Nabi Muhammad SAW (19), Hijrah ke Thaif

hidup

Foto Dok Ilustrasi

Oleh : Yunahar Ilyas

Setelah kematian Abu Thalib dan Khadijah tekanan kepada Nabi dari kaum kafir  Quraisy semakin keras. Menurut Ibn Ishaq, sebagaimana dikutip oleh al-Mubarakfuri dalam ar-Rahiq al-Makhtum (hal. 148) orang-orang Quraisy lebih bersemangat meyakiti Nabi setelah Abu Thalib tiada. Bahkan ada yang berani menghadang lalu menaburkan debu di atas kepala beliau sehingga Nabi pulang ke rumah dengan kepala penuh debu. Seorang puteri beliau membersihkan debu itu dengan bercucuran air mata. Rasulullah menghiburnya, “Tak perlu menangis puteriku, karena Allah akan melindungi ayahmu.”

Karena memerlukan pendamping setelah kematian Khadijah, pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian ini juga Nabi menikah dengan Saudah binti Zam’ah. Perempuan ini termasuk golongan terdahulu masuk Islam. Saudah ikut rombongan kedua hijrah ke Habsyah bersama suaminya Sakran ibn Amar. Suami pertamanya ini meninggal dunia di Habsyah. Setelah masa ‘iddah Saudah habis Nabi meminang dan menikahinya. Dialah perempuan pertama yang dinikahi Nabi setelah Khadijah meninggal dunia.

Hijrah ke Thaif

Karena tekanan di Makkah semakin kuat, maka pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian itu juga Nabi Muhammad SAW, ditemani oleh Zaid ibn Haritsah, putera angkat beliau pergi ke Thaif, daerah pegunungan berjarak  60 mil dari Makkah. Nabi punya kenangan manis masa balita di Thaif di bawah asuhan ibu susuan beliau Halimah as-Sa’diyah. Nabi berharap bisa lebih aman dan tenang tinggal di Thaif dan dapat menyampaikan risalah Islam dengan leluasa.

Sesampai di Thaif, beliau menemui Abd al-Yalail, Mas’ud dan Hubaib, ketiganya putera Amr ibn Umar ats-Tsaqafi. Nabi menyeru mereka untuk masuk Islam. Tapi ketiga-ketiganya menolak sambil melecehkan Nabi. Seorang di antara mereka berkata: “Kain penutup Ka’bah terkoyak jika Allah benar-benar mengutusmu.” Yang lain mengatakan, “Tidakkah Allah menemukan orang selain dirimu?”Sedangkan yang ketiga berkata, “Sungguh, aku tidak sudi bicara denganmu sama sekali. Jika engkau benar-benar seorang rasul, engkau terlalu mulia bagiku sehingga aku tidak berani menyanggah perkataanmu. Sedangkan jika engkau berdusta dengan nama Allah, tidaklah pantas aku bicara denganmu.” Rasulullah pergi meninggalkan mereka sambil bersabda, “Terserah kalian, tetapi simpanlah apa yang kalian dengan dari aku.” (ar-Rahiq al-Makhtum: 159)

Nabi berada di Thaif selama 10 hari dan secara intensif mendatangi para pemuka masyarakat Thaif satu persatu, tapi tidak seorangpun yang mau menerima seruan Nabi. Semuanya bersikap yang sama,  mengusir Nabi dari Thaif. Akhirnya Nabi dan Zaid pergi meningalkan Thaif dengan kecewa. Apalagi menjelang keluar meninggalkan Thaif mereka berdua dibuntuti oleh orang-orang jahat dan budak-budak yang meneriaki dan mencaci maki  Nabi. Mereka mengerumuni Nabi dan membentuk dua barisan dan mulai melempari beliau dengan batu sambil terus mencerca. Satu lemparan menggenai tumit beliau sehinga terompah beliau berlumuran darah. Sementara itu Zaid ibn Haritsah beusaha membentengi Nabi sampai kepalanya bacor kena lemparan batu.

Orang-orang jahat itu terus melempari Nabi sampai beliau berhasil masuk kedalam kebun kurma milik Utbah dan Syaibah, dua orang putera Rabi’ah. Lokasi kebun itu dari kota Thaif berjarak 3 mil. Di kebun itulah Nabi bersembunyi menyelamatkan diri sampai yang melempari beliau berlalu. Nabi kemudian duduk bersandar ke sebatang pohon anggur. Setelah tenang Nabipun bermunajat dengan Allah:

اللهم إليك أشكو ضَعْف قُوَّتِى، وقلة حيلتى، وهوإني على الناس، يا أرحم الراحمين، أنت رب المستضعفين، وأنت ربي، إلى من تَكِلُنى ؟ إلى بعيد يَتَجَهَّمُنِى ؟ أم إلى عدو ملكته أمري ؟ إن لم يكن بك عليّ غضب فلا أبالي، ولكن عافيتك هي أوسع لي، أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت له الظلمات، وصلح عليه أمر الدنيا والآخرة من أن تنزل بي غضبك، أو يحل علي سَخَطُك، لك العُتْبَى حتى ترضى، ولا حول ولا قوة إلا بك

“Ya Allah, hanya kepada-Mu kuadukan kelemahanku, ketidakberdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara para pengasih, Engkau adalah Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapakah akan Kauserahkan diriku? Kepada orang-orang asing yang bermuka masam  kepadaku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Aku tidak peduli asalkan Engkau tidak murka kepadaku, sebab amat luas afiat-Mu bagiku. Aku berlindung dengan cahaya Dzat-Mu yang menyinari kegelapan dan memperbaiki urusan dunia dan akhirat, dari amarah yang akan Kauturunkan atau murka yang akan Kautimpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sampai Engkau ridha. Tiada daya dan kekuatan kecuali atas perkenan-Mu.

Dalam munajat itu Nabi Muhammad SAW menyatakan tidak peduli dengan segala penderitaan yang dialaminya asalkan bukan karena Allah SWT murka kepada beliau. Yang paling dikhawatirkan oleh Nabi adalah apabila semua penderitaan dan penghinaan yang dialami oleh Nabi di Thaif ini adalah karena Allah sudah murka kepada beliau. Munajat ini kemudian dikenal dengan du’a Rabbil Mustadh’afin ( doa kepada Tuhan Pelindung orang-orang yang tertindas).

Pemilik kebun kemudian merasa kasihan melihat Muhammad dan Zaid, lalu menyuruh pembantunya yang bernama Addas untuk menyuguhkan segenggam anggur untuk Muhammad. Nabi mengambilnya seraya membaca bismillahirrahmanirrahim kemudian memakannya. Addas yang ternyata seorang Nasrani heran dan menyatakan keherannya kepada beliau, “Sungguh pernyataan macam itu tidak pernah diucapkan penduduk negeri ini.” Menanggapi ucapan Addas Nabi bertanya,  ”Berasal darimanakah engkau dan apa agamamu?”Addas menjawab, “Aku seorang Nasrani berasal dari Ninawi.” “Dari negeri seorang hamba yang saleh, Yunus ibn Matta. “kata Nabi.  Addas makin heran, “Apa yang Tuan ketahui tentang Yunus ibn Matta?” “Dia seorang Nabi dan aku juga seorang Nabi.” jawab Nabi. Addas langssung bersimpuh di hadapan Rasulullah lalu mencium kepala, tangan dan kaki beliau.

Kedua putera Rabi’ah yang menyaksikan kejadian itu berkata satu sama lain, “Pembatumu itu betul-betul telah dirusak olehnya.  Saat Addas kembali, keduanya langsung menanyainya, “Apa yang engkau lakukan tadi?”Addas menjawab:”Tuanku, di muka bumi ini tidak ada yang lebih baik daripada orang ini. Sungguh dia elah mengajariku sesuatu yang tidak mungkin diketahui kecuali oleh seorang nabi”.  “Celakalah engkau Addas. Jangan sampai dia memalingkanmu dari agamamu, sebab agamamu lebih daripada agamanya.”

Setelah cukup istirahat di kebun putra Ra’biah, Nabi kembali ke Makkah. Beliau meninggalkan Thaif dengan hati luka. Sesampainya di Qarnul Manazil, Allah mengutus Jibril bersama malaikat penjaga gunung. Jibril memberitahu Nabi bahwa atas izin Allah beliau dapat memerintahkan kepada malaikat penjaga gunung itu untuk menimpakan dua gunung kepada penduduk Thaif yang telah menghina beliau. Tapi Nabi menolaknya dan menyatakan, “Tapi aku masih berharap dari anak keturunan mereka akan muncul orang-orang yang menyembah Allah saja, yang tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun”. (ar-Rahiq al-Makhtum: 160-161) Dengan datangnya Jibril dan malaikat penjaga gunung itu menawarkan bantuan Nabi menjadi lebih tenang dan tenteram karena adanya pertolongan ghaib yang dikirim oleh Allah SWT. (bersambung)

Sumber : Majalah SM Edisi 06 Tahun 2019

Exit mobile version