Tandatangani MoU BPJS Kesehatan, Haedar Nashir : Muhammadiyah Gerakkan Teologi Welas Asih

Tandatangani MoU BPJS Kesehatan, Haedar Nashir : Muhammadiyah Gerakkan Teologi Welas Asih

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan efektif dan efisien, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan melakukan kerjasama kemitraan kepada Muhammadiyah, dalam hal ini Majelis Pelayanan Kesehatan Umum (MPKU). Penandatanganan kerjasama kemitraan ini dilangsungkan di Kantor PP Muhammadiyah Cikditiro, hari ini (Jumat, 26/03).

Ali Ghufron Mukti Dirut baru BPJS Kesehatan, dalam sambutannya mengaku senang bisa bermitra dengan Muhammadiyah. Sebab menurutnya, Muhammadiyah sangat bagus dalam memberikan pelayanan kesehatan. Ratusan rumah sakit sudah didirikan, itu artinya Muhammadiyah memiliki peran penting dan besar bagi terwujudnya masyarakat yang sehat.

Sebagai contoh, Ali menyebutkan, salah satunya pelayanan yang diterapkan oleh Rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. “Walau banyak orang yang ingin mengakses pelayanan kesehatan lewat BPJS, akan tetapi tidak terlihat antrian panjang,” sebutnya.

Sementara, membuka sambutannya, Haedar Nashir Ketum PP Muhammadiyah mengapresiasi atas inisiasi BPJS Kesehatan atas jalinan kemitraan tersebut. “BPJS Kesehatan sekarang berada pada orang yang tepat, tinggal kemudian diperlukan paradigma baru. Salah satunya paradigma kemitraan. Jadi antara BPJS dan Rumah sakit Muhammadiyah itu pada jalinan kemitraan bukan bawahan, yang berkomitmen untuk melayani sepenuh hati,” ucapnya.

Ketika Indonesia merdeka, lanjut Haedar, para tokoh di negeri ini memprioritaskan rakyat untuk memperoleh hak-haknya. Karena sesungguhnya dari presiden sampai ke bawah hakekatnya adalah pelayan rakyat, maka upaya untuk memberikan akses kepada rakyat untuk bisa menikmati hak-haknya adalah upaya untuk mengembalikan fungsi atau peran dari pelayan rakyat tersebut.

Karenanya, sambungnya, tugas untuk memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan adalah perintah konstitusi yang diwariskan oleh para lelulur untuk kemudian dilanjutkan, diteruskan, dan dikembangkan. Sehingga pelayanan hak-hak rakyat tersebut berjalan semakin efektif dan efisien.

Muhammadiyah, Haedar menjelaskan, meskipun bukan bagian dari pemerintah, tettapi memiliki semangat yang sama, yaitu menjadi khadim al-ummah (pelayan rakyat). “Bedanya kalo dari pemerintah itu ada otoritas dan anggaran negara, kalau kami bukan otoritas tapi amanah suci atau peran profetik (kenabian), yang hubungan dengan masyarakat lebih di dasari dengan hubungan batin. Disinilah saling melengkapi antara negara dengan Muhammadiyah,” jelasnya.

Tahun 1923, Haedar menceritakan, Muhammadiyah sudah mendirikan 3 lembaga. Yaitu rumah sakit, waktu itu berawal dari poliklinik atau balai pengobatan, yang hingga saat ini sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlahnya lebih kurang 600-an, termasuk klinik apung, pelayanan kesehatan Muhammadiyah untuk di wilayah perairan indonesia Timur.

“Saat itu, untuk mengenalkan masyarakat yang masih dalam kondisi tertinggal kepada rumah sakit bukanlah perkara mudah. Sebab mereka sudah terbiasa ke dukun dan pengobatan konvensional,” terangnya.

Selain rumah sakit, Muhammadiyah Juga mendirikan rumah miskin dan rumah yatim yang kemudian menjadi panti asuhan.

Tahun 1924, Haedar kembali bercerita, dr Soetomo orang Muhammadiyah yang juga tokoh Boedi Oetomo, mempelopori berdirinya rumah sakit pku Muhammadiyah di Surabaya. ”Saat itu ia (dr Soetomo) mengatakan, rumah sakit atau poliklinik cerminan dari Al-Maun yang menggambardan dan menandakan sebagai teologi welas asih. Yaitu nilai-nilai ketuhanan yang menggerakkan hati orang beragama untuk selalu mencintai sesamanya terutama yang miskin yatim. Dan ini kata beliau, berlawanan dengan teologi darwinisme. Siapa yang kuat dia yang menang, siapa kuat ia akan makmur, siapa kuat ia akan memperoleh segalannya,” terangnya.

“Muhammadiyah ingin menggerakkan teologi welas asih dan menyingkirkan teologi darwinisme,” tegasnya.

Setelah Indonesia merdeka, tugas konstitusi ini diambil oleh negara. Negara dengan kekuasaannya sudah semestinya hadir dalam hal membela rakyat miskin dan kaum lemah. Jika negara tidak hadir dalam hal ini, berarti negara sudah mengkhianati konstitusi.

“Semangat ini yang harus digerakan sebagai paradigma baru untuk keberpihakkan kepada rakyat miskin dan kaum lemah,” pungkas Ketum PP Muhammadiyah tersebut. (gsh).

Exit mobile version