Suara Muhammadiyah-Diaspora Muhammadiyah Eropa mengadakan Syawalan Bersama pada 16 Mei 2021 guna menguatkan jalinan silaturahim personal, sosial, dan komunal. Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, relasi dalam Muhammadiyah sering sebatas relasi organisasi, tetapi komunalitasnya tidak begitu kuat. “Dimensi rasa kita sebagai keluarga itu menjadi sangat penting,” ujarnya. Syawalan ini juga untuk menyamakan persepsi tentang Muhammadiyah dan isu-isu global yang berdampak pada realitas keislaman, keindonesiaan, dan kemuhammadiyahan.
Haedar Nashir menyebut tiga tantangan utama masyarakat Muslim Eropa yang perlu dijawab. Pertama, nilai-nilai hidup utama yang tergambarkan dalam konsep hak asasi manusia, pluralisme, dan demokrasi. “Identitas Islam dan identitas Muhammadiyah ada di mana dalam konteks Eropa?” Ada studi yang memprediksi bahwa pada tahun 2035, Islam menjadi mayoritas di Eropa. Sementara itu, penelitian lain menyebut bahwa Muslim di Eropa masih terpengaruh generasi pertama imigran tahun 1960-an.
Kedua, realitas Eropa sebagai masyarakat sekuler dan kaitannya dengan agama. Haedar Nashir memberi tantangan tentang bagaimana rumusan supaya Islam kompatibel dengan negara dan masyarakat yang state of mind-nya seperti itu. “Dinamika ini tampaknya masih terus berlangsung. To be Europe Muslim itu tidak gampang. Proses adaptasi dan dialog menjadi niscaya.” Tanpa dialog, maka akan terus berada dalam situasi oposisi biner.
Ketiga, tantangan Islamofobia. Di tengah keragaman latar belakang masyarakat Eropa, format Islam apa yang perlu dihadirkan, apakah konsevatif-literal atau progresif-liberal atau yang lainnya. Ada adagium: Islam shalih likulli zaman wa makan. Islam selalu adaptif terhadap perkembangan zaman dan tempat. Menginterpretasikan Islam supaya tidak ketinggalan zaman, kata Haedar, merupakan spirit Kiai Ahmad Dahlan ketika mengajarkan surat Al-Ashr, yang terkait dengan aspek modernitas.
Dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, kata Haedar, Muhammadiyah ingin melakukan transformasi gerakan dari dakwah yang reaktif-konfrontatif menjadi dialogis-alternatif. “Tidak diutus seorang Nabi itu kecuali dengan bahasa kaummnya.” Ini berarti bahwa setiap dakwah itu semestinya mempertimbangkan aspek tradisi, bahasa, dan konteks kelokalan.
Haedar Nashir mengajak warga Muhammadiyah di Eropa untuk memantapkan wawasan kosmopolitanisme Islam yang melintas batas. Langkah yang bisa ditempuh antara lain, pertama, konsolidasi diaspora yang lebih fleksibel. “PCIM itu disusun dengan format perhimpunan, bukan format organisasi yang rigid seperti di Indonesia.” Perhimpunan ini lebih hidup, mencair, dan leluasa bergerak. “Perhimpunan ini tidak terlalu dibebankan urusan birokrasi yang rumit,” tuturnya.
Kedua, melakukan internasionalisasi gagasan atau pemikiran Muhammadiyah. Misalnya, dimulai dengan penerjemahan buku-buku tentang Muhammadiyah ke dalam bahasa asing. Sebaliknya, perlu juga menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing yang menawarkan gagasan berkemajuan untuk diperkenalkan kepada publik Indonesia.
Ketiga, pengembangan diaspora Muhammadiyah secara kultural. Warga Indonesia di luar negeri berjumlah sekitar 8 juta jiwa. Haedar mempertanyakan, berapa persen yang mau bersimpati pada Muhammadiyah? “Mencapai jumlah yang lebih banyak bisa sebenarnya, asal ada strategi dakwah baru. Jika dakwahnya selalu konfrontatif, maka tidak ada yang tersisa itu,” ungkapnya.
Haedar Nashir berharap kader Muhammadiyah lulusan luar negeri dapat menjadi rujukan dan pembawa obor pencerahan, bukan sebaliknya. “Yang di luar itu pulang membawa pola pikiran yang moderat, maju, dan mensemesta.” Sayyid Qutb pulang dari Amerika itu menjadi konservatif dan membawa dampak besar pada gerakan Ikhwanul Muslimin.
Di ranah global, perlu dibangun titik temu Islam berkemajuan dalam kerangka rahmatan lil alamin. “Zaman berkembang makin kompleks, jika alam pikiran kita masih dalam tempurung, maka gak nyampe” dalam merespons perkembangan dan menafsirkan realitas. Perlu merumuskan kerangka berpikir rahmatan lil alamin yang mengikat semua kalangan Islam. Jika tidak, ungkap Haedar, antar-internal umat islam bisa saling berebut ghanimah, apalagi ketika nanti telah menjadi mayoritas muslim di Eropa.
“Rahmatan lil alamin menjadi perspektif baru yang melahirkan berbagai pemikiran yang bisa membawa pandangan-pandangan perdamaian.” Peradaban Barat saat ini sedang mengalami dekadensi, stagnasi, dan bahkan disorientasi secara ruhani. “Kata Weber, ketika nalar instrumental menguat, orang akan lari kepada nalar komunal. Yang mereka benci kan agama formal,” tukas Haedar Nashir. Perlu dipikirkan tentang nilai-nilai universal Islam untuk ditawarkan kepada masyarakat dunia.
Duta Besar Indonesia untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan bahwa secara organisasi, Muhammadiyah telah kuat. Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan tentang pentingnya penguatan organisasi. “Kebatilan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.”
“Muhammadiyah dan NU tidak boleh kehilangan relevansi yang membuat anak-anak muda memilih pilihan lain, organisasi Islam ekstrem radikal atau ekstrem ateis,” kata Lalu. Dari jauh, Muhammadiyah tampak terorganisir dengan baik. Tetapi kenyataannya, ada banyak hal yang perlu dibenahi. “Di Muhammadiyah, kebutuhan untuk melakukan restrukturasi organisasi sudah mendesak.”
Muhammadiyah perlu menjaga relevansinya, tergabung di semua kelompok yang punya pengaruh dalam pengambilan kebijakan. “Orang baik di Muhammadiyah perlu masuk ke semua sektor,” kata Lalu. Hanya dengan pengalaman dan relasi yang baik itu, Muhammadiyah dapat diterima dan dapat berperan lebih luas di komunitas internasional.
Lalu juga menyatakan bahwa Muhammadiyah perlu melakukan redefinisi dakwahnya. “Bidang pendidikan, kesehatan, itu penting, tetapi juga perlu hadir di bidang lain, seperti di media, baik media mainstream maupun di media sosial. Menurutnya, menguasai narasi dapat menentukan opini publik. Lalu mencontohkan sebaran narasi tentang isu Palestina dan Israel di media sosial, menunjukkan bahwa ada pihak tertentu yang cukup terorganisir dalam menarasikan suatu argumen yang tampak seragam.
Menurut Lalu, Muhammadiyah juga perlu memperbanyak kader yang mumpuni di luar bidang pendidikan dan kesehatan. “Banyak alumni pendidikan Muhammadiyah di bidang ilmu sosial, kesehatan, tetapi belum banyak yang bidang teknologi atau industri.” Masa depan dunia dinilai akan bertumpu pada keahlian atau penguasaan teknologi dan dunia industri.
Terkait kecenderungan Europe Islam, apa yang perlu dilakukan? Lalu menyebut perlunya membangun wawasan kosmopolitanisme Islam di tengah kultur atau bahkan mazhab yang sangat beragam. Perlu juga memperkuat dakwah bil hal. “Tidak perlu marah, reaktif, baper berlebihan pada islamofobia di kalangan non-muslim, mereka bukan Islam, belum mendapatkan hidayah.” Yang penting, bagaimana kita membangun keteladan yang baik bagi masyarakat Eropa yang sedang mencari model atau nilai baru untuk dijadikan pegangan.
Duta Besar Republik Indonesia 2016-2020 untuk Inggris Raya, Rizal Sukma mengajak para kader Muhammadiyah untuk lebih aktif dalam “keterlibatan dan perdebatan opini di ruang publik dalam tema-tema internasional.” Keterlibatan itu memungkinkan Muhammadiyah untuk memberi konstribusi dalam permasalahan global. Muktamar 2015 telah merumuskan beberapa strategi gerakan di luar negeri: dialog, respons bencana alam, cipta perdamaian dan bina perdamaian.
Warga Muhammadiyah di luar negeri perlu menjadi teladan yang berperilaku baik. “Kiprah internasional Muhammadiyah ke depan perlu juga memberi konstribusi pada bidang sains dan teknologi,” imbuh Rizal Sukma. “Kader-kader Muhammadiyah perlu terlibat dalam berbagai riset-riset tenologi.” Di Muhammadiyah yang orang-orangnya rasional perlu ditunjukkan dalam karya nyata.
Menurutnya, menempatkan Muhammadiyah dalam konteks Eropa, bisa dalam banyak dimensi, seperti dimensi: pemikiran atau identitas. Saat ini, hanya sedikit yang mengenal gerakan Islam di Indonesia, sehingga perlu dibangun pusat diplomasi publik yang strategis. “Indonesia dikenal sebagai negara yang paling buruk dalam menceritakan kebaikan dirinya,” kata Rizal.
Rizal mengajak warga Muhammadiyah mulai “membangun narasi berdasarkan studi, bukan berdasarkan emosi.” Di antara yang dapat dilakukan adalah: (1) mengundang para dosen untuk menulis di jurnal-jurnal ilmiah, (2) mengajak universitas di Eropa untuk bekerjasama dengan PTM, (3) diaspora Muhammadiyah perlu membantu tim di PP Muhammadiyah untuk membuat konten yang sesuai kebutuhan informasi di berbagai negara. (ribas)