KUDUS, Suara Muhammadiyah – Tajdid dalam makna pembaruan sudah melakat menjadi identitas Muhammadiyah sejak lama. Kata tajdid setidaknya mengandung empat makna yakni i’adah (mengembalikan sesuatu pada tempatnya), ihya (menghidupkan), al-ba’ats (membangkitkan sesuatu), dan makna yang terakhir al-islah (memperbaiki atau merekontruksi).
Dalam agenda pengajian Ramadhan 1442 H yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Kudus (26/4), Haedar Nashir mengungkapkan bahwa, bagi Muhammadiyah, tajdid memiliki pijakan yang kuat terhadap Islam sebagai ajaran. Sehingga secara teologis, tajdid sesungguhnya merupakan jiwa dari Islam itu sendiri. Islam sebagai agama yang selalu mempembarui, memperbaiki, membangkitkan, menghidupkan dan selalu mengembalikan sesuatu pada proporsinya masing-masing.
Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW berupa QS. Al-Alaq memerintahkan kita untuk membaca. Bukan hanya membaca secara literal atau tekstual tentang suatu fenomena, namun juga membaca secara kontekstual, luas, dan menyeluruh di segala aspek. Melakukan pengkajian secara mendalam tentang alam semesta.
Haedar mengutip sebuah ayat yang berbunyi “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum tersebut mengubah nasibnya sendiri”. Menurutnya, seorang Muslim harus memiliki etos untuk mengubah keadaan, dari yang tertinggal menjadi maju, dan dari keadaan yang maju menjadi lebih maju lagi. Karena maju atau mundurnya umat Islam dan bangsa Indonesia tergantung kepada manusia yang ada di dalamnya.
“Ayat-ayat tersebut merupakan mesin pendorong bagi kita untuk maju, memperbarui, membangun, dan bertransformasi melakukan perubahan,” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa pada setiap rentang waktu seratus tahun, harus ada seseorang yang datang untuk melakukan pembaruan dalam agama. Baik secara personal, kelompok maupun institusi. Sebagaimana hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam mengubah bangsa Arab yang sebelumnya berada dalam keterbelakangan. Dalam waktu 23 tahun, Nabi Muhammad SAW berhasil menjadikan bangsa Arab sebagai umat yang unggul dan terdepan dalam segala hal. Namun sayang, setelah meletusnya Perang Dunia kedua, serta pasca runtuhnya Dinasti Turki Ustmani, umat Islam jatuh dan mengalami kemunduran yang sangat drastis. Banyak umat Islam yang kemudian terjajah. Dan dari fenomena yang tidak mengenakkan tersebut muncul berbagai macam penyakit kehidupan yang melenakan dan menghinakan.
“Saat ini kita tertinggal dalam segala hal. Kita tertinggal dalam bidang pendidikan. Kita tertinggal dalam bidang ekonomi. Yang lebih menyedihkan, alam pikiran kita juga tertinggal,” ungkap Haedar. (diko)