JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketika kita berbicara tentang kelahiran Muhammadiyah, sebagian besar literatur mengkaitkannya dengan persoalan keagamaan. Soal akutnya permasalahan TBC (tahayul, bid’ah, churafat). Pemahaman serta tulisan-tulisan tersebut sebenarnya dapat mereduksi konteks kelahiran Muhammadiyah yang sebetulnya lebih banyak dilatarbelakangi oleh faktor sosial dan politik. Bagaimanapun nuansa keagamaan ini sulit dilepaskan karena faktor subyektif KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah yang secara background keilmuan adalah seorang ulama.
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpianan Pusat Muhammadiyah memaparkan, ada tiga konteks dalam lahirnya Muhammadiyah. Pertama, konteks sosial. Konteks ini berkaitan dengan persoalan kemiskinan, kebodohan, feodalisme, dan berbagai aspek yang berhubungan dengan perilaku budaya masyarakat, terutama tentang etos kerja dan etos keilmuan. Aspek ini lebih dominan dan menjadi latar belakang dari lahirnya Muhammadiyah di Yogyakarta.
Karena itu jika kita membaca referensi awal tentang Muhammadiyah, kelahiran lembaga-lembaga filantropi di Muhammadiyah sejatinya menandakan bahwa permasalahan sosial lebih dominan daripada persoalan keagamaan.
Kedua, konteks keagamaan, yang mana hal ini berkaitan dengan tiga hal, yaitu konservatisme keagamaan, fatalisme, dan singkretisme. Hal-hal ini menjadi permasalahan yang cukup serius di dalam keberagamaan masyarakat Muslim pada saat itu.
Dan yang ketiga, konteks politik, di mana hal yang sangat menonjol dari konteks ini adalah masalah disintegrasi dan segregasi. Jika ditafsirkan dari sudut pandang yang berbeda, trikotomi yang muncul dalam studi klasik Clifford Geertz melalui bukunya The Religion of Java telah menggambarkan bagaimana terjadinya segregasi keberagamaan dan sosial, karena sikap beragama yang tidak dapat dilepaskan dari posisi-posisi sosial yang ada.
Berbagai persoalan yang muncul dari latar belakang lahirnya Muhammadiyah tersebut merupakan persoalan yang sebagian bermuara pada keagamaan, dan sebagian lain bermuara kepada sistem pendidikan. Persoalan yang cukup mengemuka dari hal ini adalah tentang sektarianisme yang memiliki kecenderungan terhadap fanatisme golongan, fanatisme mazhab, dan kecenderungan beragama yang bersifat komunal.
Dari sisi keagamaan yang lain, ada kecenderungan munculnya mistisisme yang tidak dapat dilepaskan dari suasana kultur keagamaan masyarakat Yogyakarta pada waktu itu. Misalnya yang berkaitan dengan animisme dan dinamisme. Kemudian ada juga dogmatisme yang ditandai dengan rendahnya potensi akal dan ilmu dalam memahami dan mengamalkan agama. Dogmatisme inilah yang akhirnya menyebabkan masyarakat mengalami keterbelakangan dalam segala bidang.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, KH. Ahmad Dahlan melihat permasalahan ini lebih disebabkan karena adanya dikotomi dalam pendidikan. Dikotomi ini dapat dilihat dalam tiga bentuk yaitu dikotomi secara kelembagaan, kurikulum, dan keilmuan. Di luar ketiga hal tersebut, ia menambahkan bahwa juga ada dikotomi lain yaitu dikotomi struktural. Indikasinya ialah, ada lembaga pendidikan yang yang dikhususkan bagi kalangan elit dan ada yang diperuntukkan untuk orang-orang alit (bahasa jawa). Sehingga yang kita lihat dari sejarah pendidikan kita adalah permasalahan stratifikasi dan kesempatan pendidikan yang terbatas bagi masyarakat kecil. Dan akses pendidikan yang tak terbatas bagi kaum terpandan. Ketimpangan dalam hal pendidikan inilah yang akhirnya menciptakan segregasi dan melahirkan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap lahirnya disintegrasi bangsa.
Dalam situasi yang seperti itu Muhammadiyah menawarkan tiga model pembaruan. Melalui gerakan pendidikannya, Muhammadiyah melakukan pembaruan kelembagaan, yang mana Muhammadiyah mendirikan lembaga pendidikan baru yang diberi nama madrasah. Lembaga pendidikan ini merupaka sintesis dari lembaga pendidikan ala pesantren dan lembaga pendidikan ala Belanda.
Setelah melakukan pembaruan secara kelembagaan, tidak menunggu lama, Muhammadiyah langsung melakukan pembaruan di bidang kurikulum. Mulai sejak saat itulah di sekolah dan madrasah Muhammadiyah diajarkan ilmu-ilmu agama dan umum secara berkesinambungan. Secara lebih spesifik dan mendalam, Muhammadiyah juga melakukan pembaruan pada metode pembelajaran.
Melalui beberapa pembaruan tersebut, sekolah-sekolah Muhammadiyah telah membuka ruang dialog yang sangat besar, menghadirkan pengkajian yang kritis kepada agama dan proses belajar mengajar. Pada level tertentu, sekolah-sekolah Muhammadiyah memiliki kekuatan yang cukup besar dalam hal berpikir kritis. Dan itu menjadi salah satu ciri dari model serta metode pembelajaran yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Sehingga sekolah menjadi bagian dari usaha membangun integrasi sosial sebagai solusi atas persoalan segregasi dan disintegrasi bangsa. Pada akhirnya sekolah Muhammadiyah menjadi meeting point dan melting point dari berbagai kelompok masyarakat, tanpa melihat ras, suku, agama, dan status sosial.
Namun lambat laun situasi berubah ketika pembaruan pendidikan yang digagas oleh Muhammadiyah banyak diadopsi dan diadaptasi, khususnya pasca Indonesia merdeka. Kondisi ini tentu menyebabkan munculnya beberapa persoalan. Setidaknya ada empat tantangan yang harus dihadapi oleh Muhammadiyah di bidang pendidikan. Pertama, pendidikan di Muhammadiyah mengalami tantangan tragedy of the common. Istilah ini diambil dari sebuah judul buku yang berarti “pendidikan Muhammadiyah sudah tidak memiliki ciri khas”. Kedua, permasalahan disintegrasi. Belum terjadinya integrasi antara ilmu agama dengan ilmu umum di dalamnya.
“Problem integrasi ini sangat terlihat dari nilai dan perilaku yang tidak singkron di masyarakat,” tuturnya.
Ketiga, tantangan relevansi. Sejatinya, pendidikan Muhammadiyah telah memberikan sumbangan yang sangat besar dan memiliki relevansi dengan berbagai kepentingan, terutama jika dikaitkan dengan ketenagakerjaan dan pembangunan nasional.
Pada point ini Abdul Mu’ti menyampaikan kritiknya kepada lembaga pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah sendiri. Menurutnya, jika peran dan tugas pendidikan hanya ditujukan untuk orang agar mudah mencari kerja, maka dunia pendidikan menjadi subordinate dari berbagai kepentingan industri.
“Menurut saya, pendidikan itu tidak harus diorientasikan hanya untuk bekerja, tapi juga memberikan mereka bekal untuk hidup dan kehidupan,” pungkasnya.
Keempat, tantangan keunggulan. Muhammadiyah secara kelembagaan masih relatif leading jika dibandingkan dengan berbagai institusi swasta lainnya. Tapi jika kita lihat secara keseluruhan, pendidikan kita masih berada pada posisi medioker (biasa-biasa saja). Dari 165 perguruan tinggi milik Muhammadiyah, masih enam perguruan tinggi yang secara kelembagaan terakreditasi A. Hal ini menunjukkan bagaimana kualitas dari pendidikan kita jika akreditasi yang menjadi ukuran.
“Menurut saya akreditasi adalah salah satu ukuran yang cukup obyektif untuk menentukan mutu sebuah lembaga atau institusi pendidikan,” jelas Mu’ti.
Pada bagian ini kita akan melihat bagaimana kontruksi tajdid yang digagas oleh Muhammadiyah. Menurut KH. Ahmad Dahlan, tidak ada yang namanya dikotomi keilmuan di dalam Al-Qur’an. Dikotomi ilmu hanya terjadi pada lavel pemikiran para ulama. Ketika konsep tersebut dikembalikan kepada Al-Qur’an, tentu tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan agama karena sumber ilmu adalah Allah SWT. Maka kontruksi keilmuan di dalam Islam tidak bisa lepas dari wahyu. (diko)