YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pancasila yang disebut Bung Karno sebagai philosofische grondslag atau pandangan dunia, merupakan suatu konsep nilai yang moderat. Oleh karena itu, pembudayaan nilai-nilai Pancasila semestinya dilakukan secara moderat. Hal itu dikatakan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam “Sarasehan Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Untuk Kaum Milenial di Kalangan Perguruan Tinggi Muhammadiyah” kerjasama Program Studi Doktor Politik Islam dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pada 5 April 2021.
Haedar Nashir menyebut bahwa moderasi tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi hasilnya terbukti jitu. Haedar mengingatkan bahwa Pancasila merupakan konsep ideologi moderat, yang tidak boleh ditarik menjadi sesuatu yang radikal. “Pergumulan menemukan Pancasila di BPUPKI itu luar biasa.” Selain prosesnya yang moderat, asal DNA Indonesia juga dinilai moderat. “Bangsa ini DNA-nya itu moderat. Bahkan, Islam dalam proses melembaga menjadi agama mayoritas itu juga terjadi dalam proses moderat,” katanya.
Menurutnya, agenda pembudayaan nilai-nilai Pancasila ini memerlukan ikhtiar yang berkelanjutan dan sungguh-sungguh. “Problem klasik kita ini kan tidak bisa memperpendek gap atau kesenjangan antara norma dan realitas, ketika Pancasila kita konfirmasi dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.” Guna mengurangi kesenjangan itu, diperlukan proses pembumian dengan strategi yang tepat.
Salah satu poin penting dalam pembumian nilai adalah keteladanan. Perbuatan nyata lebih sahih daripada ucapan dan teori. “Ketika bicara Pancasila semestinya ada qudwah, uswah, keteladanan,” tutur Haedar. Jika para generasi yang lebih tua tidak menjadi teladan dalam berbangsa dan bernegara, maka generasi milenial juga tidak punya dorongan untuk membumikan Pancasila.
“Pelembagaan Pancasila itu harus dimulai pada institusi negara dan para elite negara. Contoh pembumian Pancasila semestinya ada pada lembaga negara.” Jika para elite di semua level lembaga negara mampu menunjukkan cara hidup yang sesuai nilai-nilai Pancasila, maka masyarakat atau milenial juga akan mengikuti.
Haedar berharap BPIP mampu mewujudkan visi luhur itu. BPIP menjadi fasilitator dalam menjadikan Pancasila dari sila ketuhanan sampai sila keadilan menjadi hidup di tataran elite dan warga bangsa. BPIP perlu menjadi penyaring atas kebijakan-kebijakan negara agar sejalan dengan nilai-nilai luhur.
“Dalam membumikan Pancasila harus dengan hikmat kebijaksanaan,” ujarnya. Nilai-nilai Pancasila diharapkan membangun alam pikiran supaya akil baliq dalam menghadapi kehidupan. Nilai-nilai itu diharap menjadi pandangan hidup yang melakat dan jujur. “Semuanya perlu jujur untuk berpancasila.”
Pancasila semestinya menjadi jiwa dalam keseluruhan hidup, termasuk dalam sistem ekonomi. Buya Syafii pernah menyatakan bahwa sila kelima Pancasila telah lama yatim piatu karena sistem ekonomi yang tidak berpihak pada kaum lemah. “Bung Hatta juga pernah menggugat sistem ekonomi Indonesia yang menjadi sangat kapitalistik.”
Dalam rangka itu, pembudayaan Pancasila bagi generasi milenial membutuhkan keteladanan. “Nilai-nilai budaya, agama, Pancasila semestinya menjadi nilai-nilai yang dapat mereka serap secara utuh sebagai sesuatu yang meaningfull,” ulasnya. Perlu digali bagaimana milenial memberi makna atas kehidupan kebangsaan kita.
Haedar menyebut bahwa Pancasila perlu dijelaskan dalam narasi yang aktual pada milenial. “Mereka cinta perubahan dan anti kemapanan, tetapi tetap membutuhkan pegangan.” Tugas orang tua itu menjadi pemandu tanpa harus berpura-pura atau dibuat-buat berperilaku seperti mereka. “Tugas orang tua adalah berbagi dengan mereka tentang dunia, tentang kehidupan, tentang Pancasila, tentang berbangsa dan bernegara,” kata Haedar.
Kepala BPIP, Prof Yudian Wahyudi menyatakan bahwa pembudayaan nilai-nilai Pancasila merupakan suatu proses yang terus berlangsung dan dilandasi oleh kesadaran sejarah. “Kesadaran sejarah ini merupakan inti dinamika pribadi yang menjadi sebuah bangsa,” ujarnya. Yudian juga menyatakan bahwa Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi yang paling awal menerima Pancasila. Muhammadiyah menyebutnya darul ahdi wa syahadah, NU menyebutnya darul mitsaq. Keduanya mengakui negara bangsa atas dasar kesepakatan bersama.
Anggota BPIP, Benny Sosetyo menilai bahwa generasi muda telah banyak yang membumikan nilai-nilai Pancasila di berbagai pelosok. “Generasi milenial itu sebenarnya jiwanya Pancasila, karena pada generasi milenial itu yang paling penting adalah membangun jaringan.” Terutama dilakukan melalui media sosial. “Generasi milenial punya kemampuan mengkapitalisasi ide dan gagasan, dan menjadi kenyataan,” katanya. Ia mengapresiasi anak muda Muhammadiyah di Malang misalnya mampu membuat daerah kumuh menjadi kampung warna warni yang menjadi objek wisata. “Itu habituasi Pancasila. Itulah gotong royong, sama-sama memikul beban yang sama untuk tujuan yang sama.”
Direktur Pusat Studi Pemuda Univesitas Gadjah Mada, Muhammad Najib Azca menyatakan bahwa moderasi Islam atau Islam jalan tengah menjadi sesuatu yang sangat penting di tengah situasi munculnya ekstremisme keagamaan dan ekstremisme kebangsaan. Ekstremisme Islam tidak tunggal, seperti jihadisme, salafisme, islamisme, yang masing punya konteks dan orientasi tersendiri. (ribas)