Iqbal Aji Daryono, Penulis, Pegiat Media Sosial, dan Kader Muhammadiyah
Suara Muhammadiyah – Terkait dengan penilaian tentang netizen Indonesia yang dianggap paling tidak sopan, sebenarnya pernyataan tidak sopan tersebut tidak datang dari ruang hampa. Ketidaksopanan itu muncul karena lebih disebabkan adanya headspace dan hoaks.
Untuk menganalisa hal tersebut yang pertama harus dilihat adalah jumlah populasi di setiap negara. Bagaimana pun Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi paling banyak. Sehingga peluang terjadinya kerancuan dan kericuhan menjadi sangat besar. Di samping itu, Indonesia juga merupakan negara dengan pengguna media sosial nomor empat terbanyak di dunia, pertama Amerika, kedua Brazil, ketiga India, dan yang keempat Indonesia.
Dari data tersebut, artinya Indonesia dengan populasi pengguna media sosial terbesar di Asia Tenggara, secara langsung juga paling rakus dalam bermedsos. Di saat yang sama Indonesia juga memiliki latar yang berbeda dengan negara-negara tetangga. Kalau kita bandingkan dengan negara-negara di kawasan, Indonesia jauh lebih demokratis dari pada Singapura, Malaysia, Thailand, Laos, Vietnam. Terlepas penilaiannya seperti apa, Indonesia merupakan negara paling demokratis di Asia Tenggara.
Iklim demokrasi yang akhirnya dirayakan dengan berlebihan itu membuka ruang kebebasan yang tampak mencolok dalam interaksi kita di media sosial. Hal ini sangat terpengaruh oleh keterbukaan demokrasi Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara-negara yang lain.
Namun sialnya Indonesia masuk dalam iklim demokrasi di dalam situasi di mana tingkat keterdidikan warganya tentang literasi sangatlah rendah. Ketika literasi bangsa Indonesia masih compang-camping, tiba-tiba kita masuk ke alam digital dan terlebih lagi ke media sosial.
“Berapa juta orang Indonesia pegang buku saja belum pernah, tapi langsung pegang handphone.”
Akar literasi digital dan media kita masih sangat rendah
Pada saat literasi digital kita sangat rendah, bangsa kita menghadapi era digital dengan bekal yang sangat minim. Akhirnya terjadilah sebagaimana yang kita saksikan sekarang, kekacauan dalam bermedsos. Permasalahan yang sebenarnya bukan hanya terkait dengan literasi digital yang rendah, tapi juga literasi media yang juga rendah. Publik kita belum bisa membedakan mana media yang sebenarnya dan mana media yang hanya abal-abal.
“Yang namanya media itu harus memiliki struktur keredaksian yang jelas, orang-orang yang berkecimpung di dalamnya juga memiliki pengetahuan jurnalistik yang mumpuni, paham tentang prinsip-prinsip pers, dan sebagainya,” jelasnya.
Seringkali masyarakat kita tidak mau tahu menahu tentang hal itu. yang mereka tahu hanyalah, bahwa media yang mereka baca berisi pembelaan terhadap apa saya yang mereka yakini sebuah kebenaran. Secara lebih jelasnya, masyarakat kita masih belum bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang salah. “Akar permasalahan kita adalah literasi digital dan media yang rendah di saat bangsa Indonesia menempati ideks demokrasi tertinggi di Asia Tenggara,” ungkapnya.
Anonimitas dan polarisasi
Faktor lain selain kualitas masyarakat yang memperihatinkan dalam bermedsos, kita melihat situasi dan kondisi di era digital kita saat ini yang seluruhnya sudah dikuasai oleh media sosial. Sehingga medsos ini memunculkan anonimitas (adanya perasaan yang seolah tidak dikenal) ada banyak orang yang bersembunyi di balik akun media sosial. Padahal prinsip utama dari media sosial adalah untuk memperkenalkan diri dan penuh dengan keterbukaan.
Tidak berhenti di situ saja, permasalahan ini semakin menjadi-jadi karena juga adanya ledakan dari proses polarisasi politik di masyarakat. Kemudian polarisasi ini dipanaskan kembali oleh banyak elemen. Dan akhirnya diperuncing dengan algoritma media sosial yang kita kenal dengan istilah filter bubble effect, echo chamber, dan lain sebagainya. Hal ini dapat membuat kita semakin terkungkung di alam pikiran pribadi yang lebih dominan. Proses panjang inilah yang kemudian menciptakan dehumanisasi. Maka komunikasi yang terjalin antar satu kelompok dengan kelompok yang lain adalah ujaran-ujaran yang mengarah kepada perpecahan. Tidak lagi sesuai dengan batas-batas moralitas yang berlaku. (diko)