YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Cendekiawan Muslim, Prof M Amin Abdullah menilai bahwa Muhammadiyah perlu mengusahakan tajdid baru di abad kedua, meskipun ia tidak mengesampingkan banyak capaian positif yang telah dituai Muhammadiyah sebagaimana kesaksian pengamat seperti Robert Hefner, Greg Barton, hingga Martin van Bruinessen.
Muhammadiyah perlu segera menyadari perubahan dunia yang begitu cepat. “Muhammadiyah dalam 100 tahun itu punya tantangan luar biasa. Tahun 1998 ada reformasi, di tahun 2000-an ada badai Arab Spring (musim semi Arab), dan juga gelombang conservative turn,” tuturnya dalam Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah (17/4/2021).
Menurutnya, era disrupsi atau gegar budaya terjadi sebagai akibat dari revolusi media, Internet of Things, robotisasi. Perubahan ini membentuk dinamika kelompok Islam Indonesia, dan mempengaruhi pola keagamaan. Paling minimal melahirkan fragmentasi otoritas keagamaan.
Dunia internasional telah mulai berbenah, seperti munculnya gerakan pembaruan yang dipelopori Putra Mahkota Mohammed bin Salman di Arab Saudi. Pada 2020, Al-Azhar juga terpanggil mendirikan Markaz al-Azhar li Tajdid al-Fikr al-Islam, yang mengudang para ulama, researcher dari berbagai latar belakang untuk memperbarui pemikiran Islam.
“Al-Azhar baru sekarang menyadari bahwa pembaruan itu perlu, Muhammadiyah sudah menyerukan tajdid seratus tahun yang lalu. Sekarang Muhammadiyah perlu bertanya apa pembaruan ke depan,” ungkap Amin Abdullah, Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah 1995-2000.
“Ketika pemahaman atau penafsiran keagamaan berada di tengah pusaran perubahan sosial-ekonomi-politik-budaya-teknologi yang dahsyat ia kehilangan daya kesetimbangan (al-tawazun), fleksibilitas (cognitive flexibility) atau elastisitas dan daya lenturnya, maka ia akan akan mudah terjebak dan terseret ke dalam pusaran arus disrupsi.”
Oleh karena itu, kata Amin, perlu dibedakan antara Islam dan pemikiran atau penafsiran tentang Islam. “Pemikiran Islam itu perlu tajdid.” Menurutnya, ketidakmampuan menjernihkan dan mempertautkan antara ulum al-din, al-fikr al-islami, dan dirasah islamiyah, akan menjadi tantangan tersendiri yang berujung pada kejumudan umat Islam.
Amin Abdullah mengingatkan Muhammadiyah untuk tidak terlena dengan paham ideologinya, dan perlu terus diperkaya dengan pendekatan yang multidisiplin. Pendekatan dikotomis hanya mengantarkan pola pikir yang mengarah ke lower order of thinking skills (LOTs). Ketika tidak punya kemampuan berpikir kritis, Muhammadiyah mudah terbawa arus. “Infiltrasi-infiltrasi dari luar itu, Muhammadiyah sama sekali tidak imun,” ujarnya.
Muhammadiyah perlu menanamkan jiwa keagamaan generasi baru yang dipandu oleh nilai honesty, diligent, comprehensiveness, reasonableness, dan self restrains. Tanpa nilai-nilai itu, maka akan mudah terjebak pada sikap otoritarianisme keagamaan yang mudah menghakimi. Perubahan era disrupsi tidak bisa disikapi dengan sikap defensif-apologetik, tetapi harus dengan ilmu pengetahuan
Terakhir, Amin Abdullah mengapresiasi langkah-langkah rekonstruksi yang dilakukan di Muhammadiyah, semisal dalam kasus pemaduan visi peradaban: pendidikan dan kesejahteraan. Muhammadiyah telah melakukan berbagai kegiatan volunteerism, menolong kebencanaan alam melalui Lazismu, MDMC, MPM, dan lainnya. Tetapi di sisi lain, Muhammadiyah juga perlu memperhatikan penguatan bisnis dan ekonomi gerakan. Amin melihat bahwa upaya Suara Muhammadiyah mendirikan Logmart, SM Logistik, dan SM Corner menjadi contoh kepeloporan baru bagi gerakan kemandirian ekonomi berjamaah. (ribas)