JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Judul tulisan ini mungkin bisa menjadi misleading jika disandingkan dengan judul novel karya Andrea Hirata ‘Orang-orang Biasa’ cerita para pecundang yang tak biasa. Walaupun mengandung banyak humor yang renyah dan sindiran berkelas sebagaimana novel Andrea pada umumnya, buku “Muhammadiyah dan Orang-Orang yang Bersahaja” yang ditulis oleh Hajriyanto Y. Thohari menyajikan pergumulan sejarah dan pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah yang sangat kaya, penuh makna dan keteladanan yang berharga. Dari kejauhan, penulis yang merupakan Duta Besar RI untuk Lebanon itu secara jeli dan terarah menuliskan seluruh keresahannya kepada Muhammadiyah dengan penuh kematangan. ‘Sketsa-sketsa Etnografis dari Bairut’ ini perlu menjadi teman bagi seluruh warga persyarikatan, tentang bagaimana kita melihat masa lalu dan kemudian berbuat untuk masa yang akan datang.
Raja Juli Antoni, Sekretaris Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengungkapkan, secara garis besar ada tiga poin penting yang ada di dalam buku “Muhammadiyah dan Orang-Orang Bijaksana”. Pertama, teriakan kepada generasi muda Muhammadiyah akan pentingnya berpolitik dalam membangun bangsa di masa depan. Menurutnya, mulut anak-anak muda Muhammadiyah agak kelu jika berbicara tentang Pancasila dan nasionalisme. Melalui buku tersebut, beliau ingin menggugah kesadaran kaum muda Muhammadiyah untuk menjadi bagian dari bangsa yang menjunjung tinggi nilai luhur Pancasila dan UUD 1945. Hal ini menjadi sangat penting bagi generasi muda dalam nation building.
“Dalam hal ini kita bisa mencontoh generasi-generasi muda NU. Mereka pernah mencoba mengklaim bahwa mereka juga ikut berperan dalam mendirikan negara yaitu dengan resolusi jihad yang saat ini diperingati sebagai Hari Santri (hari libur nasional),” terang manta Ketua Umum PP IPM tersebut.
Poin yang kedua adalah cerita tentang orang-orang yang bersahaja di Muhammadiyah. Cerita-cerita dari para tokoh yang hidup dalam kesederhanaan, bekerja keras, hemat, suka menabung, filantropi, dermawan, dan zuhud. Itu semua menjadi gaya hidup orang-orang terdahulu dari generasi Muhammadiyah yang tumbuh dengan etos Al-Maun.
“Gaya bersahaja seperti inilah yang sudah hampir tidak terlihat dari generasi Muhammadiyah sekarang. Sudah saatnya keislaman kita bukan lagi sekedar simbol, tapi Islam yang selalu kontektual terhadap kemajuan,” pesannya.
Dan poin yang ketiga terkait sikap anti terhadap politik yang ditunjukkan oleh banyak generasi muda Muhammadiyah. Mereka masih berpandangan bahwa politik itu kotor, penuh dengan kecurangan. Pandangan seperti ini dilatarbelakangi oleh rendahnya pengetahuan dan kesadaran bahwa di masa awal berdirinya Muhammadiyah sangat erat kaitannya dengan dukung-mendukung kekuatan politik penguasa. Ketidaktahuan inilah yang akhirnya menyebabkan nation building generasi muda Muhammadiyah merosot.
Emy Sri Purwani, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah Aisyiyah Lampung menyampaikan testimoninya terhadap buku “Muhammadiyah dan Orang-Orang yang Bersahaja”, terdapat banyak mata rantai sejarah hubungan antara Muhammadiyah dengan negara yang dijelaskan secara gamblang, renyah, dan penuh dengan humor. Selain itu, buku ini juga banyak memercikkan inspirasi dan menggugah kesadaran bagi warga persyarikatan yang membaca. “Dari tulisan yang ditulis di dalam buku ini kita menjadi berani untuk mengkritik dan mentertawakan diri sendiri. Buku ini bukan hanya tentang kritik saja, tapi juga solusi untuk Muhammadiyah ke depan,” ujarnya dalam acara bedah buku “Muhammadiyah dan Orang-Orang yang Bersahaja” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Perempuan dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta (15/4). (diko)