Melawan Radikalisme Korupsi di Masa Paceklik Pandemi Covid-19

Busyro

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Berbicara tentang perkembangan korupsi di Indonesia, semakin hari kian memburuk. Di dalam birokrasi Indonesia sendiri, korupsi telah menjadi budaya, diterima sebagai sesuatu yang biasa, lumrah, dan sudah sepantasnya. Hal tersebut terjadi karena semakin kuatnya konsolidasi antara elit oligarki. Seluruh elit itu telah bersatu padu melalukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Mereka melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam melalui kekuatan ekonomi dan politik di pemerintahan.

Thamrin A. Tomagola selaku Sosiolog Universitas Indonesia memprediksikan bahwa korupsi di Indonesia akan semakin marak dan parah, karena telah dikuasainya seluruh lembaga negara oleh jaringan oligarki. Fenomena ini dapat disebut dengan istilah the brutal takeover of state institution by bisnis community, pengambilalihan institusi negara secara brutal oleh komonitas bisnis.

Cengkraman oligargi yang demikian kuat tersebut telah menutup celah bagi masyarakat sipil dan kekuatan lain di luar partai politik untuk melakukan perubahan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Jika hal ini terus berlangsung, masyarakat akan mencapai suatu fase kejenuhan dan kemuakan yang bukan main, dan pada akhirnya melahirkan apa yang disebut ketidakpatuhan warga negara terhadap apa pun yang diatur dan diselenggarakan oleh negara. Tentu hal ini akan sangat berbahaya.

“Dari sisi pemerintah sendiri, rasanya sudah hampir mustahil untuk mengontrol dan mengendalikan korupsi di dalam lingkup pemerintahan. Harapan kita saat ini hanya ada di tangan rakyat,” tegasnya dalam acara Webinar Nasional dengan tema “Gurita Korupsi di Masa Pandemi, Potret Ketidakberdayaan Rakyat” yang diselenggarakan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah (20/3).

Busyro Muqoddas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan bahwa kaum petani, nelayan serta buruh sebagai pilar kekuatan UMKM yang bersifat original dan penyumbang terbesar suara dalam pemilu pilkada, semakin terpental dari perlindungan politik dan hukum. Suara mereka hanya diperas untuk dieksploitasi. Setiap pemilu yang berlangsung lima tahunan, nasib mereka terabaikan. Seperti pepatah yang berbunyi, hilang manis sepah dibuang.

Menurut Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut menggarisbawahi dua poin penting. Pertama bahwa perlindungan terhadap petani dan nelayan masih sangat minim dari elemen-elemen bangsa, sehingga mereka berada di dalam pusaran korupsi yang sistemik, masif, dan terstruktur. Dipermaikan oleh kekuatan-kekuatan besar yang ada di dalam pemerintahan. Apalagi dari unsur perguruan tinggi yang semakin memilih jalan diam dalam menyikapi isu-isu yang bertentangan dengan nilai luhur bangsa. Kedua, Kebijakan pemerintah semakin ditentukan oleh kekuatan pemilik modal yang berjasa besar dalam pemilu dan pilkada.

Dari dua point tersebut setidaknya membuat elemen-elemen masyarakat sipil semakin terpanggil. Tumbuh kepekaan untuk membersamai rakyat menghadapi sejumlah gejala ketidakwarasan secara etika sosial. Gejala-gejala ketidakwarasan tersebut diantaranya, semakin mengguritanya radikalisme koruptor. Kualitas idependen, kejujuran, keterbukaan dalam penegakan keadilan oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK semakin menurun. Adanya indikasi tertutupnya pengungkapan skandal mega korupsi. Terjun bebasnya political will pemerintah dan DPR untuk mereformasi UU Parpol, UU Pemilu dan Pilkada sebagai sumber dan akar radikalisme korupsi di Indonesia. Dan yang terakhir, kebijakan pemerintah yang semakin tidak protektif terhadap HAM serta ekosob petani dan nelayan.

“Sebagai penutup, maka kita perlu untuk melibatkan seluruh masyarakat sipil dan elemen perguruan tinggi. Perguruan tinggi saatnya kita gugat untuk menjadi lembaga independent yang betul-betul memiliki akademic freedom,” ujarnya. (diko)

Exit mobile version