YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Guru Besar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) mengadakan diskusi bertema “Tantangan Dunia Pendidikan dan Masa Depan Umat Islam Indonesia” (22/3/2021) yang mengundang Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir sebagai pembicara dan sejumlah penanggap. Forum ini dimoderatori oleh Rektor Institut Pertanian Bogor, Prof Arif Satria.
Haedar Nashir menyampaikan dua permasalahan dunia pendidikan. Pertama, ada problem diskontinuitas dalam kebijakan negara ketika akan melakukan suatu lompatan. “Tidak tersambung secara integratif dengan prinsip-prinsip dalam konstitusi. Soal pendidikan, misalkan, sudah niscaya pasal 31 ada 4 diksi tentang: iman dan takwa, kemudian tentang akhlak mulia, nilai agama, yang memang disebut di situ,” tuturnya.
Kedua, ada keinginan melakukan lompatan perubahan di abad ke-21. Indonesia ingin masuk kepada fase baru dan semestinya seperti itu. “Tetapi saking bersemangatnya, lalu tidak terkoneksi dengan identitas Indonesia itu sendiri sebagai Negara yang berbasis pada Pancasila, nilai agama, dan budaya luhur bangsa, sebagai satu kesatuan,” kata Haedar. Semestinya lompatan yang dilakukan tetap berpijak pada akar identitas yang kokoh.
Tanpa adanya ketersambungan ini, maka terjadi reduksi dan bias dalam kebijakan negara. “Memadukan antara nilai-nilai fundamental-ideal-prinsipil yang prinsip dengan nilai-nilai strategis itu tidak mudah, disitulah terjadi reduksi,” ujar Haedar. Dalam konteks ini, perlu negosiasi supaya pendidikan tidak kehilangan arah. “Kita tidak bisa mengubah lembaga pendidikan menjadi pabrik.”
Haedar mengakui bahwa ada hal yang perlu dipacu dalam ranah pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kita masih tertinggal dan banyak masalah. Guna mengurai benang kusut pendidikan, diperlukan sinergi berbagai pihak. “Kita punya banyak akademisi, sarjana, guru besar, dan para ahli, kenapa kita tidak bisa memobilisasi potensi sumber daya ini untuk menjadi sebuah gelombang besar dalam merancang bangun Indonesia kedepan agar menjadi lebih baik.”
Semua negara maju, kata Haedar, dimulai dari rancang bangun dan peta jalan pendidikan. Indonesia merupakan negara besar, potensi SDM dan SDA besar, demokrasi cukup bagus, tetapi perlu pembenahan dalam banyak aspek. Haedar menekankan pentingnya memobilisasi potensi itu supaya energi kita tidak terbuang untuk hal yang tidak produktif.
Haedar berharap kekuatan Islam modernis dan tradisionalis untuk saling bersinergi dalam pendidikan dan meningkatkan mutu umat Islam. “Dulu di masa awal formasi negara, yang siap berdialog dengan kalangan nasionalis adalah kelompok modernis. Ini karena proses pendidikan.” Pada era 1980-an, NU memacu pendidikan dengan sangat luar biasa, yang dimotori oleh Gus Dur. Hasilnya, NU mengalami lompatan luar biasa. “Sekarang, sudah tidak bisa dibedakan antara modernis dan tradisionalis.”
Beberapa data peringkat pendidikan nasional menunjukkan bahwa sekolah-sekolah milik lembaga Islam masih di level menengah. “Umat Islam seperti genangan air yang belum bisa menjadi gelombang besar.” Perlu ada ukhuwah yang menggugah. “Dalam konteks ukhuwah, kita belum punya formula untuk mencari titik temu untuk merancang bangun masa depan Indonesia yang bukan sporadis.”
Haedar melihat bahwa salah satu permasalahan yang menguras energi umat Islam adalah isu politik. Menyikapi isu-isu politik, terjadi tarik-menarik tak tentu arah. “Politik itu tiga kuncinya: moderat, adaptif, negosiasi.” Orientasi keagamaan yang berdampak pada bidang lain seperti politik, kata Haedar, semestinya sampai pada titik temu Islam wasathiyah atau Islam moderat. “Moderasi Islam belum menjadi titik temu untuk kita dialogkan,” ujarnya.
“Umat Islam perlu memaksimalkan ranah pendidikan dan ekonomi supaya naik kelas. Selama ini di ekonomi masih berjalan sporadis. Di isu-isu ekonomi syariah, masih dogmatis-apologis.” Kita bicara ekonomi syariah, tetapi semakin puritan, tajrid, serba tidak boleh. Bagaimana kita mendongkrak ekonomi umat? Haedar mengajak untuk belajar dari peradaban Cina. Haedar mengutip Sun Tzu, “Haluslah agar kau tidak terlihat. Misteriuslah agar kau tak teraba. Maka, kau akan menguasai nasib lawanmu.”
Tanggapan-Tanggapan
Ravik Karsidi, Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret, menyatakan bahwa daya saing pendidikan tergantung pada penyesuaian dengan konteks sosiologis. Supaya tidak terjadi diskontinuitas, maka pendidikan Indonesia perlu menyesuaikan kondisi perekonomian Indonesia yang berubah, perubahan sosio-kultural dan demografi Indonesia, gambaran pasar kerja Indonesia yang berbeda, visi Indonesia 2045.
Staf Ahli Menteri Agama Prof Nurhayati Djamas menyebut pentingnya pembentukan karakter dalam proses pendidikan. Menurutnya, pendidikan punya relasi dengan kebutuhan manusia akan kebermaknaan hidup. Pendidikan harus berdampak pada pengembangan potensi akal dan hati nurani, socio emotional awareness, physical biological wellness. “Problem utama kita adalah problem nurani bangsa yang kering,” ujarnya.
Mantan Rektor UNY Rochmat Wahab menyatakan bahwa umat Islam Indonesia sangat bertumpu pada Muhammadiyah dan NU. “Keduanya kita dorong selalu mengembangkan inklusivisme.” Hanya dengan itu, umat Islam dapat terus berkonstribusi bagi bangsa. Umat Islam telah berperan sejak era pra-kemerdekaan, masa kemerdekaan, mengisi kemerdekaan atau era pembangunan, dan era-era yang akan datang.
Senator DPD RI Sylviana Murni menekankan bahwa pendidikan harus bisa menyiapkan sumber daya pendidikan yang siap menyesuaikan diri dengan perubahan. Ia melihat beberapa permasalahan pendidikan, seperti: disintegrasi pengetahuan, orientasi materialistik, individualistik, perasaan terasing di tengah keramaian. “Di era globalisasi dan industrialisasi, peran pendidikan tidak hanya pada penyiapan sumber daya manusia yang siap pakai, karena perubahan dalam dunia kerja sangat cepat berubah.” Oleh karena itu, pendidikan tidak cukup memberikan bekal pengetahuan, tetapi bekal menjalani hidup di era yang berubah.
Anggota DPR RI, Zainuddin Maliki menjabarkan tentang pengalamannya di legislatif. Ia membeberkan bahwa polemik peta jalan pendidikan yang diusulkan Kemendikbud tidak hanya terkait absennya narasi agama dalam tujuan pendidikan, tetapi juga kaburnya arah darimana dan mau ke mana pendidikan. “Landasan filosofis, sosiologi, dan yuridis belum ada. Yang diserahkan ke Komisi X hanya berbentuk power point.” Menurutnya, pendidikan sebagaimana rumusan Kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik, harus ada dimensi liberasi, humanisasi, dan transendensi.
Guru Besar Universitas Mulawarman, Zaenab Hanim mengingatkan bahwa peta jalan pendidikan semestinya sesuai dengan UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan tidak hanya membuat manusia pintar, tetapi juga mengembangkan nilai iman dan takwa. Revitalisasi kurikulum perlu mengembangkan pada aspek ruh, sehingga punya pola pikir dan pola sikap yang seimbang antara dunia dan akhirat. Guru perlu ditingkatkan kualitasnya dalam aspek profesionalitas dan penanaman kepribadian.
Guru Besar UPI Bandung, Bunyamin Maftuh menyebut bahwa pendidikan Islam perlu juga membenahi aspek mentalitas inferior di kalangan umat Islam. Anak didik perlu disiapkan untuk merealisasikan cita-cita umat terbaik, bukan umat yang kalah. “Mendidik anak-anak Islam yang punya harga diri, punya semangat, bahwa mereka tidak boleh kalah dari anak-anak agama lain,” ulasnya.
Guru Besar UIN Raden Fatah Palembang, Muhammad Sirozi menyebut bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan pra-sekolah dan Pendidikan Tinggi belum mencapai 40 persen. “Umat Islam perlu bahu membahu memperluas akses pendidikan.” Data lainnya bahwa angkatan kerja Indonesia 60 persen masih SMA ke bawah. Mutu guru kita tingkat kompetensinya hanya 50/100. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu bersinergi mengembangkan lembaga pendidikan yang berkualitas. (ribas)