Ziarah

Ziarah kubur kerap dilakukan umat Islam Indonesia ketika menyambut Ramadhan. Tradisi ziarah dalam masyarakat Jawa disebut juga ruwahan, nyekar, nyadran. Ruwahan diadakan pada pertengahan bulan Ruwah, bulan kedelapan kalender Jawa, yang diapit bulan Rejeb dan Poso. Dalam kalender Hijriah disebut bulan Sya’ban.

Kata ruwahan terambil dari kata arwah, jamak dari ruh. Dalam tradisi ruwahan, seluruh anggota keluarga bersama-sama mengunjungi makam leluhur mereka yang telah wafat. Mereka membersihkan makam, berdoa dan makan bersama. Penelitian etnografi menemukan bahwa ziarah dilatari beragam motif, termasuk motif wisata rohani, (Kementerian Agama RI, Ensiklopedi Islam Nusantara Edisi Budaya, 2018).

Ziarah berasal dari bahasa Arab, artinya mengunjungi. Ziarah dalam masyarakat Indonesia adalah mengunjungi makam atau kuburan seseorang yang memiliki hubungan dekat atau relasi khusus. Di masa awal, ziarah pernah dilarang, guna menguatkan akidah dan supaya tidak mewarisi kemusyrikan jahiliyah seraya meratap sampai merobek baju.

Majelis Tarjih Muhammadiyah membolehkan ziarah dengan mengetengahkan hadis, “Diriwayatkan dari Buraidah ia berkata, Rasulullah saw bersabda; Dahulu aku pernah melarang ziarah kubur, maka telah diizinkan bagi Muhammad berziarah kubur ibundanya. Maka berziarahlah kubur, sebab hal itu mengingatkan akhirat.” [HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim]

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pernah menyatakan bahwa ziarah kubur itu sunnah Nabi, untuk mendo’akan, mengingat mati dan akhirat. “Meski sunnah, tidak perlu terlalu sering berziarah kubur. Banyak sunnah Nabi lainnya yang lebih besar yang harus dikerjakan untuk memajukan umat dan bangsa,” tuturnya.

Dalam berziarah, dilarang mengeramatkan, meminta-minta, dan mengkultuskan orang di dalam kubur maupun mengeramatkan kuburannya, sebab perbuatan tersebut dapat menjurus ke tindakan syirik. Menjadikan kuburan sebagai wasilah merupakan tindakan terlarang, sebagaimana dinyatakan Qs Yunus ayat 106 dan Az-Zumar ayat 3.

Amalan yang mampu melembutkan hati ini harus dilakukan sesuai tuntunan dan etika yang diajarkan Nabi. Di antaranya dengan meluruskan niat, melepas alas kaki, tidak duduk atau menduduki kuburan, berdoa kepada Allah, dan mengucapkan salam kepada ahlu kubur.

“Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata; “Rasulullah saw pada tiap malam gilirannya, pergi ke Baqi’ di akhir malam, dengan ucapannya: Assalamu’alaikum dara qaumin mukminin wa atakum ma tu‘aduna ghadan muajjalun, wa inna insya Allahu bikum lahiqun. Allahummaghfir li ahli Baqi’il Gharqad. (Semoga keselamatan bagi kamu sekalian wahai negeri kaum yang beriman dan akan datang apa yang dijanjikan kepada kamu sekalian dengan segera. Dan sesungguhnya kami, dengan izin Allah, akan menyusul kamu sekalian. Yaa Allah ampunilah penghuni Baqi’ al-Gharqad (nama kuburan).” [HR. Muslim]

Tema ziarah kubur pernah dibahas dalam Suara Muhammadiyah Nomor 10 Tahun 2013. Dibahas pula dalam HPT Kitab Jenazah bab Ziarah Qubur (cet. III, hlm 235). Terkait tata cara berdoa di kuburan dan lain sebagainya diulas dalam Tanya Jawab Agama Jilid 1 (hlm 210); Tanya Jawab Agama Jilid 2 (hlm 171); Tanya Jawab Agama Jilid 3 (hlm 195); dan Fatwa Tarjih nomor 22 tahun 2005 tentang Ziarah Kubur dan bacaan yasin. (Muhammad Ridha Basri)

Exit mobile version