YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Awal Maret 2021, Pemerintah mengumumkan kebijakan impor satu juta ton beras melalui Bulog. Dari jumlah itu, 500.000 ton diperuntukkan bagi cadangan beras pemerintah dan sisanya untuk kebutuhan Bulog. Guna menelaah persoalan ini, Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah mengadakan Diskusi Publik bertema “Menegakkan Kedaulatan Pangan; Tantangan dan Solusi” (3/4/2021).
Siti Noordjannah Djohantini, Ketua Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan & Perlindungan Anak PP Muhammadiyah menyatakan bahwa kerja-kerja yang dilakukan MPM mencerminkan konstribusi Muhammadiyah yang dilandasi oleh kecintaan dan kesyukuran atas negeri ini. Muhammadiyah terus berupaya membangun kesadaran masyarakat untuk memperbaiki nasibnya.
Noordjannah yang juga Ketua Umum PP Aisyiyah menyatakan bahwa permasalahan pangan terkait langsung dengan keberadaan perempuan. “Seberapa jauh keterlibatan perempuan terhadap pangan?” Ia mengingatkan bahwa jangan sampai pangan dikuasai penuh oleh korporasi dan rakyat justru terpinggirkan.
“Keberpihakan pada kaum dhuafa dan mustadh’afin ini menjadi ciri pemberdayaan MPM.” Hal ini merupakan keberlanjutan misi yang dijalankan KH Ahmad Dahlan. Noordjannah menyebut slogan yang diperkenalkan oleh almarhum Said Tuhuleley, “Selama rakyat masih menderita, tidak ada kata istirahat.” Spirit inilah yang dibawa oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah.
Indonesia yang dikenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, kata Noordjannah, kadang hanya manis di ucapan. Supaya slogan itu membumi, diperlukan keseriusan pengambil kebijakan untuk menjalankan amanahnya sesuai amanat konstitusi. “Bicara kedaulatan pangan itu bicara konstitusi atau tanggung jawab negara,” ujarnya.
Noordjannah mengutip UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam UUD 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia berkualitas. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. UU tersebut juga menyatakan Indonesia semestinya memenuhi kebutuhan pangan secara berdaulat dan mandiri.
Rektor UMY yang juga Konsultan MPM PP Muhammadiyah, Gunawan Budiyanto menyatakan bahwa ketahanan pangan berarti kemampuan memenuhi kebutuhan pokok, sementara kedaulatan pangan itu berarti bagaimana memenuhi kebutuhan pangan dari sumber dalam negeri. Menurutnya, bicara kedaulatan pangan perlu juga bicara kesejahteraan petani.
Prof Catur Sugiyanto, Ketua Program Studi Magister Sains dan Doktor Ilmu Ekonomi UGM, menyebut bahwa kebutuhan beras per tahun 30 juta ton atau 2,5 juta ton per bulan. Yang tersedia di gudang Bulog itu 500.000-800.000 ton. Batas aman semestinya Bulog punya persediaan 2 juta ton. Oleh karena itu, ada mandat untuk impor beras. “Tetapi mandat itu turun di masa panen, sehingga agak riskan.” Di masa panen, supply beras dari petani naik dan nilai tukar beras petani turun.
Khudori selaku Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian menyatakan bahwa setelah UU Cipta Kerja diundangkan, “Ke depan akan menyulitkan kita untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan.” Sampai saat ini, Indonesia punya ketergantungan pada pangan impor, termasuk kedelai dan gula. Target swasemba pangan masih belum tercapai.
Ketua MPM PP Muhammadiyah, Muhammad Nurul Yamin berharap diskusi ini memberi konstribusi bagi upaya menegakkan kedaulatan pangan di negeri agraris yang subur ini. Muhammadiyah berkomitmen dan menaruh perhatian besar pada upaya penegakan kedaulatan pangan. (ribas)