Judul Buku: Budaya dan Negara
Penulis: Prof. Syafiq A. Mughni, M. A., Ph. D., Dkk
Penyunting: Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, Dr. Endang Sulastri, Djoni Gunanto M. Si.
Ukuran: 15 x 23 cm
Tebal: xiv + 130 hlm
Cetakan: Pertama, Oktober 2018
Penerbit: Suara Muhammadiyah
Globalisasi sesungguhnya telah berlangsung sejak zaman dahulu, sekalipun dalam bentuk yang sederhana dan berlangsung lamban. Dalam konteks Islam, akulturasi budaya telah terjadi sejak awal perkembangan Islam di Indonesia, yang diperkirakan pada abad VIII M. Dapat dipastikan bahwa para pedagang Arab itu memperkenalkan sesuatu yang asing, termasuk agama. Clifford Geertz dalam tulisannya “Javanese Kijaji: Changing Role of a Cultural Broker,” menyatakan bahwa para ulama Jawa pergi ke Makkah dan Madinah untuk berhaji dan menetap untuk belajar agama, dan ketika pulang ke Indonesia mereka membawa bentuk-bentuk budaya Arab.
Dalam diskursus tentang agama dan kebudayaan, elite agama (ulama, pendeta, pastur) lebih sering berseberangan dengan akademisi atau ilmuwan. Ilmuwan secara de facto selalu berada di atas angina karena terus memperoleh dukungan luas. Temuan spekulatif ahli fisika seperti Stephen Hawking tentang asal-muasal konsep Darwin yang hingga saat ini terus memandu kehidupan pemeluk agama. Tragisnya, ilmuwan pula yang selalu menjadi korban klaim kebenaran agama. Kisah dramatis terlihat dari apa yang dialami Socrates, Galileo-Galileo, Al-Hallaj atau Syekh Siti Jenar, mereka harus tewas menghadapi kekerasan klaim elite agama yang memegang hegomoni politik. Masalah ini pula yang menimbulkan berbagai tragedi kemanusiaan yang hingga kini belum ditemukan jalan penyelesaian yang berarti.
Dalam lingkup kenasionalan inilah prediksi akan munculnya benturan peradaban bisa dilihat yang antara lain bersumber dari masalah hubungan agama dan kebudayaan, termasuk iptek. Memperhatikan mayoritas rakyat Indonesia adalah pemeluk Islam, maka menjadi penting melihat masalah tersebut sebagai masalah hubungan Islam sebagai agama dengan kebudayaan dan iptek. Karena selama ini Islam nampak begitu sulit mengapresiasi kebudayaan, apalagi mengembangkan kebudayaan. Hal ini lebih disebabkan karena Islam yang dikhutbahkan dan dipelajari adalah Islam yang anti kebudayaan. Masyarakat kita kurang menyadari bahwa sebenarnya Islam tidak bisa dipelajari, dikhutbahkan, dan diamalkan kecuali dengan kebudayaan itu sendiri. Dan sebetulnya masalah ini akan terjernihkan jika elite Muslim bersedia secara jujur memilah antara Islam yang wahyu dan Islam sebagai kebudayaan.
Secara garis besar, kebudayaan (iptek) dapat dipahami sebagai bentuk atau pola tindakan yang mencerminkan proses dinamika penyadaran atas realitas. Jika pada puncak realitas itu diyakini Tuhan berada, maka kebudayaan adalah proses penyadaran tentang Tuhan itu sendiri. Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai media utama menyadari dan mencapai Tuhan. Dari kebudayaan pula, Tuhan berhubungan dengan manusia ketika wahyu-Nya dituangkan ke dalam kebudayaan, yaitu bahasa. Karena itu kebudayaan adalah bentuk dan cara Tuhan berhubungan dengan manusia, juga merupakan wahyu itu sendiri.
Dari situlah kebudayaan Islam menjadi proses transendensi menerobos segala batas sistem-sistem, kelas, etnisitas, dan batas natural. Di sini pula letak Al-Qur’an sebagai hudan dan furqan linnaas serta bayyinat min al huda. Dengan itulah manusia dan aktivis Islam atau kaum santri tumbuh menjadi manusiawi, peduli dan membela terhadap mereka yang tertindas. Islam bukan sekedar ritual yang sibuk memuja Tuhan, tapi agama yang benar-benar mampu membebaskan manusia dari segala penderitaan dan segala macam berhala. Kebudayaan adalah panta-rei, suatu sirath al mustaqim dari langkah mencapai suatu titik dimana misteri Tuhan sedang menyendiri untuk dikenali. (Diko Ahmad Riza Primadi)
Beli Bukunya di Suara Muhammadiyah Store