YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pengajian Ramadhan 1442 H PP Muhammadiyah tahun ini mengatkat tema “Tajdid Organisasi Muhammadiyah di Era Perubahan. Tema ini menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, tidak lain adalah sebagai sarana untuk islah ke dalam, guna melakukan perbaikan-perbaikan di lingkungan internal persyarikatan.
“Muhammadiyah ingin bermuhasabah, melakukan kajian ke dalam, terkait tajdid organisasi. Yaitu tajdid dalam pengertian mengembalikan sesuatu kepada tempatnya, menghidupkan kembali sesuatu yang mati, juga dalam pengertian memperbaiki dan membangun,” jelasnya.
“Tajdid organisasi disini terkait dengan pikiran para aktor, juga struktur organisassi juga value atau nilai-nilai organisasi, juga lingkungan dan budaya, yang berpengaruh kelangsungan organisasi,” sambungnya.
Kiai Dahlan, menurut Haedar, sebenarnya sejak awal sudah meletakkan konsep-konsep ajaran Islam seperti pemahaman al-Ashr, Al-Maun, Ali-Imran ayat 104, dalam kerangka tajdid yang baik. Pengakuan ini bukan hanya ramai di internal persyarikatan, tapi juga disampaikan oleh pakar-pakar dan tokoh-tokoh di luar persyarikatan.
Karenanya, di luar maupun di dalam, Muhammadiyah melekat identitas organisasi Islam modern yang reformis, memiliki pandangan Islam yang berkemajuan. Namun, Haedar mengingatkan, bahwa seiring dengan perjalanan waktu, tentu selalu saja ada kekurangan-kekurangn dalam diri organisasi Muhammadiyah ini. Karena dinamika dan tantangan zaman yang kian kompleks, banyak hal yang mesti dilakukan Muhammadiyah di banyak bidang, tentu ada hal-hal penting yang tercecer. Luput dari pandangan internal. “Di sinilah pentingnya muhasabah, pentingya mendengarkan kritik,” ucap Haedar.
Namun, di sisi lain, Haedar juga mempertanyakan kemampuan warga Muhammadiyah dalam menangkap pesan atau visi dan misi tajdid yang sudah digariskan oleh persyarikatan. Bisa jadi warga muhammadiyah tidak mampu menangkap pesan tajdid ini, dan sebaliknya justru menjadikan paham lain, yang sekarang kian tersuguhkan di tengah masyarakatlah yang dijadikan dasarnya.
Selanjutnya, Haedar juga membenarkan bahwa pengelolaan organisasi Muhammadiyah masih konvensional. Secara prinsip, sebenarnya sudah pada jalur yang tepat, karena sistem organisasi tetap berjalan dan tidak mengandalkan kepada seseorang tertentu, tranparan, objektif. Hanya saja, indikator pengelolaan organisasi berkemajuan tersebut perlu ditingkatkan lagi sesuai dengan kecanggihan zaman, seperti pengelolaan berbasis digital, online, yang mengarah kepada terwujudnya big data persyarikatan.
Identitas lain yang melekat pada Muhammadiyah adalah fenomena organisasi perkotaan. “Maka pertanyaannya kemudian, apakah Muhammadiyah sudah hadir dalam proses perkotaan itu,” tanya Ketum PP Muhammadiyah tersebut.
Melihat banyaknya persoalan serta tantangan zaman yang mesti segera dijawab, Haedar menyebutkan, setidaknya ada beberapa agenda tajdid organisasi era perubahan
Pertama, Rekontruksi teologis dan ideologis. Menuruitnya, Muhammadiyah secara kelembagaan dalam pikiran modern sesungguhnya ada pada urutan terdepan. Hal itu dikuatkan dengan adanya putusan tarjih di era pandemi, lahirnya fikih-fikih kontemporer. Namun demikian, Haedar juga mengatakan, bahwa Muhammadiyah juga butuh aktualisasi baru yang lebih progresif dan kekinian.
Sayangnya, Haedar mengatakan, aktualisasi yang ada justru sebagian warga Muhammadiyah ingin kembali kepada salafi, tapi konsep salafnya parsial. Di sisi lain juga tidak mampu menyeimbangkan diri dengan kemajuan dan perubahan zaman. Terjadilah kegamangan. Di sinilah diperlukannya pikiran alternatif.
Kedua, perlu merumuskan kembali fikih dakwah yang terbaru. Kita sudah memiliki konsep dakwah virtual, dakwah komunitas, tapi dalam kenyataanya para mubaligh kita merujuk kepada di luar Muhammadiyah. Lalu bagaiman konsep dan rumusan dakwah itu akan berjalan baik?” keluhnya.
Ketiga, menurutnya, Muhammadiyah sekarang dalam masa peralihan. Pendekatan-pendekatan lama yang selama ini lazim di internal organisasi perlu ditambah dengan pendekatan yang baru, sebab Muhammadiyah sudah pada jalur yang tepat, dan butuh perbaikan-perbaikan untuk lebih membesarkannya.
Dan perlu diingat, pesan Haedar, Muhammadiyah adalah pergerakan kemasyarakatan bukan perusahaan raksasa. Artinya dalam kondisi apapaun selalu mengedepankan prinsip kolektif-kolegial.
Keempat, merekontruksi amal usaha. Amal usaha harus terus melayani dan menyebar manfaat. “Kita punya agenda juga agar UMKM menjadi besar, dan yang besar lebih maju dan berkembang lagi,” terangnya.
Kelima, menghidupkan kembali gerakan jamaah. “Dasarnya sudah kita milik yaitu GJDJ, dakwah komunitas, namun implementasinya perlu kita dengarkan masukan dan kritik dari para narasumber pengajian ini nanti,” pintanya.
Keenam, memperkuat peran kebangsaan dan kenegaraan. “Dari awal hingga sekarang, pola Muhammadiyah tetap sama, tidak mengatasnakan kekuatan politik. Karenanya penting adalah upaya bagaimana agar anggota, kader, dan pimpinan melakukan usaha rekontruksi diri agar bisa memposisikan diri dalam peran kebangsaan. Kurang pemahaman, kurang membaca prinsip dan konsep organisasi, serta kuatnya tarikan situasional, tantangan tersendiri dalam memperkuat peran kebangsaan.
“Kepada seluruh anggota, kader, dan pimpinan persyarikatan, amal usaha, ortom, majelis, dan lembaga, dan seluruh struktur yang ada di persyarikatan Muhammadiyah, untuk mari kita belajar kembali, membaca kembali, dan menghayati kembali, dan menjadikan prinsip, konsep, dan pedoman Muhammadiyah sebagai rujukan dalam peran kebangsaan dan kenegaraan kita. dengan itu insya-allah kita akan tetap mampu menjaga marwah persyarikatan,” pesan Haedar Nashir. (gsh).