“Sebenarnya sudah sejak lama saya menantikan malam ini. Kamu mau meneruskan saya?” demikianlah Pak Ma’ruf berkata seraya menjabat tangan saya dengan erat di ambang pintu. Pernyataan dan pertanyaan yang disampaikannya tiba-tiba sesaat setelah menjawab salam dan menyambut saya yang bertamu malam-malam. Ia seperti telah mengerti bahwa saya akan datang setelah sekian lama, lama sekali, saya tidak sowan.
Tangan saya terus dijabatnya dan diarahkan duduk pada kursi yang sudah disiapkan dengan posisi berhadapan dengan kursinya. Sebuah meja bundar, di atasnya ada satu toples biskuit, dua gelas teh panas, dan setumpuk Majalah Suara Muhammadiyah. Pak Ma’ruf seakan benar-benar menantikan kedatangan saya malam itu.
Beberapa saat kami bergeming. Saya menunduk, lantas melintas ingatan masa kecil yang menggelikan. Dulu saya memanggil orang yang duduk di hadapan saya ini Pak Ma’ruf “Jadah”. Sungguh saya tidak mengada-ada. Jalarannya, setiap pengajian rutin malam Jumat Paing di dusun kami, Bu Ma’ruf senantiasa membawa jadah sebagai kudapan. Entah mengapa waktu itu saya bisa mengaitkan panganan mengikuti nama seseorang. Seperti halnya saya menyebut Bu Haryanti “Tempe” karena ia jualan tempe. Saya tersenyum kecil mengingat hal itu. Mudah-mudahan Pak Ma’ruf sudah melupakannya.
“Jadi begini, Dik Sukir…” sebenarnya itu nama bapak saya. Pak Ma’ruf menyebut Mas Sukir kepada bapak dan menyebut Dik Sukir kepada saya. “Ah, seandainya kamu dulu jadi dengan Cinta…” nama ini bukan yang sesungguhnya. Ia cucu Pak Ma’ruf yang dulu —anggap saja, pernah berpacaran dengan saya. Duuuhh, masa lalu. “Jadi begini, Dik Sukir mau menjadi kader Muhammadiyah meneruskan saya?”
***
Satu peristiwa telah mengubah dusun ini dari zaman gelap ke peradaban yang remang. Tentu saja, desa tidak pernah bisa benar-benar terang seperti kota.
Adalah Pak Ma’ruf, penggagas berdirinya masjid di dusun kami. Ia menyampaikan gagasannya itu kepada Kepala Dusun dan para sesepuh beserta pemuka dusun. Gayung bersambut, semua bersepakat dengan gagasan didirikannya masjid itu.
Masa-masa sebelumnya, warga dusun kami menunaikan shalat Jum’at atau salat tarawih pada bulan Ramadhan di rumah Mbah Sastro, orang tua Pak Ma’ruf. Menurut cerita, Mbah Sastro ialah tokoh Muhammadiyah yang dulu secara langsung menimba ilmu agama di Kauman. Dengan tekun Mbah Sastro mengajari mengaji warga dusun kami yang rata-rata petani di rumahnya yang jadi seperti madrasah meski sangat tidak layak disebut demikian.
Tentu saja pada waktu itu tidak serta merta apa yang dikerjakannya diterima di masyarakat. Sudah jamak, orang-orang di masa lalu berbekal keyakinan dan ajaran yang dianutnya terkadang memang sulit menerima hal-hal yang dianggap baru dan tidak sejalan., Mbah Sastro tetap dengan kegigihannya; hingga usia menghentikan langkahnya; hingga satu peristiwa telah mengubah dusun ini, juga dunia. Pak Ma’ruf yang kala itu sudah bekerja di Kantor Urusan Agama yang kemudian meneruskan langkah Sang ayah.
Singkat cerita, tepatnya pada Jumat Legi, 23 Juni 1967 atau 15 Mulud 1899 Alip atau 15 Rabiul Awal 1387 Hijriah, sebuah masjid berdiri. Al Hijrah, demikian nama masjid itu. Sebuah nama yang filosofis dan menjadi penanda perubahan suatu peradaban.
Masjid kebanggaan masyarakat itu berdiri setegak alif di tanah pekarangan Mbah Marto yang jika di lihat dari angkasa tepat berada di titik tengah dusun kami. Selaku penggagas, Pak Ma’ruf yang pegawai KUA dan tentu saja kader Muhammadiyah mengupayakan segala hal demi berdirinya masjid yang dicita-citakannya. Awalnya tentu tidak semudah yang diangankan. Berkat gotong royong dan semangat kebersamaan yang kuat, niat baik terwujud dengan baik.
Masjid itu pun makmur oleh kegiatan agama. Kepengurusan takmir masjid pun dibentuk, tiada lain Pak Ma’ruf adalah ketuanya. Setiap malam Jum’at Paing, misalnya, rutin digelar pengajian yang diikuti warga masyarakat satu dusun. Setiap azan dikumandangkan warga berbondong-bondong datang untuk shalat berjamaah. Pengajian akbar senantiasa digelar saat peringatan harihari besar Islam. Meski jika dihitung, mungkin kurang dari separuh warga dusun ini yang benar-benar tegak iman Islamnya – selebihnya hanya rubuh-rubuh gedhang, tapi peristiwa di masa silam itu sungguh-sungguh telah menjadi titik balik warga masyarakat di sini.
Sudah jadi tabiat waktu yang terus berjalan dan berlalu. Hari-hari selalu berganti meski jumlahnya hanya tujuh.
“Desa senantiasa remang, kota senantiasa terang!” demikian kata Pak’Maruf dalam sebuah khutbah Jum’at. Meski saat itu saya masih kecil, tapi saya mengingat dan mencatatnya.
Maksud dari perkataan itu ialah kegelisahannya melihat perubahan demi perubahan yang terjadi pada warga. Seperti obor blarak, awal mula api menyala berkobar-kobar tapi ketika tali pengikat sudah terbakar maka blarak akan udar dan padam. Masjid tak makmur lagi. Bisa dihitung dengan jari siapa saja yang menyambangi. Hanya ramai saat bulan Ramadhan saja. Seperti potret di tempat-tempat lain rasa-rasanya.
Namun ia tak patah arang. Ia tetap melanjutkan apa yang telah dirintis sang ayah. Pengajian dan kajian agama tetap dijalankannya meski tidak banyak yang turut serta dan tentu saja tanpa imbalan, karena memang bukan itu yang diharapkannya. Tugasnya sebagai pegawai KUA tentu memanglah demikian, bahkan hingga setelah ia pensiun. Pak Ma’ruf tentu memiliki tanggung jawab bahwa pembinaan ilmu agama olehnya dikerjakan bukan karena sematamata ia seorang petugas negara yang membidangi urusan dunia hingga akhirat. Apalagi ini di dusun tempat tinggalnya sendiri.
Sayang seribu sayang, meski bekal agama untuk putra-putrinya mencukupi, namun agaknya tak ada yang tertarik meneruskan kiprahnya.
***
“Saya baru saja lulus dari Universitas Ahmad Dahlan, Pak.”
“Alhamdulillah. Berbaktilah kepada agamamu dengan harta dan jiwamu!” Pak Ma’ruf menjabat tangan saya dengan erat.
Kita tentu tahu makna jabat tangan. Bisa tanda terima kasih, tanda selamat, tanda mengajak, tanda maaf, tanda perjumpaan atau perpisahan, juga tanda menyerahkan tanggung jawab.
Latief S. Nugraha, lahir di Kulon Progo. Alumus Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Ahmad Dahlan dan Program Pascasarjana Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada. Aktif di Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta
Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 6 Tahun 2019