Waktu Subuh yang Diperdebatkan

Waktu Subuh yang Diperdebatkan

Judul               : Premature Dawn, The Global Twilight Pattern

Penulis             : Tono Saksono dan Syamsul Anwar

Penerbit           : Suara Muhammadiyah dan ISRN Uhamka

Cetakan           : 1, 2021

Tebal, ukuran  : xxiv + 250 hlm, 18,2 x 25,7 cm

ISBN               : 978-602-6268-80-8

 

Salat wajib bagi umat Islam disebut juga as-salawat al-maktubah. Al-Qur’an menekankan bahwa masing-masing salat telah ditentukan waktunya, seperti dinyatakan QS 4: 103, QS 11: 114, QS 17: 78, QS 20: 130. Demikian juga dengan informasi dari Hadis, seperti, “Waktu Zuhur adalah ketika matahari tergelincir dan (berlangsung hingga) bayangan orang sama dengan badannya selama belum masuk waktu Asar. Waktu Asar berlangsung sampai matahari belum menguning. Waktu Magrib berlangsung sampai hilangnya syafak (mega). Waktu Isya berlangsung hingga pertengahan malam. Waktu Subuh adalah dari terbit fajar sampai sebelum matahari terbit…“ (HR Muslim).

Ketentuan waktu salat terkait erat dengan posisi matahari. Pedoman Hisab Muhammadiyah (2008) menyatakan bahwa dalam penentuan awal waktu salat, data astronomis (zij) terpenting adalah posisi matahari, terutama tinggi (h), atau jarak zenit (z), z = 90º – h. “Fenomena fajar (morning twilight), matahari terbit (sunrise), matahari melintasi meridian (culmination), matahari terbenam (sunset), dan akhir senja (evening twilight) berkaitan dengan jarak zenit matahari.”

Penentuan waktu Zuhur, Asar, dan Magrib dapat ditentukan dengan mudah karena tidak terkait dengan sun depression angle. Sementara waktu Subuh dan Isya terjadi ketika matahari di bawah bumi. Waktu Isya dimulai sejak hilang mega merah sampai masuknya waktu Subuh, dan waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari. Fajar sadik dalam falak ilmi difahami sebagai awal fajar astronomi. Menurut Pedoman Hisab Muhammadiyah, cahaya ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada 18º di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari = 108º).

Hasil Munas Tarjih 2020 yang didasarkan pada kajian Islamic Science Research Network (ISRN) Uhamka, Pusat Astronomi Universitas Ahmad Dahlan (Pastron UAD), dan Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (OIF UMSU), menyimpulkan bahwa ketentuan Kementerian Agama tentang ketinggian matahari pada waktu Subuh di angka -20 derajat perlu dikoreksi. Majelis Tarjih menilai -18 derajat lebih akurat.

Buku ini menampilkan temuan data waktu fajar dengan menggunakan alat pendeteksi kegelapan langit atau Sky Quality Meter (SQM). Alat milik ISRN Uhamka dibawah pimpinan Tono Saksono ini telah mengoleksi hampir ribuan hari data Subuh di dunia meliputi empat benua, dari Indonesia, Malaysia, Mesir, Turki, Saudi Arabia, Amerika Serikat, hingga Inggris. Di Indonesia, ISRN memiliki 353 hari data Subuh dan 161 data Isya.

Buku ini memberi argumentasi bahwa sun depression angle (dip/matahari di bawah ufuk) -20 derajat yang digunakan Kementerian Agama dinilai terlalu awal untuk Subuh di Indonesia yang dilewati garis katulistiwa. Twilight di wilayah Equator (garis lintang 0 derajat) seperti Indonesia, seharusnya lebih pendek daripada di lintang tinggi seperti Timur Tengah, Eropa, dan Amerika. Sebagai perbandingan, Islamic Society of Nort America menggunakan angka -17,5; Muslim World League -18; Umm al-Qurra University -18,5; Egyptian General Authority of Survey -19,5; University of Islamic Science Karachi -18; Malaysia -18, dan Indonesia -20 (hlm 7). Demikian juga dengan waktu Isya yang dianggap masih acak.

Pada akhirnya, temuan buku ini sangat diperlukan untuk data awal bagi penelitian lanjutan tentang koreksi waktu Subuh yang membutuhkan kolaborasi dengan berbagai otoritas terkait. Temuan ini tidak untuk menyalah-nyalahkan kriteria waktu Subuh dan Isya selama ini. (Muhammad Ridha Basri)

Exit mobile version