan karakter tasawuf inilah yang menyertai Hamka dalam berpolitik. “Setelah diperjara di zaman Soekarno yang begitu menyakitkan, ketika Soekarno wafat, beliaulah yang menjadi imam dan tanpa dendam. Hamka mempraktikkan politik damai, politik yang menghadirkan Islam sebagai din al-rahmah,”
Pikiran modernis Hamka misalnya tercermin ketika awalnya Hamka memperjuang Islamic state, tetapi kemudian, pikiran-pikiran Islamic modernism justru lebih kuat. Haedar mengutip pernyataan Hamka ketika nasionalisme dan Islam dipertentangkan. “Adalah fitnah jika Islam dan Pancasila dipertentangkan, diperlawankan.” Hamka sebagaimana dikutip Haedar melanjutkan, “Saya seorang Muslim yang otentik, karena itu saya berpancasila. Saya seorang Pancasilais sejati, karena itu meletakkan Islam sebagai agama yang membawa kemajuan bagi bangsa Indonesia.”
Di Muhammadiyah, kata Haedar, sikap Hamka ini terintegrasi dengan paham KH Ahmad Dahlan. “Buya Hamka menghadirkan Islam yang progresif, maju, berkemajuan, politik Islam yang damai, juga diberi warna irfani dan tasawuf .” Saat ini, di Malaysia maupun di Indonesia, arus Islamisme menguat tetapi kadang mengarah pada konservatisme. Menghadapi fenomena ini, perlu menghadirkan kembali pemikiran-pemikiran Buya Hamka, sebagai al-fikrah al-badilah atau tawaran pemikiran alternatif.
Generasi muda Indonesia dan Malaysia diajak untuk kembali menggali khazanah pemikiran Buya Hamka yang begitu kaya. “Buya Hamka mewarisi khazanah, mozaik, karya-karya yang begitu banyak, hampir 200 karya, termasuk karya yang terbesar, Tafsir Al-Azhar. Kami memahami pemikiran Buya Hamka itu sebagai suatu pemikiran yang unik dan utuh,” ujarnya.
Haedar mengaku tidak sempat berjumpa langsung dengan Buya Hamka karena perbedaan generasi. “Tahun 1981 ketika beliau wafat saya masih dua tahun di Yogyakarta sebagai mahasiswa.” Haedar hanya sempat menghadiri ceramah Buya Hamka di Masjid Istiqamah Bandung ketika masih muda. Di Yogyakarta, Haedar pernah menghadiri ceramah Hamka di Masjid Syuhada. Sempat juga bertemu sekilas di gedung PP Muhammadiyah. (ribas)