104 Tahun Milad ‘Aisyiyah: Merekat Persatuan dan Menebar Kebaikan

Misi Dakwah

Siti Noordjannah Djohantini Foto Dok Aisyiyah/SM

YOGYAKARTA – 104 tahun lalu, tepatnya pada 19 Mei 1917, ‘Aisyiyah didirikan di tengah konstruksi budaya yang tidak memuliakan perempuan. Narasi keagamaan ihwal kesetaraan beramal saleh menjadi landasan teologis gerakan ‘Aisyiyah yang membuka jalan bagi upaya-upaya pemajuan kehidupan perempuan. Nilai tentang kesetaraan beramal saleh tersebut sekaligus menunjukkan karakteristik wasathiyah dan Islam Berkemajuan gerakan ‘Aisyiyah yang meyakini bahwa Islam memuliakan perempuan.

Islam berkemajuan sebagaimana dipahami oleh Muhammadiyah-‘Aisyiyah, merupakan Islam yang mampu merespons problematika yang dihadapi pada setiap zamannya sehingga kehadirannya memberikan rahmat bagi sekalian alam. Setelah 104 tahun (1917-2021 M) atau 107 tahun (1335-1442 H), kini ‘Aisyiyah hadir di tengah situasi pandemi Covid-19 yang telah berlangsung lebih dari setahun. Dampaknya dirasakan secara nyata pada berbagai aspek kehidupan oleh masyarakat Indonesia maupun warga dunia. Kondisi perekonomian yang memprihatinkan akibat pandemi bahkan telah berkontribusi pada peningkatan angka kemiskinan dan semakin tajamnya kesenjangan sosial- ekonomi.

‘Aisyiyah menyadari betul bahwa upaya mengatasi dampak Covid-19 merupakan peran bersama semua elemen bangsa, termasuk ‘Aisyiyah. Sebagaimana ditunjukkan organisasi perempuan ini melalui kerja-kerja nyata di tengah masyarakat, mulai dari ta’awun atau kepedulian sosial, gerakan ketahanan pangan, edukasi pencegahan Covid-19, hingga layanan kesehatan bagi pasien Covid-19.

Di tengah kompleksitas tantangan yang dihadapi tersebut, Noordjannah melihat, “Persatuan merupakan kekuatan yang dimiliki bangsa Indonesia yang bersifat majemuk untuk keluar dari berbagai persoalan sekaligus menjadi energi positif untuk membangun kesejahteraan dalam kehidupan bangsa.” Sebagai organisasi yang memiliki sejarah yang panjang, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menyebut bahwa ‘Aisyiyah terbiasa bekerja bersama semua elemen untuk mengatasi problem kemanusiaan dan memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat secara luas. Di masa awal berdirinya ‘Aisyiyah, dalam Kongres Bayi sekitar tahun 1930-an, sebuah even kepedulian pada kesehatan ibu dan anak yang digelar ‘Aisyiyah hingga di tingkat kampung, ‘Aisyiyah telah berkolaborasi dengan dokter bumiputera hingga dokter Belanda maupun China.

Kebermanfaatan berbagai kegiatan ‘Aisyiyah juga dirasakan oleh masyarakat secara luas tanpa melihat perbedaan agama, jenis kelamin, suku, ras, maupun golongan. Noordjannah mencontohkan kiprah ‘Aisyiyah di ujung Indonesia, seperti keberadaan TK ABA di pulau Arar sebagai satu-satunya pendidikan anak usia dini di pulau tersebut, telah dirasakan manfaatnya bagi kebanyakan warga di pulau tersebut yang jauh dari akses fasilitas publik, sedangkan warga pulau yang bersekolah di TK ABA cukup beragam atau bukan hanya berasal dari warga muslim saja. Demikian halnya dengan layanan kesehatan melalui klinik maupun RS ‘Aisyiyah di berbagai pelosok negeri yang telah menyediakan akses kesehatan bagi masyarakat secara luas; maupun upaya kepedulian dan pemberdayaan di komunitas yang menjangkau berbagai kalangan masyarakat yang beragam.

Namun demikian, Noordjannah menyayangkan bahwa tidak jarang terjadi konflik SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) di tengah realitas kemajemukan Indonesia yang harus terus diantisipasi dan dicarikan solusi. Termasuk permasalahan yang dapat memunculkan benih-benih permusuhan atau perseteruan yang beredar melalui media sosial, seperti hoaks, adu domba, ujaran kebencian, dan intoleran.

Oleh karena itu, Noordjannah menyampaikan, “Persatuan Indonesia merupakan agenda yang penting dan strategis untuk terus dirawat dan diperkuat, sebagai modal sosial dan kerohanian yang membawa kemajuan hidup untuk mewujudkan Indonesia yang berkemajuan.” Spirit Islam, imbuh Noordjannah, ialah menyatukan relasi antar manusia. Pandangan Islam Berkemajuan yang mengusung inklusivitas, toleransi, saling menghormati, dan perdamaian menunjukkan visi keislaman untuk merekat persatuan antar komponen bangsa yang majemuk.

“Pandangan wasathiyah-berkemajuan dicirikan dengan beragama yang tidak ekstrem (ghuluw), keras, konfrontatif, takfiri (mengkafirkan), dan merasa paling benar sendiri (fanatik-buta), atau bersifat tengahan, damai, toleran, menyatukan, membebaskan, memberdayakan, dan memajukan atau beragama yang mencerahkan,” terang Noordjannah.

Berbekal pandangan Islam wasathiyah-berkemajuan ini, Noordjannah berharap, ‘Aisyiyah dapat memperluas arena dakwah dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan semesta secara melintas-batas serta menggerakkan dakwah untuk merawat persatuan bangsa.

Prioritas agenda persatuan tersebut tampak dalam momen Milad ‘Aisyiyah ke-104 yang mengusung tema ‘Merekat Persatuan, menebar Kebaikan di Masa Pandemi’. Serangkaian syiar kegiatan milad ‘Aisyiyah telah dilakukan beberapa bulan sebelumnya, mulai dari taawun (kepedulian) sosial yang bersifat inklusif, literasi media sosial untuk merawat persatuan, membudayakan kehidupan sehat dan mendorong vaksinasi Covid-19, hingga gerakan ketahanan pangan keluarga di masa pandemi.

Peringatan tasyakuran dan refleksi Milad menjadi kegiatan puncak Milad ‘Aisyiyah ke-107 H/104 M yang diselenggarakan pada 19 Mei 2021. Kegiatan tersebut berlangsung secara daring melalui aplikasi Zoom yang diikuti oleh lebih dari 7000 peserta di seluruh Indonesia maupun di ‘Aisyiyah luar negeri. Resepsi milad ini juga ditayangkan melalui TVMu dan dapat diakses melalui Youtube Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. (hajar/ppa)

Exit mobile version