Adzan Seorang Badrun, Cerpen Budhi Wiryawan

Adzan Seorang Badrun, Cerpen Budhi Wiryawan

TAK ada yang lebih dahsyat dan menentermakan hati, kecuali mendenagarkan Badrun mengumandanagkan adzan. Suara Badrun seperti menggetarkan setiap dinding rumah. Lagu yang diperdengarkan lewat pengeras suara masjid, antara lafal Arabia dan Jawa.  Badrun semula ingin  melantunkan adzan dengan cengkok  dandanggula, tapi ia faham.bahwa adzan bukan seni macapat atau lagu yang diperdengarkan dari radio atau MP3. Tapi adzan adalah suara yang menembus jantung kalbu seseorang. Apalagi jika  adzan itu berkumandang di pagi hari, di subuh yang dingin  dan senyap.

Badrun sangat sadar bahwa pita suara yang dimilikinya adalah anugerah dari  Tuhan yang diberikan pada dirinya. Karena itu ia selalu menjaga pita suaranya agar tetap “kung”, seperti ayam pelung, dan berambitus panjang menapaki 3 traf, dan tentu saja  enak untuk didengarkan. Menjaga kesehatan pita suara alias jakun adalah ibadah yang mulia baginya. Semulia ikhtiar yang diperdengarkan kepada siapa saja yang merasa pengin dekat dengan Tuhan.

Badrun, sudah beberapa tahun ini menjadi juru adzan di masjid di kampungku. Semenjak ia diberi otoritas untuk sebagai marbot, menjaga kebersihan dan menyiapkan kegiatan-kegiatan di masjid itu, ia tertarik untuk belajar dan menekuni pekerjaan sebagai seorang muadzin.

Badrun, adalah anak dari seorang petani, ia merantau ke kota karena pengin kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri. Otaknya memang encer, tapi kemampuan ekonomi orangtuanya pas-pasan. Sehingga atas kebijakan dari takmir masjid, ia boleh menggunakan satu ruangan di bangunan masjid itu untuk tidur, sekaligus sebagai ruang kost bagi dirinya. Maklum, sewa kamar kost di kota ini sudah relatif mahal.

Konsekuensi yang harus ditunjukkan oleh Badrun setelah mendapatkan fasilitas kost dan dipercaya sebagai tukang bersih-bersih masjid, ia harus bangun lebih pagi dari para jamaah pada umumnya. Jam 03.30 ia sudah bangun, lalu pekerjaan awalnya adalah menyapu lantai dan halaman masjid, dan merapikan sebagian karpet yang ada di masjid. Baru setelah pekerjaan pokok ini selesai, ia lalu bergegas ke ruang mikrofon masjid, melantunkan ajakan shalat subuh. Suara bass yang dipunyai Badrun sungguh bisa menggetarkan bagi siapa saja yang mendengarkannya. Ada seorang jamaah yang terus terang mengaku suka suara adzan yang dilantunkannya.

”Aku punya semangat hidup, jika mendengar suara adzanmu Nak,“ kata  Kakek Sulaiman

Dua hari sekali Badrun  minum beras kencur, dan bijih kencur itu ia “geremus”-makan langsung, meski agak pengar sedikit. Seorang temannya di kampus, pernah menyarankan agar ia mencoba “gurah” yakni teknik menjaga kesehatan alternatif dengan menggunakan ramuan sirgunggu yang dilewatkan lewat hidung. Cara ini untuk membuang lendir yang menempel di rongga paru-paru, dengan harapan agar ruang pernafasan jadi longgar, sehingga terciptalah suara yang jernih dan panjang. Ia turuti saran temannya itu, dengan mendatangi tempat praktek gurahIa ingin punya suara yang “kuuung” seperti burung perkutut.

TANPA terasa jam terbang Badrun sebagai muadzin sudah menapaki tahun ke-5. Pada saat yang sama pula , ia akhirnya menyelesaikan tugas kuliahnya. Namun Badrun berada di persimpangan jalan, ia berfikir apakah tetap terus tinggal di ruang khusus di masjid ini, atau berburu nasib mencari pekerjaan sesuai dengan ijazahnya, sebagai seorang calon guru agama, dengan konsekuensi harus meninggalkan masjid.

Ia sejatinya senang dan sangat cinta sekali sebagai penjaga masjid. Banyak kenangan yang ia bangun selama ini, Tapi jalan hidupnya berbicara lain.. Nasib baik pun ternyata berpihak padanya, ia diterima sebagai guru agama di sebuah sekolah yang dikelola oleh sebuah yayasan di kota ini juga. . Keputusan yang diambil Badrun untuk pensiun jadi penjaga masjid akhirnya ia jatuhkan. Ia harus meninggalkan tempat yang telah memberikan segalanya baginya.

Namun untuk menunjukkan rasa cintanya pada masjid itu, Badrun tetap ingin menjadi muadzin di masjid itu, kendati ia tak lagi menjadi marbot- Karena dari penghasilannya mengajar, ia bisa menyisihkan uang untuk sewa kamar kost, yang letaknya tidak jauh dari masjid itu pula

Keinginan Badrun sangatlah sederhana, hanya ingin membalas kebaikan hati, dan sekaligus ingin menjaga rasa kangen dari beberapa orang yang selalu merindukan suara merdunya, terutama saat adzan subuh Badrun baru ingat tentang cerita seorang  kakek yang pernah menaruh simpati padanya. Tak diduga bila si kakek yang ia kenal itu adalah seorang mualaf.  Suatu pagi,  hati sang kakek itu seperti dibukakaan oleh suara yang lindap di kamar pengapnya. Rupany itu yang ia rasakan sebagai sebuah  hidayah dari Tuhan. Jiwanya yang mulai terbuka seolah memberi jalan bagi sang kalbu, minta dimerdekakan. Lalu ia mencari banyak sumber dan literasi soal Islam.

Di saat orang-orang  memulai kehidupannnya di pagi buta. Kakek itu,  justru ingin   mengubah  kehidupannnya yang gelap,  sebagai bandar narkoba, menjadi hidup yang penuh hidayah..  Dan di persimpangan pagi yang dingin  itu pula, hati dan indera dengan kakek  bergetar, berresonansi hingga gemanya berbalik dari tembok kamarnya.

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 9 Tahun 2019

Exit mobile version