Nabi Muhammad SAW (20), Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

Isra M'iraj Isra Mikraj

Foto Dok Ilustrasi

Oleh : Yunahar Ilyas

Itulah salah satu keistimewaan Nabi Muhammad SAW, beliau tidak pernah mendoakan agar orang-orang yang menentangnya diazab oleh Allah SWT. Nabi menyadari bahwa mereka melempar dan mengusir Nabi karena mereka tidak mengetahui kebenaran yang dibawa oleh Nabi. Oleh sebab itu Nabi menolak tawaran dua Malaikat yang sudah diperintah oleh Allah SWT untuk menimpakan  dua gunung kepada penduduk Thaif sehingga mereka musnah semua. Nabi berharap pada suatu waktu nanti hati mereka terbuka dan mau menerima dakwah Nabi. Kalau generasi sekarang tidak mau menerima, paling kurang generasi selanjutnya dapat menerima. Tapi kalau mereka dimusnahkan semua, tentu tidak ada generasi berikutnya lagi yang mengikuti Nabi.

Nabi dan Zaid terus berjalan menuju Makkah. Sampai di Lembah Nakhlah Nabi menetap di sana beberapa hari. Tanah lembah itu subur dan ada sumber air. Sewaktu Nabi berada di Nakhlah ini Allah SWT mengutus sekelompok jin yang mendengarkan Nabi membaca Al-Qur’an. Allah berfirman:

وَإِذۡ صَرَفۡنَآ إِلَيۡكَ نَفَرٗا مِّنَ ٱلۡجِنِّ يَسۡتَمِعُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوٓاْ أَنصِتُواْۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوۡاْ إِلَىٰ قَوۡمِهِم مُّنذِرِينَ (29) قَالُواْ يَٰقَوۡمَنَآ إِنَّا سَمِعۡنَا كِتَٰبًا أُنزِلَ مِنۢ بَعۡدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ يَهۡدِيٓ إِلَى ٱلۡحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٖ مُّسۡتَقِيم  30) )  يَٰقَوۡمَنَآ أَجِيبُواْ دَاعِيَ ٱللَّهِ وَءَامِنُواْ بِهِۦ يَغۡفِرۡ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمۡ وَيُجِرۡكُم مِّنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ  (31)

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.

Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.

Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (Q.S.Al-Ahqaf 46:29-31)

Nabi sendiri tidak mengetahui kehadiran sekelompok jin tersebut kalau tidak diberitahu oleh Allah SWT. Allah berfirman:

قُلۡ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ ٱسۡتَمَعَ نَفَرٞ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَقَالُوٓاْ إِنَّا سَمِعۡنَا قُرۡءَانًا عَجَبٗا  (1)يَهۡدِيٓ إِلَى ٱلرُّشۡدِ فَئا‍مَنَّا بِهِۦ وَلَن نُّشۡرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدٗا  (2)

Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami.” (Q.S.Al-Jin  72:1-2)

Dari Nakhlah, Rasulullah SAW meneruskan perjalanan menuju Makkah. Sebenarnya Zaid ibn Haritsah yang menemani Nabi khawatir kembali ke Makkah. “Bagaimana mungkin kita kembali ke Makkah, padahal mereka mngusir kita.”kata Zaid menyampaikan kekhawatirannya. Nabi menenangkan Zaid, “Hai Zaid, Allah yang memberi kelapangan dan jalan keluar. Sungguh Allah akan memenangkan agama-Nya dan mendukung Nabi-Nya.” (M. Qurash Shihab, Membaca Siran Nabi Muuhamad SAW dalam Sorotan Al-QUr’an dan Hadits-hadits Shahih, hal. 439)

Setelah mendekati Makkah beliau berhenti di Hira’ lalu mengutus seseorang dari Bani Khuza’ah menemui Akhnas ibn Syariq untuk minta jaminan keamanan. Akhnas menolak dengan alasan, “Aku sekutunya Quraisy, tidak boleh memberi jaminan keamanan.” Tidak berhasil mendapat jaminan keamanan dari Akhnas, Nabi mengirim utusan menemui Suhail ibn Amr. Suhail pun menolak dengan alasan Bani Amr tidak boleh memberi perlindungan kepada Bani Ka’ab. Selanjutnya Nabi mengutus seseorang menemui Muth’im ibn Adi untuk tujuan serupa. Kali ini berhasil, Muth’im bersedia memberikan jaminan keamanan kepada Nabi. Muth’im menugaskan beberapa orang anggota sukunya untuk mempersenjatai diri dan bersiap-siap di setiap sudut Ka’bah untuk memberi jaminan kepada Muhammad. Dengan jaminan dari Muth’im berjalanlah Rasulullah didampingi Zaid memasuki kota Makkah langsung menuju Masjidil Haram. Sementara itu Muth’im mengumumkan kepada kaum Quraisy bahwa dia telah memberikan jaminan kepada Muhammad. Muth’im ibn Adi sendiri bersama anak-anaknya dengan membawa senjata menggawal Nabi. Abu Jahal bertanya kepada Muth’im:”Apakah engkau sekadar memberi perlindungan atau menjadi pengikut Islam?” Muth’im menjawab, “Aku hanya memberi perlindungan.” Abu Jahal berkata;’ Kami akan melindungi orang yang kau lindungi”

Di bawah perlindungan Muth’im, Nabi menuju sudut Ka’bah mencium hajar aswad kemudian thawaf dan shalat dua raka’at. Setelah itu Nabi pulang ke rumah beliau. Rasulullah SAW sangat menghargai jasa baik Muth’im ibn Adi ini. Suatu kali di hadapan tawanan perang Badar Nabi bersabda:”Andai Muth’im ibn Adi masih hidup dan memintaku mengasihi para tawanan ini, akan kuserahkan nasib mereka kepadanya.” (Ar-Rahiq al-Makhtum, hal. 163-164)

Tidak lama setelah kembali dari Thaif, bulan Zulqaidah musim haji sudah dekat. Para peziarah dari berbagai penjuru mulai berdatangan ke Makkah. Seperti yang dilakukan Rasulullah sejak tahun keempat, beliau memanfaatkan kesempatan tersebut sebaik-baiknya untuk menyampaikan ajaran Islam dan mengajak mereka memeluk Islam. Umumnya mereka menolak ajakan Nabi.

Tidak hanya berdakwah kepada para peziarah yang datang ke Makkah, Nabi juga mendatangi kabilah-kabilah ke rumah mereka. Nabi mendatangi Bani Kindah, Banu Kalb,Banu Hanifah dan Banu Amir ibn Sya’syaah. Tetapi tidak ada yang mau mendengarkan palagi menerimanya. Banu Hanifah bahkan menolak dengan cara yang buruk sekali.   Sedangkan Banu Amir menunjukkan ambisinya, apakah setelah Muhammad mendapatkan kemenangan Banu Amir akan mendapatkan kekuasaan. Tatkala dijawab oleh Nabi bahwa masalah itu berada di tangan Allah, Dia lah yang menentukan siapa yang akan mendapatkan kekuasaan maka Bani Amir langsung membuang muka dan manolak tawaran Nabi. (Sejarah Hidup Muhammad, hal. 150)

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

Pada suatu malam Nabi Muhammad SAW berada di rumah saudara sepupunya,  Hindun puteri Abu Thalib yang mendapat nama panggilan Ummu Hani’. Pada malam itu Nabi diperjalankan Allah SWT dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha sebagaimana yang disebutkan dalam Surat Al-Isra’. Allah SWT berfirman:

 

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ (1)

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al-Isra’ 17: 1)

Dari Masjidil Aqsha kemudian Nabi diperjalankan ke Shidratul Muntaha. Allah SWT berfirman:

عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ ذُو مِرَّةٖ فَٱسۡتَوَىٰ وَهُوَ بِٱلۡأُفُقِ ٱلۡأَعۡلَىٰ ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ فَكَانَ قَابَ قَوۡسَيۡنِ أَوۡ أَدۡنَىٰ فَأَوۡحَىٰٓ إِلَىٰ عَبۡدِهِۦ مَآ أَوۡحَىٰ مَا كَذَبَ ٱلۡفُؤَادُ مَا رَأَىٰٓ أَفَتُمَٰرُونَهُۥ عَلَىٰ مَا يَرَىٰ وَلَقَدۡ رَءَاهُ نَزۡلَةً أُخۡرَىٰ عِندَ سِدۡرَةِ ٱلۡمُنتَهَىٰ عِندَهَا جَنَّةُ ٱلۡمَأۡوَىٰٓ إِذۡ يَغۡشَى ٱلسِّدۡرَةَ مَا يَغۡشَىٰ مَا زَاغَ ٱلۡبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ لَقَدۡ رَأَىٰ مِنۡ ءَايَٰتِ رَبِّهِ ٱلۡكُبۡرَىٰٓ

Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.  Sedang dia berada di ufuk yang tinggi.  Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.  Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya..  Maka apakah kaum (musyrik Makkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?  Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,.  (yaitu) di Sidratil Muntaha.  Di dekatnya ada surga tempat tinggal,.  (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.  Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (Q.S. An-Najm 53: 5-18) (bersambung)

Sumber : Majalah SM Edisi 07 Tahun 2019

Exit mobile version