Meluruskan Makna Zuhud
Oleh : Ahmad Fatoni
SALAH satu ajaran Islam yang banyak disalahpahami orang awam ialah zuhud. Banyak di antara mereka mengartikan zuhud sebagai sikap tidak mau mengikuti semangat zaman sehingga mereka enggan mempraktikkannya dalam hidup kekinian. Mereka mengidentikkan zuhud dengan tampilan kumal dan keterbelakangan. Kesalahpahaman inilah yang membuat mereka tidak dapat mereguk manfaat serta besarnya pahala zuhud sebagaimana diteladankan oleh Rasulullah SAW.
Sekadar contoh, memaknai zuhud sebagai sikap tidak mau maju di bidang ekonomi adalah salah besar. Nabi Muhammad SAW sama sekali tidak pernah melarang umatnya untuk maju dari segi perekonomian. Banyak sahabat di sekeliling beliau yang kaya raya dan menjadi saudagar tajir kala itu. Zuhud bukanlah penghalang bagi siapa pun untuk menjadi pengusaha atau eksekutif sukses.
Definisi zuhud yang sebenarnya adalah membuang rasa cinta berlebihan terhadap dunia dan seisinya dari dalam hati. Mengutip Imam al-Junaid dalam kitab Madarij as-Salikin, ia menulis, “orang yang zuhud tidak menjadi bangga karena memiliki dunia dan tidak menjadi sedih karena kehilangan dunia.”
Suatu ketika, Zaid bin Tsabit pernah mendengar Rasulullah SAW berkata, “Siapa pun yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan siapa pun yang (menjadikan) akhirat niat (utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).” HR. Ibnu Majah.
Zuhud adalah perbuatan hati, sehingga yang bisa menilai hanya Allah. Itu sebabnya, siapa pun tidak bisa menilai status seseorang itu zuhud atau tidak zuhud, hanya semata dengan melihat tampilan luar. Kepemilikan harta benda bukan standar kezuhudan seseorang. Seseorang bisa menjadi zuhud, kendati Allah memberikan banyak kekayaan kepadanya.
Para ulama sufi menyatakan, banyak orang kaya raya yang memiliki sifat zuhud dan banyak orang miskin yang mempunyai sikap rakus. Orang kaya yang tidak memasukkan kekayaan di dalam hatinya adalah orang yang zuhud. Sebaliknya, orang miskin yang hatinya selalu mendambakan harta kekayaan adalah orang yang jauh dari zuhud.
Jadi sebetulnya tidak ada alasan bagi sebagian kalangan yang menuduh Islam sebagai biang kemunduran karena ajaran zuhudnya. Mereka mengatakan demikian lantaran ketidakpahaman mereka akan hakikat zuhud. Zuhud merupakan amalan hati yang tidak bisa dilihat dari permukaan. Maka, siapa pun tidak berhak berprasangka buruk kepada orang lain karena tidak pernah tahu isi hatinya
Ahmad Fatoni Kaprodi Pendidikan Bahasa Arab FAI UMM