YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Milad ‘Aisyiyah ke-104 merefleksikan rasa syukur atas perjalanan panjang Aisyiyah dalam menegakkan nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin. Pada momentum tersebut ‘Aisyiyah mengangkat tema yang menggambarkan jantung permasalahan yang sangat penting dan kontekstual “Merekat Persatuan Menebar Kebaikan.” Dua hal ini menjadi problem dan sekaligus agenda yang strategis bagi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah untuk kemaslahatan umat, bangsa, hingga kemanusiaan semesta.
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam sambutannya menyampaikan bahwa persatuan dan kebaikan merupakan energi positif untuk mencapai kemajuan. Namun dalam konteks dan realitanya, energi positif tersebut senantiasa berhadapan dengan energi-energi negatif. Maka dalam melihat posisi ini, umat Islam dituntut untuk mencermati dengan seksama bahwa energi negatif yang menggerogoti tubuh umat Islam itu hendaknya segera dihilangkan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, energi negatif seringkali menjadi hama dan penghambat semangat perjuangan. Sehingga sampai kepada ayat di dalam al-Qur’an yang menyimpulkan bahwa, “Jika ada dua kelompok yang bertukai, maka nasehatilah mereka. Dan jika masih ada yang bebal, maka luruskanlah ia, sampai ia kembali kepada Allah SWT. Setelah mereka kembali ke jalan persatuan, maka tegakkanlah keadilan di antara mereka.”
“Dalam rangka merekat persatuan, maka hendaknya setiap kelompok tidak mengedepankan kepentingan sempit kelompoknya, yang pada akhirnya hanya akan menggiring semua kelompok untuk saling berlomba dalam keburukan,” ujarnya dalam agenda refleksi Milad ‘Aisyiyah ke-104 yang diselenggarakan secara daring maupun luring (19/5). Di sinilah letak pentingnya merekat persatuan untuk menanamkan nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Haedar menegaskan bahwa fenomena kehidupan modern kita saat ini diliputi oleh kekuatan yang masih membawa paradigma lama, yaitu paradigma konflik, ekspansi, dan kekuasaan, yang semuanya berpotensi mengancam keberlangsungan hidup di masa depan. Menurut seorang filosof terkemuka bahwa manusia merupakan spesies di astmosfir semesta yang memiliki kecondongan kepada kekuasaan. Dimana kekuasaan tersebut tidak hanya mampu menghancurkan semesta, namun juga dirinya.
“Ketika masih ada kekuatan yang membawa misi kekerasan, maka dunia tidak akan pernah berada di dalam kondisi aman dan nyaman,” tuturnya.
Ia mengharapkan, dalam perbedaan, hendaknya manusia bisa hidup bersama. Karena bagaimana pun perdamaian ada tanpa harus ada alasan, tanpa batas dan garis geografi negara. Karena kita semua adalah manusia dari nenek moyang yang sama.
“Sebagai bagian dari keluarga besar persyarikatan Muhammadiyah dan Aisyiyah, kita perlu menanamkan norma-norma yang disertai dengan pembangunan alam pikiran (melintas batas), sebagai bahan perekat persatuan, serta alat untuk menyebarkan perdamaian dan kebaikan dalam kehidupan kita bersama,” pesannya.
Sehingga ‘Berkemajuan’ harus menjadi paradigma berpikir seluruh umat manusia agar berbagai macam ancaman yang dapat merusak persatuan dan menghancurkan nilai-nilai perdamaian dapat diantisipasi atau dicegah dengan sebaik-baiknya. (diko)