Catatan Wadas Dalam Fikih Agraria

Catatan Wadas Dalam Fikih Agraria

Oleh: Farhad Najib Izzuddin

Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan karunia dari Allah SWT, yang erat kaitannya dan tidak bisa terpisahkan. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia sejak lahir, sampai meninggal dunia. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya.

Di Indonesia, sejak awal kemerdekaan pemerintah telah mengeluarkan beberapa aturan tata kelola agraria (pertanahan), baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah lainnya. Momentum penting dimulainya kebijakan agraria pada tahun 1960, dengan terbitnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang dikenal sebagai UUPA. UUPA dianggap sebagai tonggak pembaruan agraria, karena memuat hal- hal yang terkait dengan transformasi hukum agraria masa kolonial menuju hukum nasional untuk menjamin kepastian hukum, mengakhiri feodalisme dengan cara membatasi penguasaan lahan yang tidak terkendali, memberikan hak kepemilikan bagi petani yang kekurangan lahan, dan sebagai wujud pelaksanaan pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

=======================================

Dilansir dari Catatan Akhir Tahun 2020 oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), telah terjadi 30 letusan konflik agraria di sektor pembangunan infrastruktur. Dari angka tersebut, 17 di antaranya disebabkan oleh pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan  termasuk di dalamnya pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), mulai dari pembangunan bandara, jalan tol, bendungan, pelabuhan, dan kawasan pariwisata beserta infrastruktur penunjangnya.

Proses pengadaan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur dari tahun ke tahun yang kerap menghasilkan persoalan pelik yang berulang. Proses yang tertutup, intimidatif, manipulatif, hingga penggunaan cara-cara kekerasan masih sering ditemukan dalam menghadapi aspirasi atau protes dari masyarakat terdampak.

Menurut Yando Zakaria, konflik agraria terjadi karena warisan perampasan tanah secara masif pada masa Orde Baru yang terus berlanjut hingga kini, arah kebijakan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam yang tidak berpihak pada rakyat, dan kerangka hukum dalam penyelesaian konflik agraria melalui agenda reforma agraria yang tidak sungguh – sungguh.

Masalah pertanahan muncul ketika kewenangan (hak menguasai negara) diperhadapkan dengan hak asasi warga negara, khususnya hak milik individu dan hak komunal (tanah ulayat). Sengketa konflik pertanahan yang semakin kompleks belakangan ini mulai terlihat kembali. Salah satu diantaranya  dengan adanya konflik  di Desa Wadas, Purworejo, yang menolak penambangan tanah mereka untuk proyek pembangunan Bendungan Bener.

=======================================

Jum’at, 23 April 2021 tempo hari lalu, telah terjadi tindakan kekerasan dan represifitas yang dilakukan oleh aparat negara terhadap warga, kuasa hukum warga dan jaringan solidaritas di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Kedatangan mereka terkait dengan rencana sosialisasi pemasangan patok untuk keperluan penambangan batuan andesit yang masih satu kesatuan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN) pembangunan Bendungan Bener.

Desa Wadas merupakan salah satu desa di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang memiliiki kekayaan alam melimpah. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), desa ini ditetapkan sebagai kawasan yang diperuntukkan untuk perkebunan. Menurut catatan WALHI, komoditas pertahun yang dihasilkan dari  hasil perkebunan di desa ini dapat mencapai 8,5 Milyar dan komoditas kayu keras dapat mencapai 5,1 Milyar per 5 Tahun yang mana telah memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa Wadas.

Namun, pada tahun 2018 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menetapkan desa tersebut sebagai lokasi penambangan batuan (quarry) untuk pembangunan Bendungan Benner, yang artinya penetapan lokasi penambangan tersebut telah mengingkari Perda sebelumnya dan berpotensi merampas sumber penghidupan masyarakat serta merusak ekosistem alam disana.

=======================================================

Dalam persoalan agraria, penderitaan itu lebih dirasakan oleh rakyat kecil yang hak-hak dan kearifan lokal mereka dalam pengelolaan tanah sering dikesampingkan. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyadari bahwa persoalan agraria sangatlah kompleks, berkaitan dengan tanah serta apa yang ada di atasnya. Dalam rangka itu, Majelis Tarjih menyusun Fikih Agraria. Di dalamnya telah terurai prinsip-prinsip dasar umum (al-ushul al-kulliyah) terkait agraria, yang dibuat untuk menjadi semacam landasan teoritis aksi advokasi agraria Islami.

Pertama, prinsip kepemilikan; artinya Allah memang Sang Pemilik Mutlak, tapi manusia juga punya hak milik relatif. Hak milik ini dijamin dan diregulasi dengan sebaik mungkin. Kedua, produktifitas; pemilik lahan berkewajiban membuat tanahnya produktif dan bermanfaat bagi seluruh makhluk. Ketiga, prinsip islah atau mengedepankan permufakatan bila terjadi konflik kepemilikan.

Keempat, regulasi yang berkeadilan; demi tegaknya keadilan distribusi kepemilikan dan penguasaan lahan, maka pemerintah secara normatif sebagai ulil amri memiliki kewajiban moral-struktural untuk menyiapkan undang-undang yang objektif dan berkeadilan, sebagai pegangan bersama bilamana terjadi konflik agraria.

Kelima, prinsip konservasi; artinya pemanfaatan lahan tidak boleh merusak alam. Keenam, prinsip pertanggung jawaban; menuntut agar pemilik tanah dan sumber-sumber agraria lainya dapat mengelola dengan baik dan penuh tanggungjawab. Ketujuh, prinsip partisipasi; setiap warga negara memiliki kewajiban untuk turut menjaga dan menjadi saksi serta melarang segala bentuk perusakan, dan perbuatan yang tidak bijak dalam mengelola sumber-sumber agraria.

Kaitannya dengan konflik agraria di Wadas, pemerintah dalam hal ini belum mampu secara adil dalam penyelesaian masalah. Terlihat dengan beberapa penyalahgunaan prinsip-prinsip dasar, seperti mengabaikan permufakatan, penggunaan cara-cara kekerasan, serta tidak memberikan solusi secara adil dan damai.

Maka berdasarkan prinsip dasar terkait agraria sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bentuk partisipasi mendasar sebagai warga negara sekaligus manusia,  tidak hanya terkait dengan pemanfaatan dan pelestarian tanah, tetapi juga kesadaran dalam mencegah serta melarang pelanggaran-pelanggaran tata kelola agraria, yang tercermin dalam Al-Qur’an surah Āli ‘Imrān (3) 110, “ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

 

Farhad Najib Izzuddin, Sekretaris Bidang Agraria DPD IMM DIY.

Exit mobile version